Kisah Syekh Wali Lanang ini bermula ketika cahaya emas kerajaan Majapahit mulai pudar. Prabu Brawijaya mulai kehllangan kaki-kaki penyangga kekuasaannya. Kerajaan yang telah tua dan bertubi-tubi dilanda amuk perebutan kekuasaan. Saat itu, datanglah seorang alim muda ke Pulau Jawa. Berpakaian putih sederhana, menampakkan bersih dan cendekia pada raut mukanya. Syeh Wali Lanang ia bernama. Perahunya berlabuh di sebuah kota kecil yang di kemudian hari terukir sejarah kemasyurannya, yakni Gresik, menjelang Ujung timur Pulau Jawa. Sunan Ampel menyambut dengan gembira: Mereka bertutur salam dan beramah tamah layaknya saudara ipar. Sunan Ampel lalu memperkenalkanya kepada para sesantri.
Mereka kemudian berdiskusi dan bertukar pikiran tentang syariat agama rasulullah, tentang masa depan Jawa, pudarnya negeri Majapahit dan tantangan mengembangkan syiar agama yang mulia itu. Para santri terpesona oleh wawasan Syeh Wali Lanang yang cerdas dan meyakinkan gaya bicaranya. Tutur katanya sangat indah dan mengagumkan bagai emas yang keluar beruntun dan mulutnya. Sayang, Syeh Wali Lanang tidak berkenan menetap di situ. Ia berpamitan dan melanjutkan perjalanan ke arah matahari terbit. Matahari terbit tenggelam. Akhirnya sampailah sang wall di sebuah desa yang cukup ramai. Desa Purwasata nama-nya, rraisuk dalam kawasan Blambangan negeri. Di desa itu ia mendengar kabar buruk, kalau putri raja Blambangan menderita sakit keras. Patih Semboja, pelaksana harian pengemban titah Sang Raja Kerajaan Blambangan pun mendengar kalau di desa Purwasata datang maulana dari Negeri Arab. Ia berpikir siapa tahu maulana ini adalah seorang wali dwija yang mumpuni ilmu kanuragan dan kesaktiannya. Maka ia melaporkan berita itu kepada Sang Raja.
Setelah mendengar laporan dari Patih, Sang Raja yang telah hampir kehabisan akal untuk mencari kesembuhan putrinya itu matanya bersinar kembali. Sebutir harapan tumbuh seperti sepucuk pohon di padang pasir Maka maulana itu segera dipanggilnya dan disambut dengan kebesaran. Setiap negeri butuh wali untuk menunjukkan anak negeri dari gelap jalan menuju tuntunan kebajikan yang terang benderang. Akankah manusia unggul ini bersedia? Syeh Wali Lanang tidak jual mahal atas segala ilmu kebajikan yang dia miliki. Dengan sopan santun lagi lemah lembut ia menghadap raja di istana. Segera ia diberitahu masalahnya dan dengan Jaya upaya ia mencoba mendiag-nosa sakit putri raja. Ditelusurinya lekuk wajah sang putri yang terbaring lemah dengan sapuan mata. Ia simpulkan kalau sang putri bukan sakit sembarang sakit, tapi sakit karena ujian ilahi. Lalu diusapnya wajah itu sekali dengan berdoa kepada Yang llahi, maka hilanglah rasa sakit dari badan Sang Putri. Pada usapan yang ketiga, sembuh sehatlah Sang Putri seperti sedia kala. Ia bangun dan terperanjat sendiri, badannya yang remuk digerogoti rasa sakit selama ini, terasa segar bugar kembali. Ceriwis cerewet kata-katanya, cerdik cerdas ungkapan-ungkapannya muncul kembali.
