Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Selain pada Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Jejak perpaduan budaya Tionghoa maupun sangat kental terasa pada Masjid & Makam Mantingan, Jepara. Warna Tionghoa pada Masjid & Makam Mantingan tidak hanya pada ornamen & pembuatnya. Pangeran Hadiri, satu tokoh yg dimakamkan pada sana maupun seseorang Tionghoa yg awalnya dikenal sebagai Juragan Wintang.
Ukiran-goresan baru kapur yg menempel pada dinding Manjid Mantingan, semua didesain oleh patih Tionghoa yg dikenal dengan nama Sungging Badar Duwung. Karena itu, tak mengherankan bila dampak Tionghoa pada ornamen-ornamen tersebut sangat kental. Pengaruh bertenaga budaya Tionghoa tersebut, mungkin saja tidak hanya berasal dari Sungging Badar Duwung, akan akan tetapi maupun dari Ratu Kalinyamat.
Masjid antik Mantingan didirikan pada tahun 1559 Masehi atau tahun Saka 1481. Kepastian waktu tersebut bisa dicermati pada candrasengkala yg terukir pada atas sekeping batu, segaya dengan ornamen lainnya. Terletak pada atas mihrab, berbahasa Jawa, rupa brahmana rona sari. Titi mangsa ini bertepatan dengan masa pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Dugaan bertenaga, masjid antik ini dibangun oleh Ratu Kalinyamat. Kemungkinan akbar bersamaan waktunya dengan pembangunan muoleum jirat makam suaminya. Atau tepat 10 tahun sehabis Hangeran Hadiri, sang suami, meninggal global.
Ornamen-ornamen berpengaruh budaya Tionghoa dijadikan hiasan masjid, kemungkinan untuk menghormati mendiang suaminya, yg syahdan maupun berasal dari Tiongkok. Menurut silsilah yg terpajang pada dinding cungkup makamnya, Ratu Kalinyamat sendiri masih memiliki darah Tionghoa. Ayahnya, Sultan Trenggono, merupakan putera Raden Patah yg memiliki nama Tionghoa, Jin Bun, merupakan putra Brawijaya V hasil perkawinannya dengan seseorang putri Cina.
Mengutip Serat Kandaning rinngit Purwa, Hartojo & Amen Budiman, menyebut kisah awal Pangeran Hadiri merupakan seseorang pedagang Tionghoa. Dalam naskah itu disebut sebagai Juragan Wintang yg tiba ke Jawa membawa 3 butir jung sarat dengan barang dagangan dari Tiongkok.
Sampai pada Ujung Elor, semua jung Juragan Wintang karam & menewaskan orang-orang Tionghoa pada dalamnya, termasuk sanak keluarganya. Juragan Wintang, yg sudah tak memiliki apapun, terdampar pada sebuah wilayah bernama Jung Mara (kemudian disebut Jepara). Di wilayah ini, ia bertapa tewas raga, hingga mendapatkan sebuah wangsit ; jikalau dia mendapatkan pulang harta bendanya, hendaknya memeluk agama Islam pada Sunan Kudus & melakukan semua perintahnya.
Setelah terjaga, Wintang bergegas pergi ke Kudus menemui sang sunan. Dengan bahasa Tionghoa, dia mengutarakan semua persoalannya kepada Sunan Kudus. Sebagai penerjemah merupakan Ki Rakim, salah satu murid Sunan Kudus, yg kebetulan maupun seseorang Tionghoa. Singkat cerita, Wintang masuk Islam & diberi nama Rakit serta diperintahkan tinggal pada pinggir sungai Kalinyamat. Lama kelamaan wilayah tinggalnya menjadi sebuah desa yg oleh Sunan Kudus diberi nama Kalinyamat.
Identifikasi Pangeran hadiri yg dikaitkan dengan seseorang Tionghoa muslim bernama Wintang ini, bertolak belakang dengan cerita celoteh yg berkembang pada rakyat lebih kurang Masjid & Makam Mantingan. Dalam cerita celoteh pada rakyat, Pangeran Hadiri berasal dari Aceh. Nama aslinya Raden Toyip, putera Syekh Muhayat. Meski demikian, dalam versi rakyat lebih kurang ini maupun masih mengaitkan Pangeran Hadiri dengan Tiongkok.
Digambarkan dalam versi ini, Raden Toyib pernah berselisih dengan kakaknya Raden Takyim dalam perebutan tahta, lantaran ayahnya berkeras hati ingin mengangkat menjadi Sultan Aceh. Raden Toyib meninggalkan negerinya menuju Tiongkok, hingga pada sana Raden Toyib diambil anak seseorang patih Tionghoa. Nama Toyib bagi orang Tionghoa sangat sulit dilafalkan, kemudian terdapat ucapan Toyat.
Selama lima tahun lamanya Toyib mengembara Tiongkok. Pada suatu hari Toyib melihat ayah angkatnya murung sekali. Ayah angkatnya tersebut ternyata sedang menghadapi sebuah masalah yg sangat pelik. Giwang mahkota kaisar Tiongkok sedang mengalami kerusakan. Sang patih diperintahkan memperbaikinya. Aika dalam waktu 40 hari tidak bisa, maka ia akan dihukum tewas. Hampir mendekati batas waktu yg dijanjikan, giwang mahkota kaisar Tiongkok itu ternyata masih dalam keadaan rusak. Tidak terdapat seseorang tukang emas pun bisa memperbaikinya.
