Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Siapa yg menyangka dibalik sembulan perbukitan kapur pantai selatan Jawa ini terbilang ada sekitar 400 an gua purba, tentunya dengan kekhasan masing masing. Beberapa diantaranya memang sahih sahih eksotis & sebagai objek wisata alam dengan minat spesifik. Malahan ada beberapa dalam antaranya yg sekaligus maupun dimanfaatkan buat menyalurkan hobi petualangan yg ekstrem. Oktober 2016 yg lalu saya bareng 3 orang kawan menyusuri salah satu dalam anatara ratusan goa tersebut, yakni Goa Jomblang atau Luweng Jomblang.
Sejatinya, Goa Jomblang atau Luweng Jomblang ini berada dalam kabupaten Gunungkidul. Namun sebab pintu masuknya dalam daerah Provinsi Yogyakarta, kemudian banyak yg menyebutnya Goa Jomblang Yogyakarta. Lantas apa menariknya?
Tidak banyak yg bisa saya ungkapkan disini. Yang jelas Goa Jomblang merupakan goa yg memiliki pesona estetika alam yg luar biasa eksotik. Di kedalamannya kita dapat menyaksikan cahaya nirwana. Penasaran, mari ikuti perjalanan saya?
Goa yg memiliki diameter tak kurang menurut 50 meter itu dipercaya dulunya sebagai tempat pembunuhan massal PKI dalam tahun awal 1968 hingga 1970-an. Hal inilah yg kemudian membuat banyak orang takut, ditambah lagi mitos konon pungkasnya dahulu banyak penjelajah yg memasuki goa & tidak balik . Namun, itu tidak akan terjadi dalam ketika ini, sebab ada pemandu susur goa yg profesional & peralatan yg relatif memadai.
Oya, bagi kerabat perkerisan yg berminat, harga tiket caving Jomblang ialah Rp 450.000,-/orang dengan fasilitas : Peralatan SRT satu set, makan siang, iuran pertanggungan IAG & guide. Sudah terima beres, tinggal siapkan mental & tentu saja kamera jangan sampai lupa. Untuk warta lebih lanjut silahkan menghubungi Pak Cahyo Alkantana : +62 811 117 010 (Selaku pemilik lahan Goa Jomblang)
Baik kita lanjutkan lagi, awalnya kami menduga sudah salah jalan. Maklum wae, meski sudah lama mengenalnya, tetapi kami bertiga belum sekalipun mengunjunginya. Bagaimana tidak. Lha wong petunjuk jalannya hanya secuil kayu, cita rasanya kok gak menyakinkan. Ditambah lagi, jalanan dalam depan kami hanya jalan batuan yg lebarnya persis seukuran mobil. Pak lek google map maupun kurang membantu dalam daerah ini, jalannya morat marit bingung malah. Ya, sudah dengan keraguan yg masih mendominasi diantara kami bertiga, kami tetap memutuskan menempuh jalan yg kian menyempit & lumayan bergelombang ini.
Awalnya dalam perjalanan, kanan kiri jalur menuju Goa Jomlang ini ialah panorama hutan yg meneduhkan pandangan kini berganti tegalan. Sengata sang teja pun seakan sekilan dalam atas ubun ubun meski tabuh belum menentukan tengah hari. Sebuah tenda khas komando kelir hijau tua akhirnya menghilangkan keraguan kami. Plong. Di kebalikannya terdapat sebuah area lapang dengan beberapa sepeda motor terparkir. Suasana asri & teduh dengan pepohonan & rumput yg terpangkas rapi dalam sini pun mengusir rasa gerah luar biasa yg menyelimuti kami.
Di seberang pelataran, tampak sebuah rumah lumayan mewah berjajar dengan bungalow terbuka, dilengkapi meja-kursi tamu & satu televisi. Tersuguh satu teko teh dengan gula batu. Menempel dengan bangunan ini, ada toilet & jajaran shower dengan sekat & lantai keramik. Di satu sudut, teronggok sepatu bot, helm, karabiner, tali, & perlengkapan caving lainnya.
Dua petugas dengan atribut lengkap menyapa kami dengan ramah. "Ayo, Mas, segera nyusul, sudah dinantikan dalam bawah," ujar Kurniawan Adi Wibowo, sang mbaurekso (baca instruktur) yg akrab dipanggil Pitik. Tidak diragukan lagi kesaktian orang satu ini, ia sangat sigap membebat kami dengan peralatan susur gua.
