Selamat datang kerabat perkerisan. Assalamu alaikum Wr Wb.
Bingung mau posting tulisan di libur panjang ini. Akhirnya ngupek koleksi poto usang di flashdisk, berharap dapat ilham di setelahnya. Dan benar adanya, saya dapatkan koleksi foto usang yang terdapat cerita sedikit berbau misteri saat mendaki gunung Lawu beberapa tahun yang lalu.
Beberapa tahun yang lalu, saat masih banyak waktu yang luang bisa dipastikan saat menjelang 1 Suro saya selalu menghabiskan malam di puncak Lawu. Aika pun boleh berbangga diri, saya telah menjejakinya lebih dari 8 kali. Pertimbangannya selain karena hal yang sifatnya pribadi tentu saja pada malam 1 Suro bisa dipastikan pula puncak Lawu sangat ramai. Tentu saja tanpa mengesampingkan ramainya pendakian saat pergantian tahun baru Masehi atau malam menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus.
Seperti biasa, menjelang pergantian tahun baru Jawa kami berencana untuk menghabiskan malam di puncak Lawu bersama dengan beberapa rekan yang sehobi yang sama. Karena domisili kami tidak selaras kota, jauh hari sebelumnya kami telah janjian untuk ketemu di Cemoro Sewu.
Singkat cerita, sesudah semua telah datang kalau tidak keliru waktu itu terdapat 5 orang termasuk saya karena satu teman yang lain berhalangan datang. Meski ganjil, kami tetap menetapkan naik meski mitosnya jika ganjil akan banyak hal gangguan dalam pendakian. Kita niati bismillah saja dengan maksud yang baik insya Allah tidak akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.
Jam menunjuk pukul 15.30 an kami berlima menetapkan naik dengan pertimbangan sebelum tengah malam telah sampai di puncak. Paling tidak selambat-lambatnya pukul 23 malam telah sampai puncak. Seperti halnya gunung-gunung yang lain, gunung Lawu pula punya seabrek pantangan-pantangan yang harus kita patuhi. Saking seabregnya hingga banyak pendaki pemula yang urung naik, karena grogi akan mitos yang terdapat di gunung Lawu yang berketinggian 3265 mdpl ini. Meski demikian, banyak pendaki yang berpendapat jika gunung Lawu adalah keliru satu yang paling indah meski terbalut oleh kemistisannya. Hal ini telah nampak pada Pos 5 yang selalu terdapat sesajinya.
Sebelum saya lanjutkan cerita lebih jauh mari kita kenali Gunung Lawu lebih dahulu, siapa memahami diantara kerabat perkerisan belum mengenal Lawu lebih dekat. Gunung Lawu seperti telah saya tuliskan di atas berdiri angkuh pada ketinggian 3265 mdpl, ini telah cukup membuat kita menggigil. Terlebih pada demam isu kemarau. Tentang letaknya, gunung Lawu berada di Kab. Magetan, Jawa Timur serta Kab. Karanganyar, Jawa Tengah. Artinya, gunung Lawu ini keberadaannya seakan sebagai pembatas 2 provinsi Jawa Timur serta Jawa Tengah.
Berbeda dengan gunung Merapi yang kesohor itu yang termasuk gunung yang aktif serta acapkali bergejolak, gunung Lawu termasuk gunung yang ngaso (istirahat). Artinya, gunung Lawu sebenarnya gunung dalam kategori berapi karena dalam catatan sejarahnya diperkirakan pernah meletus terakhir kalinya pada medio 28 November 1885 yang kemudian tidak / belum aktif lagi hingga kini.
Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling serta Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi. Gunung Lawu menyimpan misteri pada masing-masing dari tiga puncak utamanya serta menjadi tempat yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, serta Harga Dumilah adalah tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin serta meditasi.
Baik, demikian sekilas tentang gunung Lawu. Sekarang kita pulang pada cerita mistis seperti maksud dari tulisan ini.
Seperti pula telah saya narasikan di atas, hampir setiap gunung memiliki pantangan-pantangannya sendiri. Percaya tidak percaya, toh tidak terdapat larangan kalau kita melanggarnya. Namun, demikian sebagai seorang pendaki atau penjelajah yang baik tentu akan menghormati itu semua, serasional apapun pemikirannya. Alam dengan segala keindahan serta kemisteriusannya. Dan hal ini pula berlaku pada gunung Lawu.
