Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Setiap sore sehabis Sholat Maghrib belasan anak-anak, di kampung saya lahir kami belajar mengaji. Dulu yang ada hanya kitab Turutan. Sebelum baca Al-Quran, harus baca menamatkan Turutan dulu. Kami semua bersarung & berkopiah. Bergerombol setelah sholat Maghrib duduk bersila berjejer menunggu giliran diajari oleh Kak In, Mustain nama lengkapnya.
Oleh Kak In yang diajari terlebih dulu merupakan mereka yang rumahnya agak jauh. Dan yang terakhir merupakan yang rumahnya dekat. Yang jauh dulu ya yang diajari. Kalau kemalaman kasihan. Kan gelap, terperinci Kak In. Rumahku & tiga temanku sekitaran 500 meter berasal Langgarnya Pak Ismangin jadinya kami selalu mendapat giliran pas beduk Isya.
Di penghujung tahun 80-an listrik termasuk barang yang sangat mewah di kampung kami. Jalan di kampung masih makadam, sebagain lagi malah tanah, jadi kalau hujan becek & malam gelap. Ada juga rumah yang baik hati bersama memberikan penerangan bersama lampu minyak tanah di depan rumahnya sehingga menerangi orang yang ada keperluan jalan di malam hari.
Ada lorong yang membuat kami selalu berdebar jika melewatinya di malam hari. Lorong itu lurus memanjang sekitar 200 meter. Kondisinya gelap & dikiri-kanannya ada pagar yang ada pohon pisangnya. Suatu waktu, kami bertiga pernah pulang tepat hujan rintik-rintik. Kami awalnya sangat gembira karena dalam 2 atau tiga hari lagi kami akan menyelesaikan turutan & akan masuk belajar membaca Al-Quran.
Awalnya kami berjalan berlahan. Angin kencang yang tiba-tiba bertiup membuat bulu kudukku berdiri. Kasimo & Suparman, kakak beradik yang ada di depanku sudah lari duluan. Apalagi melihat bayangan pohon pisang yang melambai-lambai di tengah temaramnya cahaya bintang gemintang.
Entah siapa yang ngomong duluan, Kasimo & Suparman tiba-tiba pribadi berteriak, gendruwooooo. Sambil mengambil langkah seribu. Jantungku yang berdetak kencang pun reflek ikut berlari kencang. Baru sekitar 50 meter berlari kencang Suparman terjatuh diikuti oleh kakaknya, Kasimo yang menginjak sarungnya. Saya pun ikut menimpa mereka. Kami pun terjerembab di lorong & berusaha bangkit secepatnya untuk pulang.
Sampai di ujung lorong. Pakaian & sarung kami pun kotor semua. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Saya pun menceritakan hantu itu pada emak. Emak hanya menanggapi dingin. Manusia kok takut sama hantu. Kalau kau beriman justru hantu yang takut bersama engkau, kata Emak sambil mencarikan kaos & celana untuk menggantikan baju & celanaku yang kotor.
Keesokan harinya ketika kami kembali mengaji, ternyata Kak In sudah mengetahui perihal ketakutan kami akan hantu di lorong menuju ke langgarnya Pak Ismangil. Ternyata emak-emak kami cerita di warung waktu beli sayuran.
Lucu kalian ini. Hadapi hantu itu. Hantu emang ada, kata Kak In. Kami pun diolok oleh teman-teman yang lain. Mereka yang sudah membaca Al-Quran mengatakan, coba baca ayat Qursy. Tapi kan kalian belum sanggup, kata Mansur mengejek. Terserah dah, pikirku. Paling penting sekarang saya sudah mulai belajar membaca Al-Quran bukan membaca Turutan lagi. Sekitar 6 bulan kemudian kami bertiga pun sudah lancar membaca Al-Quran.
Kamis malam Jumat, usai Sholat Maghrib di rumah masing-masing, soalnya libur ngaji kalau malam Juat, Saya, Kasimo & Suparman pun berjalan lenggang kangkung melewati lorong, hendak ke Langgar karena biasanya Kak In atau Pak Ismangil cerita tentang nabi atau wali . Entah dengar cerita hantu di mana, Kasimo mengungkapkan kalau malam Jumat apalagi Jumat kliwon hantu-hantu serem keluar bergentayangan menakuti manusia. Bakar kemenyan wae hari Jumat Kliwon. Itu yang aku dengar berasal Lek Kandar kata Kasimo.
