Pecinta keris masa kini mengenal keris Bali sebagai keris yang berukuran panjang dan besar. Panjangnya sekitar 40 cm atau lebih sedikit. Namun bentuk keris Bali yang demikian sesungguhnya baru dimulai pada sekitar awal abad ke-17. Sebelumnya, keris Bali memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda, bahkan boleh dikatakan sama dengan keris buatan Majapahit. Tidak hanya ukurannya yang berubah, sebutannya pun bukan lagi keris. Orang Bali menyebutnya kadutan.
Pulau Bali yang kini terkenal sebagai daerah tujuan wisata penting di Indonesia, juga pernah menjadi salah satu pusat budaya keris. Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, budaya keris di bekas kerajaan besar itu terpecah dua. Sebagian seniman perajin pembuat keris hijrah ke Demak dan mengabdi di kesultanan baru itu; sebagian lainnya pindah ke arah timur. Yang boyong ke timur ini sebagian menetap di daerah sekitar Kraksaan, dekat Purbalingga; yang sebagian lagi menyebrang ke Bali. Sementara itu, para pembuat keris yang berasal dari Pulau Madura sebagian besar kembali ke daerah asalnya.
Mengapa terjadi perubahan ukuran pada pembuatan keris di Bali, dari ukuran keris Majapahit yang relatif ramping dan enteng menjadi panjang dan berat, belum diperoleh jawaban yang pasti. Agaknya misteri itu tidak gampang diungkap karena saat ini nyaris tidak ada lagi ahli keris Bali yang dapat ditanyai. Salah satu harapan akan terungkapnya sejarah perkerisan di Bali adalah bila ditemukan pustaka lontar kuno yang berisi data sejarah perkerisan. Penulis sendiri menduga bahwa setelah be-berapa generasi hijrah ke Pulau Bali, keturunan Majapahit yang berasimilasi dengan penduduk Pulau Dewata merasa perlu memiliki identitas sendiri sebagai orang Bali.
Dan karenanya, mereka membuat bentuk keris baru yang berbeda dengan keris Majapahit Keris Bali lebih panjang, lebar, dan tebal dibandingkan dengan keris Jawa. Panjang bilah rata-rata keris Bali antara 39 sampai 45 cm. Lebar ganjanya ada yang sampai 11,8 cm. Dan, dengan sendirinya warangkanya pun lebih besar dan lebih panjang. Walaupun tidak sama benar, ricikan keris Bali hampir serupa dengan ricikan keris Jawa. Begitu pula penamaan pamor di Bali tidak jauh berbeda dengan nama-nama pamor di Pulau Jawa.
Di antara nama pamor itu adalah Sungsun Buron (Sumsum Buron), Tunggul Kukus (Tunggal Kukus atau Lintang Kemukus), Wos Wutah, Tepen (Wengkon), Bedo Sagodo (Bendo Sagodo). Seperti juga di daerah lain di Indonesia, kegiatan pembuatan keris di Bali mengalami “masa tidur” pada zaman pendudukan Jepang. Sejak sekitar tahun 1955-an, beberapa pandai besi di daerah Badung men-coba kembali membuat keris, namun arah dan tujuan pembuatan keris itu sudah jauh berbeda dengan pada masa sebelum kemerdekaan.
Dulu para pandai besi berkarya sebagai pengabdian kepada raja dan agamanya, sedangkan kini mereka menganggapnya sebagai suatu pekerjaan yang menghasilkan uang. Dulu pemesan keris adalah kalangan bangsawan, sedangkan kini pasar utama mereka adalah turis. Selain memiliki pakemnya sendiri yang me-nyangkut bentuk dan penamaan dapur dan pamor, keris Bali juga mempunyai warangka dan hulu keris yang khas Bali. Hulu keris Bali, yang di sana disebut danganan, banyak sekali ragam bentuknya.
Di antaranya, bebodalan, rangda, kocet-kocetan, tapukan atau tupukan, cecekahan, jaglii; buta ngawesi sari, dan lain-lain. Ba-nyak di antaranya merupakan karya seni yang amat indah. Demikian pula bentuk warangka Keris Bali, begitu bervariasi seolah-olah seniman pembuat warangka bebas ber-karya, tidak terlalu terikat oleh pakem. Meskipun bentuk dasar-nya hanya beberapa, tetapi da-lam menuangkan imajinasi-nya, seniman pembuat warangka keris Bali bisa lebih kreatif. Kreasi itu meliputi penentuan ukuran, mengubah se-dikit bentuk untuk menye-suaikan dengan keadaan kayo, dan membuat `sunggingan’ yang di Bali disebut pradan.
Tiga ragam bentuk warangka keris Bali yang utama adalah: kakandikan, godoan, dan kojongan. Di Bali, kayu yang menjadi pilihan utama untuk membuat warangka adalah kayu timaha yang disebut purnaina sadda. Pilihan kedua adalah trembalo, dan yang ketiga adalah cendana. Keris-keris tua yang dimiliki dan dianggap pusaka oleh bangsawan tinggi di Lombok dan Sumbawa serta Nusa Tenggara Barat lainnya, hampir bisa dipastikan keris tangguh Mataram atau Majapahit. Walaupun demikian, wilayah ini dulu juga merupa-kan daerah produksi keris. Bentuk bilah keris buat-an Nusa Tenggara Barat, terutama Lombok, amat serupa dengan keris Bugis. Hampir semua bilahnya mucuk bung. Demikian juga warangkanya, nyaris sama. Tetapi, keris buatan Lombok dan Sumbawa relatif lebih tipis dan sedikit lebih pendek. Panjangnya hanya sekitar 36 cm. Sejak pemerintahan Presiden Suharto, keris Bali sering terpilih untuk dijadikan cenderamata bagi tamu agung yang berkunjung ke Indonesia.