Seperti misalnya, saat mendaki gunung Lawu terdapat pantangan yang tidak tertulis untuk tidak mengeluh apalagi mengeluarkan ucapan-ucapan yang bernada kotor. Sejauh pengalaman, perasaan ini timbul ditengah bepergian, bisa jadi karena pengaruh kelelahan serta cita-cita untuk lekas sampai puncak. Dan satu hal lagi yang tak kalah vital saat mendaki gunung Lawu ini, jangan sekali kali menganggu burung Jalak Ireng yang memang sering mengikuti para pendaki. Dalam cerita tutur, Jalak Ireng ini adalah jelmaan keliru satu penguasa gunung Lawu.
Dan hal ini pula dialami keliru satu teman saya saat di pintu masuk saat akan memuali pendakian, meski dengan nada bercanda dia menyuruh kami jalan duluan serta dengan entengnya, mengatakan Lawu itu seperti tempat tinggal baginya. Hal ini sangat dimaklumi karena diantara kami yang lain, dia memang lebih sering naik Lawu dibandingkan kami.
Begitu sampai pos 1 kami berlima beristirahat. Waktu telah menjelang mahgrib, kami disambut oleh Jalak Ireng yang bertengger di ranting semak tak jauh dari pos 1 tempat kami istirahat. Melihat terdapat Jalak Ireng, saya menyapanya serta memang begitulah adabnya saat ketemu Jalak Ireng ini saat mendaki Lawu. Ada sedikit keanehan disini, biasanya dengan saya pancing dengan makanan Jalak Ireng itu mau memakannya. Tapi kali ini tidak, malah cuma melihat saja dengan sorot mata tajam serta tak usang kemudian terbang.
Setelah sebagian dari kami sholat mahgrib, kami meneruskan jalan. Keanehan keanehan mulai mulai menyertai bepergian kami, belumlah sampai pos 2 kami mendengar auman harimau. Hal ini telah tidak masuk akal, bukankah Harimau Jawa telah usang punah, kami hanya saling pandang serta mengucap salam atas kehadiran bunyi yang tak lazim itu. Maksud uluk salam yang saya maksud disini, adalah keliru satu kebiasaan yang dituturkan orang tua terdahulu jika mendapati suatu yang diluar kelaziman. Sebagi bentuk permisi numpang lewat serta maksud yang baik dalam tujuan pendakian ini.
Seperti di tumpahkan, tak berapa usang sesudah kami mendengar auman harimau tersebut hujan tiba- tiba datang dengan lebatnya. Untungnya kami telah persiapan mantel plastik yang sempat kami beli di keliru satu toko souvenir di pelataran parkir Cemoro Sewu. Dengan sedikit tertatih karena licin tak berapa usang kami sampai pos 2. Istirahat lagi karena tampaknya hujan tidak kunjung reda.
Ada satu hal yang menarik di pos 2 ini. Menarik yang saya maksud di sini tentu hal yang berbau misteri. Di pos 2 ini pernah terdapat satu kejadian pendaki cewek yang meninggal saat bermalam di sini. Disinyalir cewek ini meninggal karena menghirup belerang.
Setelah kami berembug, akhirnya kami putuskan untuk meneruskan jalan tanpa harus menunggu huja reda. Dari pos 2 menuju ke pos 3 tidak terjadi hal-hal yang di luar nalar. Adanya kami kecapean, karena trek pendakian mulai curam adanya membuat kami sekali waktu ngedumel, meski dalam tahap kewajaran. Tanpa singgah di pos 3 kami lanjut menuju pos 4, serta inilah trek yang paling menguras tenaga, terdapat beberapa trek yang kemiringannya hampir 60 derajat menurut saya. Kerabat perkerisan bisa bayangkan keadaan hujan harus meniti trek bebatuan yang curam itu. Hingga keluarlah ujaran spontan dari keliru satu temen kami. Aseeem! Adoh tenan. Awak pegel kabeh, Cuk! temen saya Ismail ini memang logat Surabaya nya kental, maklum dia berasal dari Mojokerto yang memang dialeknya tidak jauh beda dengan Surabaya.