Toyip sangat prihatin terhadap ayah angkatnya. Ia menyanggupi untuk memperbaiki giwang mahkota yg rusak. Cara yg tidak masuk logika, ia meminta donasi bangsa jin menukarkan giwang yg rusak, kebetulan bangsa jin yg berdomisili pada tengah laut memiliki giwang yg sama. Waktu melihat giwang mahkota itu ayah angkat Toyib sangat takjub. Giwang mahkota itu segera dibawa ke istana. Kaisar Tiongkok sangat terheran melihat giwang mahkotanya nampak seperti baru, tidak sedikitpun mengambarkan-mengambarkan pernah mengalami kerusakan.
Kaisar Tiongkok memaksa ayah Toyib menunjukkan siapa orangnya yg memperbaiki giwang mahkotanya yg rusak. Ayah Toyib dengan terus terang menyatakan bahwa orang yg dimaksud tidak lain merupakan anak angkatnya sendiri. Toyib segera diundang menghadap ke Istana. Kaisar Tiongkok sangat tertarik kepadanya, kemudian Toyib dijadikan anak angkatnya. Toyib menolak lantaran ingin meneruskan bepergian ke Jepara.
Sampai pada Jepara Toyib menuju ke istana Ratu Kalinyamat. Kepada penjaga istana dengan terus terang menyebutkan maksudnya ingin menghadap Kanjeng Ratu Kalinyamat untuk mengabdi. Keinginan Toyib dikabulkan Kalinyamat dengan diberi pekerjaan sebagai tukang kebun. Kanjeng Ratu Kalinyamat berkenan hati mengkaji pekerjaannya, tiba-tiba hati kanjeng Ratu berdebar-debar & mengira bahwa Toyib bukanlah orang biasa. Kalinyamat segera menanyai berasal-usulnya akan tetapi tidak mau mangaku.
Akibatnya Toyib dimasukkan ke dalam penjara. Entah mengapa, sehabis beberapa waktu lamanya meringkuk dalam penjara Raden Toyib akhirnya bersedia maupun membuka rahasia hidupnya. Hingga kemudian Toyip mengaku jikalau ia berasal dari Aceh. Untuk ke 2 kalinya hati Kalinyamat menjadi berdebar-debar. la kemudian teringat pada ramalan mendiang ayahnya: Bahwa orang laki-laki yg akan menjadi jodohnya kelak bukan berasal dari kalangan rakyat pribumi Jawa, akan akan tetapi dari negeri manca nagari.
Pemuda Toyip maupun digambarkan sebagai seseorang yg rupawan. Sebagai seseorang insan insan biasa bisa dimaklumi jikalau hati Kalinyamat pada waktu itu tidak keruan. la merasa bukan mustahil Toyib memang merupakan calon suami bagi dirinya, seperti pernah diramalkan oleh mendiang ayahnya. Sekalipun demikian sang ratu masih bisa menyabarkan gelora perasaannya. Untuk memastikan dugaannya, Toyib ingin dicoba.
Kalinyamat berusaha mencoba meruntuhkan imannya, akan akan tetapi tidak berhasil, hingga akhirnya Kalinyamat merasa yakin benar-benar, Raden Toyib memang merupakan jodoh yg sudah ditakdirkan Tuhan bagi dirinya. Keesokan harinya Kalinyamat segera minta dinikah. Tidak dijelaskan bagaimana sikap Toyib pada waktu itu. Yang sempurna Toyib tidak menolak. Setelah menikah sang ratu rnenyerahkan tahta kerajaan Jepara kepadanya. Raden Toyib menyandang nama baru, yakni Pangeran Hadiri.
Saat ini, pesarean Pangeran Hadiri & Ratu Kalinyamat berdampingan dalam satu cungkup pada komplek Makam Mantingan. Dalam cungkup ini maupun terdapat makam Raden Ayu Prodobinabar, istri ke 2 Pangeran Hadiri, yg tak lain merupakan putri Sunan Kudus. Ada pula makam Dewi wuryan Retnosari, putri sultan Hasanussin dari Banten, yg diangkat anak oleh Pangeran Hadiri.
Selain itu terdapat 7 makam lainnya, yani makam senopati Abdurrahman dari Mataram, istri & ketiga anaknya, serta makam Ci wie Gwan alias patih Tionghoa Sungging Badar Duwung & istrinya. Di makam Cie Wie Gwan inilah, umumnya orang-orang Tionghoa melakukan peziarahan.
Asal-usul Pangeran Hadiri betapapun rumitnya, tidak terdapat asal sejarah yg sempurna bisa menjelaskan berasal-usulnya. Mengenai Pangeran Hadiri hanya didapat melalui celoteh cerita rakyat setempat & Serat Kandaning Ringgit Purwa. Informasi ini merupakan suatu citra yg menarik yg ditemukan wacana Pangeran Hadiri yg bukan hanya menceritakan seseorang pedagang Tionghoa yg masuk Islam kemudian menjadi pemimpin Jepara.
