Kalau di Tuban, khususnya di Desa Besowo, Kec. Jatirogo timbul mitos Genderuwo yg bisa diperjual belikan. Lain halnya di Desa Palar kecamatan Trucuk kabupaten Klaten, Jawa tengah yaitu Khususnya Dukuh Mbero. Menurut cerita yg berkembang, syahdan dibawah pohon Ketos raksasa ditengah desa tadi yg berusia sekitar 500 tahun terdapat kerajaan tuyul bahkan sebagai komunitas tuyul terbesar di Indonesia. Yang dipercayai sebagai putra wayah Eyang Bondho. Barangkali alasannya adalah mitos itulah tidak mengherankan jikalau desa tadi terkenal dan dalam akhirnya memberi warna tersendiri bagi kehidupan warga masyarakatnya.
Bagi yg ingin masuk tempat tadi wajib orang yg sehat, sehat dalam artian bukan dalam keaadaan stres dan berlaku sopan. Menurut cerita yg santer di kalangan supranaturalis, kebanyakan orang yg datang ke tempat tadi ingin meminta sesuatu dengan mediator pohon Ketos tadi. Konon mereka yg datang timbul jua yg langsung ingin menjadi orang tua asuh tuyul-tuyul tadi. Kalau pendaftar sungguh berfokus mantap tekadnya dan sanggup memenuhi semua persyaratannya, barulah perangkat lunak ritual dimulai.
Jamaknya insan, tidak semua orang bernyali dan umum berlaku setiap orang maunya terima beres. Dalam hal ini kalangan ini menyerahkan sepenuhnya dalam juru kunci yg tentunya dengan mengganti dengan sejumlah uang buat pengganti ubo rampenya.
Konon, selesainya ritual permulaan sang juru kunci menyampaikan sepasang kanthong berwarna putih buat wadah benda-benda yg diambil sumber lokasi pohon ketos dua buah kanthong itu yg melambangkan bahwa yg dibawa pergi merupakan 2 sosok tuyul.Namun yg namanya mahkluk mistik apa yg dibawa pergi tidak bisa dilihat sang mata dengan jelas bagi orang awam. Sebab wujud tuyul-tuyul beraneka ragam bentuknya timbul yg hitam legam dengan kepala gundul, timbul yg putih misalnya batu pualam matanya merah menyala, timbul yg bertaring dan bertelinga mirip kelelawar, dan masih banyak jenis rupa lainnya yg akan panjang aku sebutkan di sini. Secara umum penempatan rupa tadi merupakan berdasarkan dengan karakter masing-masing tuyul. Mungkin kerabat perkerisan akan tercengang jikalau di alamnya timbul jua tuyul yg tingginya tidak lebih sumber 10 cm saja.
Ceritanya, buat mengadopsi mereka pelaku ritual dilarang pilih-pilih. Semua tergantung dalam tuyul-tuyul yg bersangkutan. Konon, begitu keramatnya pohon ketos tadi hingga warga setempat pun tidak timbul yg berani memetik daun ataupun rantingnya secara sembarangan. Bahkan warga setempat menghormati pohon tadi. Buktinya, tiap tanggal 1 Suro selalu digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Dengan maksud buat menerima keselamatan dan rezeki yg melimpah supaya warga disekitar tidak diganggu. Satu fenomena konduite galat kaprah yg terus dilestarikan. Dan satu konduite menyimpang yg tetap lestari di zaman sedigital ini. Maturnuwun