Melanjutkan goresan pena sebelumnya Piwulang Manunggaling Kawula Gusti. Pada siang yang mendung ini saya mengajak kerabat perkerisan untuk mempelajari lebih dalam lagi ihwal konsepsi Manunggaling Kawula Gusti.Kalau kebetulan kerabat perkerisan adalah wong Jowo , bahkan sebagian akbar masyarakat Jawa nir asing beserta piwulang/ajaran atau hanya sebuah istilah yang berkait erat beserta Syekh Siti Jenar tersebut.Tapijustru sejatinya Manunggaling Kawula Gusti bukanlah suatu ajaran, melainkan suatu pengalaman.Yakni, pengalaman yang sungguh konkret bagi siapa saja yang pernah mengalaminya. Pengalaman ini berupa penyatuan diri beserta Yang Maha Kuasa.
Dalam pemikiran Masyarakat Jawa, selain istilah manunggaling kawula Gusti, pula dikenal istilah lain beserta maksud yang sama, yaitupamoring kawula Gusti, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga,& sebagainya. Seperti halnya Tuhan yangtan kena kinaya ngapa, maka pengalaman manunggal beserta-Nya pun dalam dasarnya pula tan kena kinaya ngapa.
Pengalaman ini hanya bias dipahami & dihayati sang yang mengalami, dan bersifat tak terbatas. Karenanya, nir mungkin beliau dijelaskan beserta logika & kosa-tutur kepada orang lain, sebab, baik logika maupun tutur-tutur sifatnya terbatas.Sesuatu yang terbatas nir mungkin bisa mengungkapkan yang tak terbatas.
Demikian pula halnya beserta pemikiran insan yang sejatinya terbatas.Oleh karenanya, setiap kali orang berusaha menampakan, apalagi menagajarkan kebenaran yang diperoleh menurut pengalaman ini kepada orang lain, maka niscaya akan terjadi defleksi terhadap kebenaran yang snyatanya. Untuk suatu kebenaran yang nir mungkin dijelaskan beserta tutur-tutur, bagaimana mungkin disebabkan suatu ajaran?
Setiap bentuk bepergian atau ajaran yang berasal menurut pengalaman, itu tak lebih hanya suatu rabaan sinkron tafsiran terhadap pengalaman tersebut. Itu sebabnya, mengapa timbul berbagai ajaran yang tidak sama menurut satu pengalaman yang sama. Barangkali sebab lain yang utama ialah karena masing-masing pihak melakukan penafsiran untukpengalaman yang sama atas dasar bekal konsepsi yang sudah dimiliki sebelum masing-masingnya memperoleh pengalaman itu. Orang Islam menafsirkannya sinkron ajaran Islam. Orang Kristen berdasar ajaran Kristen. Demikian pula orang Hindu, Budha dan lainnya menafsirkan atas dasar jarannya sendiri-sendiri. Kenyataan inilah yang dalam falsafah Jawa dinyatakan beserta ungkapanngangsu apikul warih(mencari air beserta dengan air), atauamek geni adedamar(mencari api beserta dengan api).
Sebab, bagaimanapun pengalaman manunggaling kawula gusti berkenaan beserta yang mistik & bersangkutan beserta unsur batin (bunyi hati). Sehingga sulit diterangkan beserta tutur-tutur yang sekalipun didukung sang logika, karena lapangannya sudah tidak sama. Akan tetapi, saya permanen meyakini bahwa bila penafsiran & penjelasannya dilakukan secara obyektif & daya nalar yang mendalam, maka paling nir akan diperoleh fakta berupa konsep yang sedikit poly mendekati halnya.
Memang, bahwa untuk hingga dalam hal yang senyatanya adalah suatu yang sulit, kecuali hanya dialami sendiri. Namun, jika tuntutan itu ditujukan dalam perihal yang senyatanya & seobyektif mungkin, maka tentu kita kan kecewa, karena nir akan bisa terpenuhi. Hal ini pun sebenarnya pula berlaku dalam kasus yang sifatnya individual, misalnya kita mengungkapkan pengalaman naik pesawat udara kepada seseorang yang belum pernah tahu, apalagi manaikinya. Penjelasan yang kita berikan, baik sang kita yang berpengalaman sendiri pernah naik pesawat maupun sang yang hanya mendengar atau memeriksa, tentu sulit untuk mencapai hal yang senyatanya, & tentu pula sukar untuk dipahami sang yang kita beri tahu, kecuali hanya sebatas pengalaman yang bersifat konseptual.
Jadi, terang duduk persoalannya, yakni nir lagi teletak padaperihalyang senyatanya, tetapi justru berkaitan denganpelaku, baik yang member klarifikasi maupun yng menerimanya. Maksudnya, bahwa bila yang member klarifikasi berupaya semaksimal mungkin untuk nir menyimpang dariisi muatan(batas-batas pokok yang meski ada adalam ajaran atau pengalaman yang dialaminya) secara apa adanya, tanpa ditambah atau dikurangi, maka akan diperoleh fakta yang mendekati obyektif (senyatanya), meski itu hanya sebentuk konsep. Dan yang wajib digaris bawahi pula penting bagi penerima klarifikasi, agar terjadi transedental pemahaman antara dirinya beserta yang member fakta, maka sedikit poly wajib mempunyai modal pengetahuan ihwal hal yang akan dijelaskan kepadanya. kritik & saran akan lebih menjadi berarti bagi penulis untuk mengkorenksi diri, matur suwun