baca juga:
9 Keris Pusaka Sakti Yang Melegenda di Indonesia
Bursa Keris Tosan Aji
Artikel Pengetahuan Tentang Ilmu Keris
Singkat kata, Sang Putri telah diketemukan kembali dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Karen rasa syukur akan kesembuhan sang putri tercinta, maka raja berkenan mengambil menantu Syeh Wali Lanang yang muda dan tampan itu. Wali Lanang tidak keberatan. Apalagi telah dilihatnya sang putri juwita cantik berseri. Maka pesta perkawinan pun segera dipersiapkan. Dasar Sang Raja kaya raya. Emas permata manik manikam menghias istananya yang megah. Kasur babut buatan negeri sendiri. Daun-daun pintu, rana-rana, dan tahta dan singgasana terbuat ciari kayu jati alam berukir kencana. Lantai batu pualam bercahaya memantul-mantul. Sang Putri didandain oleh juru rias istana yang terbaik dan termahal bayamnnya. Syeh Wali Lanang pun berdandan dengan kain serba putih dirumbai-rumbai benang emas, membuat suasana tampak suci dan meriah. Siapa yang memandangnya akan tertunduk syandu dan meneteskan air mata kebahagiaan. Akhirnya ijab kabul segera dilantunkan menurut kehendak Syeh Wali. Sang Putri pada hari sebelumnya telah diajak oleh Syeh untuk merasuk agama baru bertuhankan Allah Yang Maha Esa. Sang Putri mengucapkan syahadat dengan lidah tertatih-tatih, namun Syeh Wali menuntunnya dengan sabar dan kasih. Pesta perkawinan agung Rakyat Blambangan telah usai.
Singkat dikata, Syeh Wali Lanang dan Sang Putri Blambangan sangat rukun seperti sepasang kekasih, mimi dan mintuna. Atau seperti Rama dan Sinta yang berpelukan walaupun berada dalam pembuangan di Hutan Dandaka. Atau seperti Kama Ratih sang Dewa-Dewi cinta yang namanya selalu dipuja para Hinduwan-Hinduwati. Syeh Wali Lanang dan istri juwitanya tinggal di istana kesatrian dalam lingkungan kerajaan Blambangan yang aman sentausa. Han berganti hari, bulan berganti bulan. Tujuh bulan jabang bayi dalam kandungan sang putri telah di kandung. Semua bersuka ria, Syeh Wali atau pun sang istri, apalagi Sang Raja karena sebentar lagi akan memiliki seorang cucu. Sejak di Blambangan Sang Wali telah sekali dua kali mengajak untuk menyembah Allah Tuhan yang satu kepada setup abdi dan punggawa yang semakin lama semakin banyak. Bahkan Patih Semboja telah dapat diyakinkannya tentang kebenaran agama baru ini.
Sang Raja Blambangan tahu akan hal ini, dan ia sangat keberatan. Namun ia tetap membiarkannya karena Syeh Wali adalah menantunya sendiri yang telah berjasa mengembalikan kesehatan putri tercintanya. Namun apa hendak dikata ketika Syeh Wali mencoba mengajaknya untuk merasuk agama Islam Maksud hati jika Sang Raja bersedia diajak masuk ke dalam agama baru yang sedang berkembang pesat ini, maka seluruh Blambangan akan masuk Islam dan menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi Sang Raja justru tidak berkenan bahkan ia merasa Syeh Wali sebagai orang yang tidak tahu diri, diberi hati hendak meminta jantung. Diberi sedikit kesempatan hendak meminta lebih. Wajahnya merah menandakan kemarahannya Namun hendak diberi hukuman apa, dia adalah anak menantu yang darahnya mengalir pada calon cucunya.
Syeh Wali Ianang tahu diri. Maka di malam yang gelap, ketika semua orang tertidur lelap, ketika udara malam dan jengkerik sunyi senyap, ia meloloskan diri menuju pantai dan ia mengupah seorang nelayan untuk membawanya ke Lao Sam, lalu dan sana ia naik kapal menuju Bandar Malaka. Di istana betapa sedihnya Sang Putri ketika ia tahu bahwa suaminya telah meloloskan diri Air matanya menetes menganak sungai. Anak yang dikandungnya menjadi benih kesedihan yang tak kunjung henti. Wahai jabang bayi betapa menderitanya kelahiranmu nanti, tanpa ditunggui ayah tempatmu nanti meminta kasih dan sayang. Setelah kepergian Syeh Wali, Negeri Blambangan mendapat cobaan dewata. Kuman-kuman penyakit kembali berjangkit di negeri itu hingga banyak rakyat kecil yang meninggal dunia. Patih Semboja kewalahan menangani para sri sakit hingga terjadi banyak protes di sana-sini.