Salah satu dari kami memperingatkan ucapan Ismail ini, meskipun toh itu hanya candaan atau umpatan sama diri sendiri. Sejalan dengan itu kami terus menapak tebing yang terjal itu, kurang konsentrasi sedikit saja fatal akibatnya pada trek pos 3 ke pos 4 ini, alamat tergelincir ke lembah yang curam konsekuensinya. Terlihat sekali rekan Ismail ini kelelahan, kebetulan dia terdapat di depan saya sedangkan saya sendiri berapa paling belakang, atau sering diistilahkan sebagai sweeper. Saya menyadari keadaan yang di alami oleh Ismail, makanya tanpa dia minta saya menawarkan untuk istirahat sejenak. Sementara 3 teman yang lain telah terdapat di depan terlebih dahulu.
Tak lebih dari 10 menit kami istirahat sambil mengatur nafas yang sempat tersengal sengal karena kelelahan, akhirnya kami putuskan untuk lanjut jalan lagi. Nah, mungkin karena bawaan Ismail orangnya yang latah. Barulah beranjak dia telah berteriak, wooooy maksudnya memberi kode 3 teman kami yang di atas. Beberapa kali teriakan, masih belum terdapat jawaban dengan sambil tertatih meniti tebing yang serupa tangga dari batu ini saking tegaknya.
Belumlah berpuluh meter kami berjalan dari terikan Ismail yang terakhir, bukannya sahutan balasan dari ketiga rekan kami melainkan balasan bunyi cekikikan bunyi 2 perempuan. Mendapati hal demikian, tanpa di komado kami langsung berhenti serta saling pandang. Seakan sama sama meyakinkan apakah kami berdua mendengar hal yang sama. Suara di atas kami itu pulang berulang yang tampaknya seorang gadis serta seorangnya lagi gadis maih kecil.
Kang, krungu suoro wedok rak? Ismail memastikan sambil menatap saya. Saya jawah hanya mengangguk sambil memberikan kode jari yang merujuk maksud 2 orang. Bisa jadi itu serupa kuntilanak atau sejenisny, gumam saya dalam hati.
Sambil terus mendaki kami, sampailah kami pada dataran yang agak landai penuh ilalang. Sedikit lega karena tanjakan yang menguras tenaga ini terlampaui, saya yang kebetulan memegang senter memastikan keberadaan bunyi perempuan yang sempat kami dengar di bawah barusan. Saya yakin mendengar suaranya, dari tempat inilah kemungkinan sumbernya. Nihil. Tidak saya dapati apapun selain jurang di sisi kiri kami serta ilalang yang basah oleh hujan yang masih menyisakan rinai lembutnya.
Setelah memastikan tidak terdapat siapa pun selain kami berdua, serta rupa rupanya rasa jengkel Ismail pun nular ke saya. Pun dengan berguman saya pula ngedumel atas kejadian tersebut. Belumlah ngedumel itu sampai pada ujungnya, lagi lagi kami dikejutkan oleh bunyi cekikikan pesis seperti yang pertama. Namun kali ini sumber bunyi pada jurang di sisi kiri kami. Sambil terus berjalan, saya hanya menimpali bunyi tersebut, ketawalah sampai puas, maaf kali ini kami sibuk. Cari temen ketawa sama yang lain saja, siapa memahami terdapat. Yah, meskipun ini ngedumelan serta bisa jadi mereka tidak mendengar tapi setidaknya cukup memuaskan saya atas gangguan gangguan mereka.
Sambil terus berjalan menuju pos 4 yang mungkin kira- kira 40 an menit dari tempat kami istirahat yang lantas mendengar bunyi cekikikan sampailah kami di pos 4. Terlihat banyak orang serta tenda tenda dari pendaki lain. Kami belum mendapati 3 rekan kami yang lain, anggapan kami waktu itu kemungkinan mereka langusung menuju pos 5. Kami istirahat sejenak sambil menghisap rokok untuk mengusir gigil malam yang semakin menua.
Karena sedikit landai, serta hujan pun telah reda bepergian ke pos 5 ini relatif tidak menguras tenaga. Hanya saya merasa saja terdapat yang mengikuti bepergian ke pos 5 tersebut, tetapi sejauh hingga sampai ke pos 5 tidak terjadi hal- hal yang ganjil selain hanya terdapat beberapa batu di sepanjang bepergian yang banyak sesaji.
Sama seperti di pos 4, kami tidak mendapati ketiga rekan seperjalan kami di pos 5 ini. Menghubungi mereka via HP terang tidak mungkin, karena di atas ketinggian ini tidak terdapat signal. Jangan tanya pakai HT, kami tidak membawa itu semua. Itulah kekurangan kami, hingga dikemudian hari ini menjadi pengalaman serta selanjutnya saat mendaki kami selalu mempersiapkannya sebagai bekal yang vital.
