Dunia Keris – Bagi warga desa Kajen atau secara awam warga Pati, Jawa Tengah, siapa yang tak kenal menggunakan Syeh Ahmad Mutamakkin atau yang familiar disapa oleh warga kurang lebih menggunakan sapaan Mbah Mutamakkin. Sosok faqih yang disegani lantaran mempunyai pandangan yang luas dan mendalam terhadap agama. Agaknya tidak hanya warga Kajen saja yang mengenal nama baik Mbah Mutamakkin. Namun nama itu telah menyebar ke aneka macam daerah di Jawa terutama bagian utara.
Dari cerita tutur yang berkembang akan kekaromahannya, beliau semasa adalah seorang pendakwah islam yang berasal dari Desa Cebolek(kini Winong), Desa Sugiharjo, Tuban, yang kebetulan satu desa tempat saya lahir. Beliau berdakwah dari satu tempat menuju tempat lain. Hingga Mbah Mutamakkin pun memutuskan untuk tinggal dan mengembangkan agama Islam di Kajen atas dasar peristiwa mistik yang beliau terima setelah menunaikan shalat isya, yakni sebuah cahaya yang mengarah kearah barat, sedang pada dikala itu mba Mutamakkin tinggal di sebuah daerah yang beliau namai sama seperti tempat kelahirannya(Cebolek) yang kini menjadi dukuh Winong, Desa Sugiharjo, Tuban.
Bagi beliau, peristiwa tersebut merupakan sebuah isyarat. Maka keesokan harinya beliau pun menuju ke asal cahaya yang beliau lihat pada malam itu. Sesampainya disana beliau bertemu menggunakan seorang tua yang menurut cerita bernama mbah Syamsudin. Singkat cerita, terjadilah percakapan yang mana mbah Syamsudin menyerahkan desa Kajen kepada Mbah Mutamakkin untuk dikelola. Makam Mbah Syamsudin berada di sebelah barat makam Mbah Mutamakkin. Tepatnya di sebelah utara blumbang yang kini biasa digunakan para santri untuk riyadlah dan menghafalkan Al-Quran.
Sejarah mencatat bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang Neosufis yang hidup pada tahun 1645 1740. Kebesaran beliau ditunjang oleh beberapa data sejarah yang menyatakan bahwa beliau adalah seorang wali Khoriqul Adah (tidak seperti kebiasaan insan pada umumnya). Sebagai model, pernah suatu ketika beliau melakukan Riyadlah (tirakat) berpuasa siang malam selama 40 hari tanpa makan dan minum. Kemudian pada hari terakhir beliau meminta istrinya untuk menghidangkan masakan yang paling yummy selera beliau.
Namun, hal aneh terjadi. Menjelang Maghrib, Mbah menyuruh istrinya untuk mengikatkan dirinya disebuah tiang. Mengetahui Maghrib telah tiba, nafsu makan beliau menggelora menggunakan dahsyatnya. Pertarungan antara hawa nafsu menggunakan qolbun salim(hati yang bersih)pun terjadi. Namun akhirnya mbah Mutamakkin lebih memenangkan qolbun salimnya. Hingga peristiwa ajaib pun terjadi, keluarlah dua anjing dari dalam perut beliau. Kedua anjing tersebut merupakan lambang dari hawa nafsu beliau eksklusif melahap habis masakan yang terdapat didepannya. Setelah selesai keduanya ingin kembali masuk dalam perut Mbah Mutamakkin. Namun beliau menolak. Akhirnya ke 2 anjing tersebut menjadi khodim (pembantu) dalam perjuangan mbah Mutamakkin yang kemudian oleh beliau diberi nama Abdul Qohar dan Qomaruddin yang syahdan diambil dari nama penguasa yang dzalim dari Tuban kala itu.
Nah, kita kembali ke daerah asal beliau, yakni ke Winong (Cebolek). Di antara petilasan yang terdapat di Tuban adalah Masjid Karomah Winong. Masjid ini terletak di Dukuh Winong, Sugiharjo, Kecamatan Tuban Kota. Situs masjid yang berjarak kurang lebih 7 km dari sentra perkotaan kota itu, merupakan salah satu tempat semacam padepokan milik Kiai Mutamakin dikala mengembangkan agama islam. Sebelum dipugar oleh warga menjadi masjid yang lumayan besar pada tahun 1977, dulu tempat itu hanyalah tempat kecil yang digunakan oleh Kiai Mutamaqin untuk berriyadhoh dan bermunajat kepada Allah SWT.