Dalam suasana yang keruh banyak orang yang berkepentingan dan memancing kerusuhan. Patih didakwa tidak becus dan lamban dalam mengambil tindakan bantuan inedis bahkan ia dianggap telah menyelewengkan dana kerajaan. Lalu Layang Kekancingan yang berisi pemecatan Ki Patih pun ditanda-tangani oleh Sang Raja. Patih Semboja merasa terjegal dan betapa malunya sampai ia kehilangan tempat untuk sekedar menaruh mukanya. Sanak keluarganya ikut menanggungkan rasa malu ini dan akhirnya ia memutuskan untuk lobos menyeberang Hutan Raga Jampi menyeberang ke arah Majapahit. Patih Semboja kini telah kehilangan derajat dan pangkatnya. Maka ia pun kini telah menjadi rakyat biasa dan bernama Ki Semboja, sedangkan istrinya Nyi Semboja. Dalam perjalanan menuju Negeri Majapahit di barat, ia berpikir ulang. Dalam usianya yang sudah menjelang separuh umur dan kekayaan yang melimpah ruah, buat apalah ia bermain di pentas politik.
Di Negeri Majapahit ia belum tentu akan mendapat kekausaan yang sepadan. Majapahit adalah negeri besar walaupun kini diambang pecah perang saudara. Sedangkan betapapun besarnya Kerajaan Blambangan tetap dianggap kecil bagi Majapahit. Maka ia memutuskan untuk berbelok arah ke Gresik. Di sana ada seorang sunan yang kondang sebagai jalma lipad seprapat tamat, sakti mandraguna dan memiliki ribuan santri yang berguru ilmu dunia akherat kepadanya. Kebetulan sebelum Syeh Wali Lanang lolos dari Blambangan, ia pemah berpesan hendaklah kalau ada waktu berkunjung dan berguru kepada Sunan AmpeL Namun kala itu ia masih dalam puncak kharismanya sebagai orang kedua di negeri itu, maka anjuran Syeh Wali belum dihiraukannya benar. Kini keadaan berbalik. Betapapun ia kaya-raya tapi ia adalah pesakitan politik. Maka, Gresildah tempatnya untuk mencari perlindungan baru, sekaligus ber-guru kepada Sang Wali Agung, Sunan Ampel di Gresik.
Ki Semboja disambut oleh Sunan Ampel dengan ramah setibanya di Pendapa Kewalian Gresik. Di sana ia lalu kem-bali menyusun harapan bersama istrinya yang setia. Namun kehendak Tuhan mendahului segala harapan. Tidak lama kemudian Ki Semboja jatuh sakit hingga sampai ajalnya. Seluruh warisan kekayaannya jatuh ke tangan istrinya, Nyi Semboja. Nyi Semboja sangat sedih, tapi buat apa melarutkan diri dalam kesedihan? Ia segera memutar haluan hidupnya. Dengan modal kekayaan suaminya, ia menjadi pedagang. Kebetulan ia sangat tertarik dengan barang-barang produksi para santri Sunan Ampel. Lama-lama, ia terkenal dengan sebutan Nyai Juragan Kaya. Kembali ke kisah di Blambangan. Sang putri telah melahirkan seorang anak lelaki tanpan rupanya. Oleh Sang Raja, bayi yang telah ditinggalkan ayahnya itu hendak dilabuhnya ke lautan karena dianggap menjadi aib yang mengotori kerajaan. Setelah gendaga disiapkan, bayi itu dilabuh ke Selat Bali.
