Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Kediri bukan hanya pabrik rokok yang sampeyan isep itu aja lho, Kang! tutur temen aku ketika itu. Tapi memang betul adanya. Kediri dapat dikatakan menjadi kota tua yang banyak tinggalan sejarahnya di masa lampau. Sebut saja satu di antaranya, yakni petilasan atau tempat Prabu Jayabaya moksa. Namun timbul yang jauh lebih populer asal itu semua, yakni sebuah ramalan atau orang seringkali menyebutnya Jangka Jayabaya.
Prabu Jayabaya ialah salah seorang raja Kediri (1130-1157) yang masyur, selain itu konon ia pula pakar dalam menerawang masa depan. Sebagain akbar asal kita (kususnya orang Jawa) percaya, bahwa ia yang menulis sebuah syair ramalan yang diklaim Serat Jangka Jayabaya. Isinya ialah ramalan tentang jatuh-bangunnya "Negeri Jawa" atau Nusantara. Umumnya tafsir tentang Serat Jangka Jayabaya selalu menekankan kepada akan datangnya sosok pemimpin hebat yang akan memulihkan zaman yang rusak (edan) menuju zaman yang penuh kemuliaan & ketentraman sejati.
Anggapan bahwa Jayabaya yang menulis syair ramalan tadi justru berbeda bersama Wibatsu Harianto Soembogo yang teruang dalam bukunya Kitab Primbon Quraisyn Adammakna: Serat Jangka Jayabaya yang menyatakan bahwa asal Serat Jangka Jayabaya sebenarnya merujuk kepada Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri III) yang dikumpulkan kepada tahun Saka 1540 (1618). Sedangkan Serat Jangka Jayabaya sendiri pertama kali ditulis oleh Pangeran Wijil I (Pangeran Kadilangu II) kepada tahun Saka 1666-1668 (1741-1743).
Pangeran Wijil I ini ialah keturunan Sunan Kalijaga, sehingga beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya asal dekat, termasuk riwayat masuknya Prabu Brawijaya V ke dalam agama Islam serta kisah pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya V & Sabdo Palon Nayagenggong.
Dengan demikian, keotentikan Serat Jangka Jayabaya menjadi karya sastra yang ditulis oleh Prabu Jayabaya sangat diragukan. Apalagi isi asal Serat Jangka Jayabaya sangat dipengaruhi oleh teologi Islam, padahal Jayabaya ialah Raja Kediri yang beragama Hindu & memerintah sebelum masa Islam masuk Nusantara.
Kuat dugaan Kitab Asrar warisan Sunan Giri Prapen dikonstruksi ulang oleh Pangeran Wijil I & isinya dipadukan bersama Serat Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah kepada masa Prabu Jayabaya. Mungkin tujuannya buat dapat menjadi asal penyemangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari. Pangeran Wijil I meminjam ketenaran Prabu Jayabaya buat menambahkan otoritas & wibawa pesan nasionalisme yang ingin disampaikan.
Dari masa ke masa, banyak tafsir-tafsir dirancang atas syair-syair Serat Jangka Jayabaya. Apalagi bersama didukung oleh ramalan Serat Sabdajati karya pujangga akbar Ronggowarsito & Wangsit asal Prabu Siliwangi. Hebatnya simbol-simbol yang dipergunakan dalam syair-syair Serat Jangka Jayabaya sangat relevan bersama kenyataan zaman modern dewasa ini. Berikut beberapa petikan syair & tafsir yang berkembang di warga:
Syair:
Mbesuk jen wis ana kreta mlaku tanpa turangga
Tanah Djawa kalungan wesi
Prahu mlaku ing a duwur jumantara
Kali kepada ilang kedunge, iku tanda yen jaman
Jayabaya wis cedak.
Terjemahan :
Besok seandainya timbul kereta berjalan tanpa kuda ( tafsir = mobil, kereta barah)
Tanah Jawa berkalung besi ( tafsir = rel Kereta barah)
Perahu terbang di atas angkasa ( tafsir = pesawat terbang, roket)
Sungai kepada hilang sumbernya (tafsir = sungai protesis)
Itulah pertanda jaman Jayabaya sudah dekat.
Syair:
Akeh udan salah mangsa
Akeh perawan tua
Akeh randa meteng
Akeh bayi takon bapa
Agama akeh kang nantang, kamanungsan ilang
Terjemahan :
Banyak hujan tidak tepat /sesuai musimnya
Banyak perawan tua
Banyak janda hamil (tafsir = tanpa suami)
Banyak bayi bertanya siapa bapaknya (tafsir = hamil di luar nikah)
Agama banyak ditentang, rasa humanisme makin hilang
Syair:
Wong wadon nganggo pakean lanang
Iku tandane yen bakal nemoni wolak-waliking jaman
Akeh manungsa ngutamakake real, lali kemanungsan
Terjemahan:
Perempuan berpakaian laki-laki
Itu pertanda akan menemui jaman yang serba terbalik
Banyak manusia mengutamakan harta, lupa rasa humanisme.