Saya tak tahu apa maksud Kasimo menceritakan cerita hantu Jumat Kliwon, padahal sebenarnya Kasimo & Saya serta adiknya sendiri, Suparman sebenarnya sama takutnya.
Usai berasal langgar, saya keluar dulu karena ceritanya tidak menarik, jadi saya ngemper di depan langgar sambil menunggu Kasimo & Suparman yang seperti masih asik mengikuti cerita Kak In. Saya iseng melihat kalender di sudut ruang tamu rumahnya Pak Ismangil. Malam ini ternyata hari Jumat & dalam penanggalan Jawa masuk Kliwon. Jantungku berdetak kencang. Bulu roma ku pribadi meremang.
Saya kemudian keluar rumah menunggu di halaman. Keringat dingin pun keluar. Kasimo & Suparman yang selesai pribadi kuhampiri. Mo, Man, ini Jumat Kliwon. Saya tadi lihat kalender punyo Pak Ismangil, kataku. Kasimo yang tadi sore terlihat gagah, samar kulihat wajahnya memucat. Dengan suara bergetar ia mengatakan, Kita pelan-pelan aja. Jalannya sambil baca Ayat Qursy. Kan takut hantu & setannya bersama Ayat Qursy.
Kami pun memberanikan diri & baru sekitar 75 meter dekat bersama kami terjerembab waktu itu, tiba-tiba berkelebatlah bayangan putih. Tidak hanya sekali tetapi beberapa kali melayang & naik turun. Kami pun serempak berteriak, gendruwooo. Suparman pribadi terjatuh, demikian pula Kasimo yang pribadi lemas teduduk. Saya yang tetap konsentrasi akhirnya memilih balik kanan ke rumah ke langgar.
Ada gendruwo, teriakku. Kak In yang masih di langgra & masih nampak ngobrol bersama Pak Is pun pribadi keluar & bersama masih menggunakan sarung ia berlari & melihat Kasimo & Suparman menangis ketakutan. Kak In bak film silat bersama ringannya melompati pagar setinggi satu setengah meter itu & menerobos ke pohon-pohon pisang.
Hanya dalam hitungan detik, terdengar suara mengaduh & minta ampun. Tidak hanya satu tetapi 2 orang sepertinya ikut mengaduh & minta ampun. Orang kampung pun ramai keluar & mengarah ke sumber Kasimo & Suparman yang menangis & saya yang ikut-ikutan menangis, sepenanggungan.
Ini nih gendruwonya. Jaenuri sama Dul Kamit, kata Kak In. Pak RT, Muslim namanya, yang juga datang lalu menenangkan massa yang ingin ikut memukuli Jaenuri & Dul Kamit karena menakut-nakuti anak kecil. Jaenuri & Dul Kamit merupakan saling sepupuan yang merupakan cucu pemilik kebun pisang tersebut, mereka pun berjanji tak akan menakuti lagi anak-anak yang mengaji.
Pulang ke rumah, Saya, Kasimo, & Suparman diantar warga kampung & dijelaskan duduk persoalannya kepada orangtua kami masing-masing. Waktu ke kamar mandi, saya merasa ada yang aneh. Celanaku basah. Aduh aku ngompol ternyata saking takutnya.
Sejak saat itu tersiar kabar di kampung kalau Kak In selain pandai mengaji juga jago silat. Terbukti pagar setinggi satu setengah meter dilompatinya bersama ringan. Jaenuri & Dul Kamit yang menakuti anak-anak yang mengaji pun diselesaikan satu jurus. Hantu putih yang ternyata mukena terbang di pohon pisang sudah tak ada lagi. Mukena itu terbang dibantu bersama tali pancing yang diikatkan di antara pohon & daun pisang lalu ditarik-tarik oleh Jaenuri & Dul Kamit sehingga seakan-akan ada hantu terbang di malam gulita. Nuwun.