Selamat datang pergi kerabat perkerisan. Secara generik orang Jawa, orang Indonesia, orang Timur suka dengan kebatinan. Kebatinan merupakan laku, bisnis dengan melalui rasa, hati yang bening, untuk mengetahuiurip sejati, hidup sejati. Laku batin tersebut dilandasi perbuatan dan perilaku yang baik, budi luhur, hati higienis kudus, dengan selalu mendekatkan diri dan manembah kepadaGusti, Tuhan.
Beberapa pengalaman akan dialami sang pelaku ilmu kebatinan, muncul yang yummy, muncul yang dirasa berat, seluruh itu merupakan bumbu-bumbu kehidupan dalam menapaki jalan Ketuhanan. Pengalaman puncak pelaku ilmu kebatinan merupakan fenomena bahwa dirinya menjadi kawula berada dalam interaksi serasi denganGusti, Tuhan. Pada kesempatan kali ini aku akan menaruh Wejang Laksita Jati.
Wejang Laksita Jati merupakan ilmu yang mengajarkan istiadat menghargai diri sendiri, dengan laku batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membuat raga yang kudus dengan mengakibatkan raga menjadi reservior nafsul mutmainah. Agar agar andai saja insan mati, raganya dapat menyatu dengan badan halus atau ruhani atau badan sukma.
Hakikat kesucian, badan wadag atau raga dilarang pisah dengan badan halus, alasannya adalah raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) kepada ketika insan lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, insan yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (higienis dari dosa), andai saja mati kelak badan wadag akan luluh melebur ke dalam badan halus yang diliputi sang kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap muncul dalam diri kita langsung, maka dilambangkan dengan warongko manjing curigo. Maksudnya, badan wadag melebur ke dalam badan halus. Pada ketika insan hidup di global (mercapada), dilambangkan dengan curigo manjing warongko; maksudnya badan halus masih berada di dalam badan wadag. Maka dari itu terdapat pribahasa menjadi berikut:
Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa.
Sebagai contoh :
Jasad andai saja mengalami kerusakan alasannya adalah sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan mampu berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi menjadi pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah seluruh nafsu-nafsunya; contohnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, kerabat perkerisan dapat menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh.
Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari badan wadag. Dengan celoteh lain orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang tidak selaras dengan rasa ragawi.
Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini. Maka di dalam tradisi Jawa, dilarang menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih mampu merasakannya.Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dapat dijelaskan alasannya adalah sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan bepergian ke alam barzah atau alam ruh.
Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri insan. Dzat merupakan Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah merupakan menjadi berikut;
1. Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
dua. Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
3. Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
4. Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
lima. Sukma atau ruh (Ruhullah).
No 1 hingga no lima merupakan retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat kekal, cahaya bersifat berdikari tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang kudus yang akan melanjutkan perjalanannya menuju ke haribaan Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi jengjem jinem tak muncul rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, duka, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang muncul hanyalah kenyamanan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.
Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, contohnya rasa bertanya-tanya alasannya adalah masih muncul tanggungjawab di bumi yang belum selesai. Atau jalan hidup, atau hutang yang belum selesai, menyebabkan rasa bertanya-tanya. Oleh karenanya dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah bertanya-tanya, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga seringkali masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan menjadi media komunikasi, alasannya adalah fenomena bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat istiadat penyempurnaan arwah (bertanya-tanya) tersebut. Akhir celoteh, semoga tulisan singkat ini menambah wawasan bagi kita seluruh. Maturnuwun