Dedalane guno lawan sekti,Kudu andap asor,Wani ngalah luhur wekasane,Tumungkula yen dipun dukani,Bapang den simpangi,Ono catur mungkur
Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Saya tidak mengatakan seluruhnya, tapi sangat mungkin generasi belia Jawa saat ini tidak tahu bait tembang kepada atas. Bait kepada atas adalah petikan berasal tembang Mijil yang mampu dikatan paling terkenal. Dahulu, alasannya sekarang tampaknya langka ditemui lagi, tembang Mijil ini dilantunkan orang tua untuk memberi wejangan kepada anak-anaknya. Namanya juga wejangan kisanak, tentu didalamnya sarat akan nilai-nilai luhur. Pada kesempatan kali ini, itung-itung nguri-nguri warisan leluhur Jawa, saya ajak sampeyan untuk menyelami makna tembang Mijil ini lebih dalam lagi.
Secara holistik, tembang Mijil ini berisi tentang tata nilai yang harus dipegang teguh oleh kita menjadi manusia. Di dalamnya mengandung tuntunan etika dalam bermasyarakat yang mencakup tentang persaudaraan, keilmuan, kesantunan, serta berbagai seperangkat etika yang lainnya. Ternyata tembang Mijil ini sangat Islami, baik latar belakang adanya tembang ini, maupun nilai moral yang terkandung didalamnya.
Tembang Mijil ini termasuk dalam tembang macapat Jawa. Konon, tembang Mijil ini memang dalam beberapa referensi dipakai menjadi metode dakwah Islam, beberapa sumber menjelaskan Mijil adalah karya berasal Jafar Shodiq atau Sunan Kudus, sedangkan sumber lainnya mengatakan Mijil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk berdakwah.
Sedikit menyampaikan gambaran, bahwa menurut para pakar tafsir sastra Jawa, tembang macapat itu merupakan urutan sebuah bepergian seseorang berasal lahir sampai mati. Mijil adalah yang pertama. Secara harfiah berarti muncul atau tampil, ditafsirkan menjadi sebuah kelahiran. Ada yang menjelaskan bahwa itu merupakan kelahiran fisik bayi lahir berasal kandungan ibunya, ada juga yang menafsirkan sebuah kelahiran ketika orang mulai muncul keinginan untuk menjadi baik, dikatakan menjadi kelahiran kembali.
Nah, sekarang kita bergerak untuk memaknakan pesan moral yang terkandung kepada petikan syair Mijil kepada pembuka tulisan ini;
Dedalane guno lawan sekti,
Kudu andhap asor,
Wani ngalah dhuwur wekasane,
Tumungkula yen dipun dukani,
Bapang den simpangi,
Ono catur mungkur
Dedalane guno lawan sekti. Sesuai posisinya menjadi kalimat pertama, kalimat ini merupakan pembuka serta memberi tahu kita bahwa ini adalah tentang jalan (dalan) kita untuk (guna) menuju kemuliaan (sekti). Pemaknaan tersebut adalah sebuah pengingat kita menjadi manusia, bahwa tujuan hidup mampu dicermati berasal dua perspektif, yaitu mempersiapkan bekal setelah mati (alasannya manusia pasti mati), serta melakukan sesuatu agar kesempatan kita hidup kepada dunia ini, menjadi sebuah kehidupan yang bermakna serta memberi manfaat bagi kehidupan.
Sekti mampu ditafsirkan tentang gambaran sebuah pengetahuan serta ketrampilan seseorang. Bait ini mampu diterjemahkan secara jalan agar kita berguna kepada dunia ini dengan mempunyai kapasitas yang kita miliki. Seorang yang mengaku Islam misalnya, tentu dalam hal ini ia harus mempunyai ilmu menjadi bagian berasal ibadah kepada Allah SWT. Karena kalau iman saja, kemudian tanpa ilmu, maka itu tidak mempunyai kegunaan. Maka harus berilmu dulu, beriman, lalu yang selanjutnya adalah menerapkan dalam bentuk amal.
Kudu andap asor. Bahwasanya kita harus (kudu) menempatkan diri kita kepada bawah (asor). Andhap asor artinya dibawah. Bukan berarti kita merendahkan diri sendiri, namun maknanya adalah menempatkan orang lain lebih tinggi berasal kita, sehingga kita harus selalu menghormati serta menghargai orang lain. Menariknya, kalimat ini menjadi bait ke 2 setelah kalimat pembuka. Seolah memberi penekanan mengenai awal pertama kali seseorang harus mampu untuk tahu diri, sehingga mampu menempatkan diri. Untuk kemudian mampu membawa diri kita kepada tujuan kita menjadi manusia.