Kami pun menuju ke bawah dengan berjalan sekitar 30 meter. Kontur tanah yg kami tempuh relatif landai. Dari jauh tampak sekira 15 pria dewasa & remaja. Beberapa duduk-duduk dalam suatu gubuk, lainnya (terutama yg mengenakan kaus oranye) berdiri siaga meski sembari tertawa-tawa. Mereka berdiri tak jauh menurut satu pohon sembari menggenggam bentangan tali. Masih belum ngeh, ngapain orang orang ini.
Walah, ternyata bentangan tali itu terhubung dengan sebuah rangka besi. Tak hanya tali, semua mata orang-orang dalam sana maupun tertambat dalam besi tersebut. Rupanya, rangka besi ini berfungsi sebagai katrol & sebagai akses utama ke lokasi tujuan kami. Ini semacam lubang masuk yg menganga dengan diameter sekitar 50 meter. Pintu masuk perut bumi ini eksklusif menonjok nyali sekaligus melecutkan adrenalin kami: Luweng Jomblang. Deg.. deg .. deg!
Luweng berati berarti liang atau lubang dalam tanah. Luweng Jomblang ini terbentuk sebab ambleg (runtuh) -nya permukaan tanah beserta batuan & vegetasinya. Penggambaran lebih mudahnya, sebab bentuknya berupa bundar jadi mirip sumur luar biasa besar. Luweng Jomblang inilah yg merupakan pintu masuk ke gua purba bentukan alam yg ada dalam perut bumi pegunungan kapur Gunungkidul ini.
Untuk masuk ke lokasi bernama Gua Jomblang itu, sesudah kita kita dibebat dengan alat pendakian oleh instruktur susur gua, kemudian mengenakan sepatu bot & helm, sabuk pengaman dilingkarkan dalam dua paha hingga pundak kami. Saat sabuk dipasang ke lingkar dua paha, badan mesti dalam posisi duduk.
Tubuh maupun wajib dalam kondisi rileks. Tujuannya agar sabuk terpasang ketat & kuat. Sambil menyiapkan perlengkapan, sang mbaurekso maupun memberikan sejumlah rapikan tertib & petunjuk: jangan panik jikalau ada hambatan, berjalan bergantian, & tidak boleh membuang sampah asal-asalan. Begitulah prosedurnya, yg maupun berlaku dalam banyak lokasi lain.
Kami turun ke dalam gua dengan metode lowering, dengan donasi katrol dalam rangka besi. Metode ini digunakan bagi pengunjung tanpa pengalaman turun-naik tebing. Cara ini memungkinkan pengunjung pasif ketika menuruni tebing. Pengunjung tinggal rileks & menyiapkan nyali. Tubuh dalam posisi duduk menggantung. Untuk formalitas, kedua tangan memegang tali utama yg menghubungkan tubuh ke para petugas dalam atas tebing.
Di atas, ada 10-15 orang yg menarik & mengulur tali. Empat-enam orang petugas utama siaga dalam dekat katrol, sedangkan 10 orang sigap mengendalikan tali, atau menautkan ke pepohonan sebagai pengaman tambahan. Pengunjung yg baru sekali ini merasakan turun tebing tidak perlu khawatir, sebab mereka turun secara tandem bareng seorang instruktur. Jarak menurut luweng ke dasar gua sekitar 60 meter & butuh sekitar 3 menit buat menuruninya dengan metode lowering itu.
Di bagian lain luweng, ada jalur turun-naik tebing lainnya, yg diklaim jalur VIP. Tingginya sekira 20 meter. Jalur ini mepet tebing & banyak tantangan. Kemampuan & kekuatan kaki sungguh dibutuhkan, sehingga jalur ini spesifik bagi profesional. Sistem naik-turunnya memakai teknik tali tunggal (single rope technique) dengan perlengkapan lebih komplet mirip footloop & jammer. Gampangnya, Butuh keterampilan advanced.
Momen turun-naik tebing inilah yg bikin deg-degan. Rasa takut & cemas mirip diaduk-campurkan dan kocok bareng rasa bahagia & takjub. Takut & cemas mengingat apakah pengamanan & proses turun tebing ini sudah berjalan dengan sahih. Senang & takjub sebab ini pengalaman unik dalam situs alam langka dengan dinding tebing berupa batuan purba. Kedua kutub rasa ini datang bergantian. Bagi petualang amatir mirip kami, rasa cemas & takut lebih dominan. Apalagi kala badan kami menyenggol ranting-ranting pohon yg tumbuh dalam tebing. Semoga ora nyangkut!