Di kurang lebih masjid maupun terdapat satu pohon sawo kecik yang sangat besar, diperkirakan berumur ratusan tahun. Pohon itu diyakini oleh warga kurang lebih, sudah terdapat sejak zamannya Kiai Mutamakin. Tidak hanya itu, sebuah gentong dan benda persegi terbuat dari kayu seperti nampan maupun termasuk peninggalannya.
Konon, gentong tersebut merupakan tempat menyimpan air untuk kebutuhan Kiai Mutamakin sehari-hari. Selain gentong, maupun terdapat sebuah benda seperti nampan. Benda tersebut diyakini warga menjadi alat yang digunakan di dikala menyuguhi para tamunya Kiai Mutamakin. Masuk lagi ke dalam masjid, di situ tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat syahdan digunakan Kiai Mutamakin dalam memberikan peci atau baldu.
Selain itu maupun terdapat sebuah batu kecil dan tumpul yang asumsi digunakan untuk menumbuk. Di sebelah barat masjid terdapat sebuah sungai. Menurut cerita warga kurang lebih, sungai tersebut merupakan tempat berwudhunya Kiai Mutamakin.
Sebelum masuk daerah masjid Karomah Winong, di situ akan melewati sebuah gapura. Di mana gapura tersebut merupakan pintu masuk ke arah daerah tempat pasujudan Kiai Mutamakin. Menurut cerita masyarakata kurang lebih, dulu dikala orang masuk tanpa niat yang baik dan tidak sopan, maka orang tersebut tiba-tiba tidak mampu melihat orang lain. Kiai Mutamakin ini merupakan orisinal penduduk Winong, Desa Sugiharjo. Masyarakat biasa memanggilnya menggunakan sebutan Mbah Mutamakin. Kata sebagian ulama yang pernah datang ke Masjid Karomah Winong, Mbah Mutamakin masih keturunan bangsawan Jawa yang masih punya garis keturunan menggunakan Raden Patah (Kesultanan Demak) yang berasal dari Kesultanan Trenggono.
Sultan Trenggono mengawinkan salah satu putrinya menggunakan Jaka Tingkir (Sultan Hadiningkrat) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo (Raden Sumohadinegoro) yang menurunkan putra Kiai Mutamakin. Sedangkan dari jalur mak, Kiai Mutamakin masih keturunan dari Syaid Ali Akbar dari Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Syaid Ali Akbar mempunyai seorang putra bernama Raden Tanu. Selanjutnya Raden Tanu mempunyai seorang putri. Putri tersebutlah yang menjadi ibunya Kiai Mutamakin.
Semasa hidupnya Kiai Mutamakin sepenuhnya hanya mengabdikan diri untuk mengembangkan agama islam di daerahnya. Konon Kiai Mutamakin dikala mudanya dulu pernah nyantri di di Sayyid Assyari kini Sunan Bejagung Lor. Hingga hingga dipinang menjadi menantunya. Selama mengembangkan agama Islam, Kiai Mutamakin selalu berpindah tempat. Kalau tempat tersebut dalam penyebarannya dianggap sudah berhasil, maka akan berpindah tempat. Seperti halnya sumur tua di Kuthi Desa Sumurgung, Tuban poly yang meyakini bahwa sumur itu maupun peninggalan Kiai Mutamakkin.
Menurut sebagian ulama, Kiai Mutamakin maupun selalu berpegang teguh pada prinsip dan kepribadian perihal aqidah Islam. Sosoknya maupun alim, terbuka dan berani. Tidak hanya itu, Kiai Mutamakin maupun termasuk orang yang luwes dan kuat menahan hawa nafsu.
Selama perjalanan pengembaraannya dalam mengembangkan agama Islam, akhirnya Kiai Mutamakin menetap di Desa Cebolek (Winong), lalu di Kajen, Pati Jawa Tengah.
Diriwayatkan, dikala berada di Kajen, Kiai Mutamakin bertemu menggunakan ulama lokal bernama Mbah Syamsudin yang sudah saya singgung di atas. Dalam pertemuan tersebut terdapat dialog yang pada akhirnya berisi penyerahan wilayah Kajen dari Mbah Syamsudin untuk Kiai Mutamakin untuk merawat dan selalu mensyiarkan agama Islam menggunakan baik. Sekian dulu dan maturnuwun.