Syair:
Wong apik-apik padha kapencil.
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin.
Luwih utama ngapusi.
Terjemahan:
Orang baik terkucilkan.
Banyak orang bekerja baik-baik /amanah yang malah malu
Lebih baik berdusta
Syair:
Wong wadon ilang kawirangane.
Wong lanang ilang kaprawirane.
Akeh wong lanang ora duwe bojo.
Akeh wong wadon ora setya marang bojone.
Akeh bunda padha ngedol anake.
Akeh wong wadon ngedol awake.
Terjemahan:
Orang perempuan hilang malunya
Lelaki hilang keberaniannya/ jadi pengecut
Banyak laki-laki tidak beristri
Banyak wanita tidak setia/ berselingkuh
Banyak bunda menjual anaknya
Banyak wanita menjual diri
Syair:
Sing ngalah rumangsa kabeh salah.
Ana Bupati saka wong sing asor imane.
Patihe kepala judhi.
Wong sing atine suci dibenci.
Wong sing dursila lan pinter jilat derajat.
Terjemahan:
Yang mengalah merasa semua salah
Ada bupati (tafsir = pemerintah) yang rendah imannya (tafsir = moralnya)
Patihnya (tafsir = aparat) ialah kepala judi (tafsir = politik uang)
Orang berhati suci dibenci,
Orang dursila & penjilat semakin dapat kedudukan
Beberapa syair & tafsir di atas tampaknya relatif relevan terhadap fenomena kekinian. Satu per satu simbol dalam syair dapat bersama gampang ditancapkan kepada kondisi carut marut bangsa belakangan ini. Hal ini yang membuat warga (khususnya Jawa) merasa kian konfiden bahwa ramalan Serat Jangka Jayabaya betul-betul dimaksudkan buat keadaan Nusantara kepada jaman sekarang ini.
Lebih asal itu, biasanya tafsiran Jangka Jayabaya selalu ditekankan kepada akan datangnya sosok pemimpin hebat (Ratu Adil) yang diklaim menjadi Herucakra yang akan memulihkan zaman yang morat-marit ini menuju zaman yang penuh kemuliaan & ketentraman sejati. Masyarakat selalu penasaran siapa sebenarnya sosok Herucakra ini? Dalam wilayah ini banyak terjadi perbedaan penafsiran yang kepada dasarnya terbagi dalam dua kutub, yang pertama menafsirkan sosok Herucakra menjadi persona murni, sedangkan pihak kedua menafsirkan Herucakra menjadi citra (personifikasi) suatu kondisi ciri bangsa yang bermartabat.
Jadi apa sebenarnya motif atau tujuan penulisan Serat Jangka Jayabaya ini? Apakah Serat Jangka Jayabaya murni merupakan kitab pewahyuan mistik para pujangga & spiritualis kepada era Jawa Baru? Ataukah tujuan penulisan kitab ini sebenarnya bermuatan politis buat mengokohkan kekuasaan Kesultanan Mataram bersama cara mempribumisasikan nilai-nilai Islami ke dalam kearifan lokal.
Suatu upaya politis para pujangga Jawa Baru buat menyempurnakan asa Islam yang Njowo (membumi) sebagaimana yang dirintis oleh Sunan Kalijaga & Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang nantinya menjadi cikal bakal Islam Abangan (Abahan). Dan yang tidak kalah pentingnya ialah seni manajemen perang sastra buat menangkal pengaruh kultural Kerajaan Bali yang masih satu akar bersama Majapahit. Dengan demikian warga Blambangan (Banyuwangi) akan lebih condong berpaling kepada Mataram daripada ke Bali.
Demikianlah Serat Jangka Jayabaya seakan menyimpan misteri tiada akhir, apakah ia merupakan representasi wahyu spiritual yang menerawang jauh ke masa depan ataukah hanya akal-akalan sastra buat kepentingan politis Mataram. Entahlah mana yang betul atau mungkin bisa jadi pula kedua-duanya ialah betul. Yang terang, warga umum di Jawa sampai saat ini masih memegang teguh keyakinan kepada Serat Jangka Jayabaya.
Kalangan Kejawen biasanya masih meyakini bahwa suatu saat akan tiba masanya Jawa (Nusantara) akan bangkit berjaya pergi, yaitu ketika Sang Ratu Adil alias Satriyo Piningit alias Herucakra alias Satriyo Pinandhito Sinisihan Wahyu tiba memerintah negeri ini. Nuwun.