Akhirnya, estetika yg tertoreh dalam tebing purba sebagai pengalih perhatian kami. Selain demi mengabadikannya lewat kamera, tentu saja ini cara buat mengusir godaan buat melihat ke dasar gua. Mbediding. Godaan yg terakhir ini sulit buat ditampik, meski akibatnya ketua serasa berputar & adrenalin eksklusif melonjak. Di bawah sana tampak tanaman liar menanti.
Waktu terasa lambat. Kami turun perlahan –waktu naik tebing gua nanti, masih dengan donasi katrol, makan waktu lebih lama yakni 10 menit. Soalnya, ketika itu ada jeda dalam tengah jalan sekitar dua menit. Pada waktu inilah petugas tambahan dalam atas sana menautkan rentangan tali ke pohon sebagai hambatan. Efeknya, tali berpilin & membuat tubuh berputar sampai ketua terasa pening. Munyeng munyeng, tidak muntak saja sudah syukur!
Akhirnya, orang-orang dalam atas tak terlihat lagi, terhalang oleh tanaman dalam dinding tebing. Suara-bunyi mereka maupun makin samar. Kaki pun menginjak salah satu bagian dasar gua dengan kontur kurang rata. Kami mendapati lingkungan yg agak tidak selaras dengan ekosistem dalam atas tebing. Selamat datang dalam hutan purba!
Cahaya Surga menurut Atap Gua
Di dasar gua ini, taraf kelembaban tinggi, tanahnya becek, & bebatuan diselumuti lumut. Vegetasi dalam atas tanah yg runtuh jutaan tahun silam rupanya terus beregenerasi. Misalnya, figus & beringin purba yg tergolong sporadis. Namun tanaman liar mirip paku-pakuan & semak-semak lebih dominan dalam sini.
Kami pun wajib melintasi area terjal berbatu dengan hati-hati sebab licin. Di antara itu, jalan setapak samar terbentuk. Hingga disambung dengan suatu jalur menurut batu bata yg ditata menyerupai anak tangga. Setelah mengikuti susunan batu itu, kami tiba dalam area landai. Di ujungnya lubang hitam menganga. Sama sekali tak terlihat apa yg ada dalam dalamnya. Peteng dhet dhet!
Kami masih terus mengikuti jalur batu bata itu hingga masuk ke dalam mulut liang & menemukan sebuah lorong hitam mirip tanpa ujung. Kondisi dalam dalam lorong itu gelap. Lebar mulut lorong sekitar enam meter & terus menyempit. Kami masih mengikuti jalur batu sebagai pijakan kaki. Semakin ke dalam, suasana makin gelap & lembap. Helm yg kami kenakan memiliki lampu, tapi rupanya tak menyala. Pemandu jalan yg paling bisa diandalkan ialah bunyi langkah kaki beserta dialog & canda rekan-rekan kru caving.
Cahaya terbatas datang menurut lampu LED yg dipasang dalam satu-dua sudut gua. Dari cahaya samar itu, terlihat dinding & bagian atas lorong dipenuhi stalaktit & stalakmit. Disini kita pun tidak boleh terlalu banyak & lama menyalakan lampu, sebab panas lampu bisa menghambat isi gua.
Perjalanan dalam lorong gua yg gelap berjarak kurang lebih 350 meter. Sampai kami mulai melihat dalam depan sana selarik cahaya yg kian lama kian terang. Ditambah pula sebuah bunyi gemuruh yg makin jelas: sebuah gerojokan & deburan air tanpa henti.
Di ujung lorong, lubang menyempit & menanjak. Dari sini sudah tampak mahakarya itu. Kami baru sahih-sahih takjub dalam hamparan pahatan alam yg disepuh seberkas cahaya nirwana. Adrenalin & lelah kami entah menguap ke mana. Berganti rasa takjub yg tak habis-habis. Orang-orang menyebut gua ini sebagai Luweng Grubug.
Ruang gua itu menganga kurang lebih 1.000 meter persegi. Segala penjuru dipenuhi batuan liar tempaan alam. Stalaktit & stalakmit bertonjolan menurut sana sini. Bahkan sampai dalam bawah sana, dalam jurang cadas dengan dasar sirkulasi sungai yg mengalirkan arus air tanpa jeda. Sungai ini bagian menurut sistem sungai bawah tanah Kalisuci.