Dengan berat hati Sang Putri menyerahkan anak bayinya kepada ombak lautan, atas kehendak ayahnya. Mudah-mudahan, Tuhan berbelas kasihan dengan menye-lamatkan bayi itu. Tanpa terdengar tangis sedikit pun, bayi itu menurut saja tak bisa menolak apa yang terjadi atasnya. Ia mengapung dan terbawa gelombang ke arah utara. Waktu telah berlalu, hingga sore menjelang. Nyai Juragan Kaya kebetulan baru saja mengirimkan barang-barang Gresik lewat pelabuhan Blambangan. Sekembalinya dari pelabuhan, di atas kapalnya yang megah, anak-anak buahnya berteriak-teriak karena melihat sebuah gendaga terapung-apung di laut. Nyai Juragan Kaya segera menyuruh awak kapal mendekati benda itu. Betapa heran, takjub, girang sekaligus kasihan setelah gendaga dibuka, temyata berisi seorang bayi laki-laki yang tampan. Bayi itu segera diserahkan kepada Nyai Juragan Kaya. Nyai Juragan Kaya sangat berkenan dengan bayi itu dan mengambilnya sebagai putra. Dasar janda tak berputra, belas kasihnya berlebih-lebih. Ia namai anak itu Santri Waktu telah berlalu. Santri Giri dua belas tahun menjelang.
Parasnya elok, celetuk-celetuknya menunjukkan kecer-dasannya. Ia tumbuh dengan limpahan kasih sayang clan harta kekayaan Nyai Juragan. Nyai Juragan berkata, “Analcku, kamu sudah menginjak masa remaja. Sudah saatnya kamu berpisah denganku. Tuntutlah ilmu syariat rasul sebagai bekal masa depanmu. Di Ampelgading ada seorang Sunan. Bela-jarlah lahir batin kepada Sunan itu, maka is akan curahkan segala ilmunya kepada dirimu”. “Ibu, atas doa restu dan perkenan ibu, saya akan be-rangkat. Semoga ibu sealu dilimpahi kesehatan dan kesejah-teraan oleh-Nya”. Singkat cerita, Santri Gin sudah sampai di Ampelgading. Ia telah diterima oleh Sunan dengan senang hati. Saat itu, Santri Giri bersahabat dengan putra Sunan, Santri Bonang namanya. Keduanya sangat rukun. Saling bantu membantu. Hingga fasih lidahnya membaca Alqur’an, hingga ilmu Sang Sunan mengalir ke dalam tulang sungsum dan darahnya. Kemudian keduanya bertekad, hendak melanjutkan pelajaran ke Mekah. Berangkat dari Pelabuhan Gresik, mereka menuju Malaka. Dari Malaka menunggu kapal menuju Mekah, negeri Sang Nabi. Perjalanan nasib menikutkan ombak. Bergelombang-gelombang kadang lembut kadang keras. Di tanah Malaka, keduanya bertemu dengan Syeh Wali Lanang. Syeh Wali Lanang tidak ragu, bahwa Santri Giri adalah putranya sendiri.
Pancaran cahaya mukanya talc bisa dielakkan, dan raut mulca lelaki itu yang kearab-araban talc bisa disembunyikan. Maka kedua lelaki santri itu diangkatnya menjadi murid. Segala ilmu ia tumpah ruahkan. Dengan cepat keduanya mengua-sainya. Setelah setahun berlalu, kedua lelaki itu berpamitan hendak melanjutkan niatnya menuju tanah Arab. Syeh Wall Lanang tidak mengabulkan permohonan itu, bahkan ia menyuruhnya untuk kembali ke Jawa. Santri Gin dibekali sebuah sisir dan sebuah jubah kemudian diganti nama Prabu Satmata. Santri Bonang dialih nama Prabu Cakrakusuma Sunan Bonang. Kepatuhan kepada gum adalah utama. Maka keduanya segera berangkat pulang kembali ke Jawa. Ampelgading yang ditujunya. Kepada Sunan Ampel, semua kisah itu diceritakan. Maka Sunan Ampel berkata, “Ketahuilah anakku, Syeh Wali Lanang itu adalah sahabatku seperguruan di Malaka. Ia adalah ayahandamu sendiri, Prabu Setmata. Anakku, Setmata, saat ini pulanglah dulu ke Giri. Ibumu sedang sakit dan hampir sampai ajalnya. Ia hanya menunggu kedatanganmu karena sangat rindu ke-padamu. Pesanku padamu, Nak. Jika ibumu meninggal, ku-burkanlah ia di samping pusara ayahandamu di Giri. Dat. telah kuijinkan kamu mendirikan kewalian di Giri gelar Prabu Setmata. Di kemudian hari kamu akan menjadi seorang wali yang besar, yang disujudi seluruh orang Pulau ii Jawa. Semua mengasihimu dan kamu akan menjadi pimp’ an para ulama. Tapi jangan salah paham, bukan seperti raja yang menguasai negeri. Lebih mulia dari itupemimpin yang memiliki ilmu dunia akherat”. Sunan Giri bersembah lalu mencium kaki Sunan Ampel. Lalu ia mohon diri untuk melaksanakan semua perintahnya.