Tetapi maupun bahwa dia merupakan seseorang yg memiliki ketrampilan dalam perkapalan & pakar dalam bidang kontruksi bangunan. Meskipun dalam bisnis perkapalan yg dilakukan Pangeran Hadiri & Ratu Kalinyamat untuk menunjang kegiatan niaga & membantu penyediaan wahana bagi ekspedisi militer & armada perang Jepara.
Kehadiran Pangeran Hadiri sebagai pengusaha akbar pada bidang perkapalan, cukup berpengaruh pada jalannya pemerintahan, diantaranya membantu pengerahan kapal-kapal perang yg digerakkan istrinya, hal ini meningkatkatnya bisnis dalam pertukangan & adanya masjid Mantingan yg hingga ketika ini dapat dicermati menunjukkan andil Pangeran Hadiri dalam pendirian Masjid.
Sesuai dengan literatur, arsitektur masjid ini sangat unik. Dari relief-relief yg terdapat pada bangunan masjid mendeskripsikan pada masa pembangunannya, budaya Hindu masih kental mewarnai perkembangan budaya rakyat ketika itu. Ini terlihat dari motif-motif ornamen yg terdapat pada hiasan masjid.
Ornamen relief beraneka bentuk menunjukkan sebuah hasil seni berkualitas sangat tinggi pada masanya. Motif hewan seperti kijang, gajah, & kera dengan stilasi sulur-sulur tercetak sangat halus pada batuan sejenis kapur yg keras. Dari beberapa relief maupun tergambar epos wacana cerita Ramayana, dengan tokohnya Hanoman, Rama & Shinta. Keunikan lain arsitektur Masjid Mantingan yg hingga ketika ini bisa dicermati merupakan adanya bangunan gapura candi bentar. Lagi-lagi ini menunjukkan masih adanya dampak budaya Hindu pada masa itu.
Bangunan yg sekarang tidak semuanya orisinal, lantaran sudah beberapa kali mengalami pemugaran. Aslinya Masjid Mantingan terbuat dari bata merah, atapnya bersusun 3, & memiliki 3 pintu yg masing-masing berdaun pintu ganda; ketiga pintu ini menimbulkan dinding pada bagian depan terbagi menjadi empat bidang. Pada dinding ini terdapat relief rendah, dalam panel-panel. Pada setiap bidang tembok terdapat tujuh panel berelief yg tersusun dari atas ke bawah, sehingga dalam empat bidang seluruhnya terdapat 28 panel.
Di kiri kanan masing-masing deretan panel berelief terdapat hiasan berbentuk kelelawar, demikian maupun pada tiap-tiap pintu, sehingga jumlah seluruhnya 64 butir. Hiasan medalion lingkaran yg maupun terdapat pada dinding yg terletak pada kiri kanan tangga naik menuju masjid, pada masing-masing sisi terdapat empat panel.
Tahun 1927 Kompleks Mantingan dipugar, menggunakan semen & kapur sehingga ganggu kekunaan & keasliannya. Bangunan baru ini sudah ditempelkan pada panel relief yg berasal dari masjid usang yg dibangun pada 1559 Masehi. Papan-papan batu berelief ini sebagian akbar diletakkan pada kanan-kiri atas 3 pintu yg terdapat pada dinding serambi masjid, kemudian terdapat yg dipasang pada dinding bawah, dinding luar & sudut-sudut bangunan.
Sekitar tahun 1978-1981, Masjid Mantingan pulang dipugar. Dalam kegiatan pemugaran berhasil ditemukan enam panel yg berelief pada ke 2 belah sisinya, sejumlah akbar balok-balok batu putih & maupun suatu fondasi bangunan antik. Pemugaran yg terakhir ini sudah berakibat perubahan bentuk masjid yg atapnya dahulu bersusun 3, kini beratap satu, tiang serambi depan dibongkar & reliefnya dipindah. Di sisi kanan & kiri terdapat tambahan ruangan sehingga bidang dindingnya menjadi enam bidang & masing-masing bidang terdapat panel berelief.
Ornamen yg jumlahnya begitu poly ditemukan selama pemugaran itu, beberapa pada antaranya dipasang pada tembok serambi masjid. Sedangkan yg lainya disimpan pada gudang milik masjid, pada Museum Kartini Jepara & sebagian lagi tersimpan pada Museum Ronggowarsito Semarang, Jawa Tengah.
Pemakaman ini ramai dikunjungi pada ketika Haul, hari dimana rakyat memperingati hari meninggalnya Sultan Hadiri. Ritual ini diadakan setahun sekali pada lepas 17 Rabiul Awal (Kalender Muslim) pada hari itu terdapat tradisi "Ganti Luwur" atau (Ganti Kelambu). Peringatan Hari Jadi Kabupaten Jepara oleh Pemkab Jepara Setiap tahun yg jatuh pada 10 April, puncak peringatan ritualnya selalu berpusat pada masjid ini. Nuwun.