Karena kami tidak mendapati mereka, serta telah mencarinya di sekitaran tempat tersebut tidak terdapat keberadaan mereka. Maka, kami menetapkan mendirikan tenda, tak jauh dari tenda tenda pendaki yang lebih sampai di pos 5 ini.
Sambil harap harap cemas memikirkan ketiga rekan kami yang belum kami ketahui keberadaannya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan malam itu selain pasrah, serta tentu saja tak lepas doa semoga mereka tidak terjadi hal hal yang buruk menimpa mereka. Tak terasa waktu terus berjalan serta mungkin karena saking capeknya hingga saat kami saling dia, saya dapati malah Ismail telah tertidur.
Karena tidak terdapat teman untuk berbincang, saya pula ikut rebahan di tenda serta belumlah saya terlelap saya dikejukan oleh bunyi perempuan sedang berbincang. Ketika saya intip dari dalam tenda, tak jauh dari tenda kami terdapat 2 orang gadis sedang duduk dukuk. Mungkin yang satu tak lebih dari 15 tahun sedangkan satunya lagi mungkin seumuran anak TK.
Mendapati hal yang demikian, kemudian saya bangunkan Ismail sambil mencari senter. Saking kagetnya barangkali saat saya bangunkan, Ismail malah nyeracau tak tentu arah. Nyawanya belum genep orang Jawa bilang. Setelah sadar sepenuhnya saya kasih memahami tentang keberadaan 2 gadis yang duduk duduk tak jauh dari tenda. Sayangnya, saat kami cari keberadaan 2 gadis tersebut telah tidak ditempatnya lagi. Kami pastikan bahwasanya kedua gadis tersebut adalah makhluk tak kasat mata. Alias bangsa lelembut.
Jarum jam telah menunjuk pukul 01.00 lewat, keberadaan ketiga rekan kami hingga detik itu masih belum terang keberadaannya. Sedikit berasumsi hal hal buruk yang menimpa serta rencana rencana esok hari yang harus kami lakukan jika hal buruk itu terjadi. Bersamaan dengan itu, syukur alhamdulillah ketiga rekan kami sampai di pos 5. Terlihat paras kelelahan mereka, sedikit saling menyalahkan diantara kami. Seperti halnya kami, mereka mengalami kejadian aneh yang bisa dikatakan bersamaan dengan kami.
Singkat cerita, kami langsung mendirikan tenda tambahan serta setuju untuk saling cerita keesokan harinya. Malam yang penuh kejanggalan serta sangat melelahkan malam itu. Kami tidur, serta tanpa melihat sunrise pada paginya.
Pagi, sambil menimati sarapan mie panaskan serta segelas kopi sachetan di warung di pos 5 kami saling bercerita tentang malam itu. Rupa- rupanya, ketiga rekan kami hampir disesatkan oleh arahan orang tua yang duduk duduk tak jauh pos 4 ketika akan menuju pos 5. Mereka disesatkan hampir sampai goa di bukit Lawu yang dekat sabana itu. Seperti yang kita memahami, tenpat tersebut adalah pasar setan nya gunung Lawu. Tragisnya, senter yang mereka bawa tidak menyala, mungkin konslet karena basah oleh hujan. Untungnya masih terdapat senter HP yang membantu penjelasan jalan mereka ini.
Beruntung terdapat bapak bapak keliru seorang penjual di warung di Pos 5 ini yang malam itu hendak turun. Mungkin bapak bapak tadi melihat jalan yang mereka lalui keliru dari sorot HP yang mereka bawa, kemudia diteriaki. Syukur ketiga rekan saya tadi langsung merespon teriakan bapak tadi.
Setelah putar balik serta ketemu sama bapak bapak yang meneriaki tersebut mereka diberi memahami kalau rute mereka keliru serta mereka bercerita seperti yang saya tulis di atas barulah mereka sadar. Padahal, diantara mereka buka sekali 2 kali mendaki Lawu. Itulah alam dengan segala keunikan serta kemisteriusannya. Tidak terdapat jaminan meski berpengalaman lantas segalanya bak baik saja. Meski dalam banyak hal pengalaman sangatlah membantu. Akhir kata, sekian dulu tulisan yang lumayan panjang ini semoga menjadi bacaan yang menghibur bagi kerabat perkerisan sekalian serta dapat mengambil hikmahnya. Sampai jumpa pada tulisan selanjutnya. Wassalam. Nuwun.