Tak dapat dimungkiri, atensi kami lebih tersedot ke bagian atas gua, dalam dua tonjolan batuan asimetris dalam zenit yg menantang angkasa. Dalam estetika alam bawah tanah yg dibungkus kegelapan itu terciptalah sebuah lubang dalam langit-langit gua. Dari situ, sinar mentari dalam luar sana menyorot sisi-sisi gua. Seperti selarik sorot senter raksasa yg mencari & menerangkan estetika yg tersembunyi dalam dasar kegelapan. Inilah "Cahaya Surga" yg kesohor itu.
Pesona dalam Pusat Luweng Grubug
Proses pembentukan lubang dalam atap Luweng Grubug sama mirip dalam Luweng Jomblang. Tanah dalam permukaan runtuh ke dalam gua. Tidak jelas kapan terjadinya. Dalam istilah geologi, runtuhan ini diklaim sinkhole. Lubang inilah yg sebagai tempat masuknya "Cahaya Surga" tadi. Tabir cahaya ini terbentuk sebab sinar surya ditangkap oleh uap air yg berasal menurut sungai dalam dalam gua. Begitu memasuki bundar lubang gua & menembus kegelapan, cahaya tersebut sebagai begitu mempesona. Sulit saya membahasakanya, jelasnya amazing! Itu saja.
Lubang dalam langit Luweng Grubug tak sebanyak Luweng Jomblang yg sebagai pintu masuk pengunjung. Kata pemandunya, Luweng Grubug sebetulnya maupun bisa dituruni, tapi dibutuhkan kemampuan spesifik. "Orangnya wajib memiliki sertifikat menurut asosiasi caver.
Hal ini dapat dimaklumi, medan Luweng Grubug memang lebih menantang. Jika Luweng Jomblang lebih mirip sumur, bentuk Luweng Grubug berongga. Lubang dalam langit-langit gua jauh menurut sisi dinding gua. Ketinggian lubang dengan satu sisi landai gua yg disusuri pengunjung menurut Luweng Jomblang sekitar 90 meter. Sementara itu, jarak menurut lubang atap sampai dasar sungai sampai 210 meter.
Perjalanan menurut Luweng Jomblang menembus lorong gelap berujung dalam satu sisi Luweng Grubug. Sisi ini menanjak menuju dua stalakmit utama yg seakan sebagai sentra Luweng Grubug. Bentuk dua batuan ini berupa gundukan & sekilas mirip lingga yg tumpul sebab puncaknya datar. Tingginya sekitar 3 meter dengan diameter sekitar dua meter.
Disebut sentra sebab, dengan siraman Cahaya Surga, dua bongkahan inilah yg mencolok terlihat. Namun rupanya rona terang menurut kejauhan bukan sebab Cahaya Surga belaka. Warna dua batuan ini memang putih gading. Yang tak kalah menakjubkan, batuan ini memiliki ornamen ulir nan halus. Sepertinya masih hayati. Artinya masih bisa terbentuk lagi.
Batu ini diklaim flowstone atau batu bunga. Alur-alurnya yg mirip corak sawah terasering itu diklaim gordam. Setiap senti gordam memerlukan waktu pembentukan sampai 10 tahun. Ornamen ini terbentuk menurut endapan partikel batu kapur menurut tetesan air secara terus-menerus. Dengan alur sedemikian kedap & detail, flowstone Luweng Grubug terbentuk dalam waktu jutaan tahun & diklaim makrogordam.
Pengunjung boleh saja naik hingga bagian atas flowstone yg datar. Di situ, pengunjung seolah bisa menikmati shower alami dalam atas batu manis ini. Namun syaratnya turis wajib mencopot sepatu bot. Pengunjung pun mesti naik ke zenit batu satu per satu secara bergantian.
Tujuannya buat menjaga daya hayati & kelestarian flowstone. Wajar saja, dalam beberapa bagian bawah & pangkalnya –bagian yg sudah diinjak-injak banyak pengunjung– batu tersebut sudah kusam. Gurat & coraknya sudah nyaris rata, tak terbentuk, & tak bisa tumbuh lagi. Alias sudah mati. Lantaran itu pula, pengunjung dibatasi aporisma 25 orang dalam satu sesi penyusuran masuk gua. Sekian dulu & sampai jumpa dalam tulisan tulisan yg lainnya. Nuwun.