Wani ngalah luhur wekasane. Kurang lebih artinya mengalah untuk menang atau mampu juga dimaknai ketika kita diminta untuk mengalah justru membutuhkan keberanian. Biasanya orang berbicara agar seseorang harus berani agar menang. Tapi ini tidak, justru kita harus berani mengalah. Mengalah disini adalah intepretasi berasal ajaran untuk sabar serta tidak egois.
Mengalah bukan berarti kita kalah terhadap orang lain, mengalah adalah ketika kita mampu menang atas diri kita sendiri. Sehingga betul juga kata orang-orang itu, bahwa untuk menang harus berani. Tapi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah menang terhadap diri kita sendiri, kita mempunyai kendali terhadap diri kita sendiri. Kita mampu memimpin diri kita sendiri. Itulah arti mengalah, serta hal tersebut memang butuh keberanian. Kesimpulannya, makna yang tersirat kepada kalimat ini adalah tentang ilmu pengendalian diri.
Tumungkula yen dipun dukani. Artinya menunduklah (tumungkula) jikalau dimarahi (dipun dukani). Secara harfiah bait ini berarti jangan membantah bila kita dimarahi. Kita melihat dimarahi mampu berarti oleh orang lain, tapi juga mampu oleh kehidupan, oleh alam, serta diujung perenungan itu mampu oleh Sang Pencipta. Sebuah bala, kecil atau besar, menimpa diri eksklusif atau suatu umat, adalah juga saat kita dimarahi.
Ketika menemui kegagalan, maka tumungkul berarti jangan membantah. Yang mampu diartikan bahwa saat dimarahi usahakan tidak membantah, tidak melawan, tidak putus impian, pantang menyerah, serta juga tidak saling menyalahkan. Tidak membantah juga diartikan menjadi membisu, mau untuk merenung, mau untuk belajar.
Makna yang tersirat dalam kalimat atau syair kepada atas, bahwa kita harus mau menerima setiap masukan kepada kita. Tidak peduli apa isi masukannya serta berasal siapa. Selanjutnya, tinggal bagaimana kita bersikap atas masukan tersebut.
Bapang den simpangi. Saya kurang paham arti kalimat ini, namun sejauh pemahaman saya, Bapang adalah nama sebuah gubahan tarian yang mampu dikonotasikan menjadi bentuk hura-hura. Bait ini mampu diartikan agar orang usahakan menghindari hal-hal yang berifat hura-hura. Lebih jauh lagi dimaknai menjadi hal-hal yang hanya ada dipermukaan. Karena konotasi bapang mampu diperluas kepada hal-hal yang hanya tampak indah dipermukaan tapi dalamnya rapuh.
Mungkin ini mampu dijabarkan kepada sikap-sikap pargmatis, yang menuhankan keberadaan serta pencitraan diri semata, sifat suka dipuji, bahagia kalau orang lain mengagung-agungkan kita. Hal itulah yang usahakan dihindari. Makna kalimat ini intinya mengajak kita untuk menghindari berfoya-foya, untuk menghindari sifat suka kemewahan serta kesombongan. Kita diajarkan untuk bersyukur atas apa pun. Saya merangkum inti kalimat ini adalah agar kita 'menghormati' yang namanya kesederhanaan.
Ana catur mungkur. Bait terakhir ini mempunyai makna hafiah untuk mengindari pergunjingan. Pergunjingan biasanya selalu berawal berasal prasangka buruk. Kalimat ini adalah sebuah wangsit, alih-alih kita terlalu menanggapi prasangka buruk terhadap kita, usahakan justru kita lebih fokus kepada apa yang baik kita kerjaan, dalam rangka memberi manfaat tadi. Terus berkarya dengan apa yang kita miliki, dengan apa yang kita punya.Kalimat ini hampir sama dengan paribasan Jawa yang bunyinya 'ojo cedhak kebo gupak'.
Sebagai penutup tulisan ini, sejatinya budaya Jawa mempunyai banyak nilai luhur. Ada beberapa hal yang mampu diambil berasal filosofi tembang Mijil dalam masyarakat Jawa, yaitu tentang etika, jelas tercermin dalam semua baitnya, baik bait pertama sampai terakhir. Bukan ethnocentris, tapi menjadi manusia Jawa saya bangga mengakui ke-Jawa-an saya. Selanjutnya, mari kita lestarikan budaya etnis kita masing-masing. Indonesia ini kan Bhineka Tunggal Ika, banyak etnis, artinya kita ini kaya akan budaya.
Walaupun kita beda etnis serta punya budaya sendiri-sendiri, jangan sampai kita pecah alasannya perbedaan itu. Eling toh, kita sedoyo kudu andap asor. Semoga pemaknaan bebas tentang tembang Mijil berdasarkan persepsi serta perspektif saya menjadi orang Jawa yang mampu dikatakan kere ngelmu ini mampu menjadi manfaat bagi siapa pun, etnis apapun, termasuk kepada dalamnya diri saya eksklusif. Nuwun. Urd2210
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat 05/052017