Sunan Giri segera melangkahkan kaki. Dengan galau ditinggalkannya Ampelgading yang telah memberinya ilmu lahir batin jiwa raga. Selamat tinggal, Ampelgading. Selamat tinggal, guru. Ia segera naik ke atas kudanya dan tak lama kemudian ia telah berpacu menuju Giri. Ia rindu pula kepada ibunya yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya. Sunan Ampel telah mengatakan kalau ibunya sedang sakit keras. Benarkah? Tahu dari mana Sang Sunan? Allah telah mengirim-kan warta melalui kewaskitaannya. Tiba di Gin, ibunya sedang terbaring dengan ditunggui para sahabat-sahabatnya. Atas keramat Sunan Gin, ibunya tiba-tiba sehat kembali dan memeluk putranya kuat-kuat. “Aduh putraku, buah harapanku. Sama sekali aku tidak menduga akan kedatanganmu. Hampir saja aku tidak lagi melihatmu, ibumu sudah tidak kuat lagi menanggungkan derita ini, Nak. lama sekali kamu mengaji. Aduh, tidak me-ngira kita akan ketemu lagi”.
Ibunda Sunan Giri masih ber-baring. Wajahnya menunjukkan harapan kesembuhan. “Aduh, Ibu. Atas doa restu ibu, ananda mengaji kepada Sunan Ampel dan seorang syeh di Malaka, namanya Syeh Wall Lanang.” “Anakku. Sempumakanlah ibumu ini, bacakanlah kali-mah syahadat!” ucap ibunya gemetar. Sunan Giri paham sasmita. Dituntunnya ibunya mengucapkan kalimah thoyibah itu. “Anakku, sudah terang hatiku. Aku tidak raga lagi. Ting-gallah kamu dengan selamat. Tetaplah tinggal di Giri dan kuserahkan segala isinya kepadamu. Nanti, semua keka-yaanku sedekahkanlah kepada orang-orang yang telah ber-jasa kepada kita dengan merata, termasuk juga fakir miskin dan anak yatim, dan laksanakan amanatku, naik haji ke negeri Mekah”. Demikian wasiat Sang Ibunda. Sunan Giri tak kuasa me-nahan an matanya. Dalam pertemuan yang hanya sesaat; tiba-tiba ibunya sudah berpamitan untuk selamanya. Setelah dimandilcan dan disembahyangkan, seperti pesan Sunan Ampel, jenazah kemudian dikebumikan di samping pusara. ayahandanya. Seiring berlalunya waktu, Sunan Giri mewarisi seluruh harta kekayaan dan kehormatan ibunya. Ia sangat dipuja dan dipuji oleh pengikutnya. Mereka kemudian berguru kepada Sunan. Ilmu agama, syariat nabi rasul ia tebarkan, kedamaian dan persahabatan ia taburkan. Kewalian Gin semakin masyhur. Ketinggian ilmu sang guru telah mengungguli seluruh orang. Masyhur bertambah masyhur ketika Sunan Ampel mengambil Sunan Giri menjadi menantunya, dikawinkan dengan putrinya, Ni Ageng Ratu. Keduanya sangat rukun lestari hingga berputra delapan orang. Setelah melahirkan putranya yang kedelapan itu, Ni Ageng Ratu jatuh sakit dan kemudian wafat. Ia dikebumikan di samping pusara kedua mertuanya. Sanak keluarga larut dalam duka yang mendalam.