Ingsun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun. (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan:
Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg dikenal sebagai Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.
Ajaran tersebut dikenal sebagai sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. Wali VIII yang dimaksud merupakan Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya merupakan Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar dikenal sebagai sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jikalau tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Bika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak mampu disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syariat. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi daerah berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
Imannya imam, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan keberadaan Allah.
Imannya tokide (tauhid), maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan panunggale (daerah manunggalnya) Allah.
Imannya syahadat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan sifatullah (sifatnya Allah).
Imannya marifat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kewaspadaan Allah.
Imannya shalat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan menghadap Allah.
Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah.
Imannya takbir, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kepunyaan keagungan Allah.
Imannya saderah, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan pertemuan Allah.
Imannya kematian, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kesucian Allah.
Imannya junud, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan wadahnya Allah.
Imannya jinabat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kawimbuhaning (bertambahnya nimat dan anugerah) Allah.
Imannya wudlu, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan asma (Nama) Allah.
Imannya kalam (perkataan), maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan ucapan Allah.
Imannya akal, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan juru bicara Allah.
Imannya nur, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan wujudullah, yaitu daerah berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang dikenal sebagai alam kiyal (alam al-khayal), maksudnya merupakan angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang dikenal sebagai alam barzakh, yang dimaksudnya merupakan pamoring gusti kawula, yang dikenal sebagai alam mitsal, yang dimaksudnya merupakan awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma afal, yang dikenal sebagai alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang merupakan dipenuhi sifat kamal jamal. (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia merupakan cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syariat agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah, ajaran langit Allah berhasil dibumikan oleh Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami keberadaan dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bareng-sama merasakan Allah dalam diri pribadi masing-masing.
Adapun yang menjadi maksud:
Iman, merupakan pangandeling (pusaka andalan), roh.
Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, daerah manunggal) roh.
Marifat, penglihatan roh.
Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
Akal, pembicaraannya roh.
Niat, pakaremaning roh.
Shalat, menghadapnya roh.
Syahadat, keadaan roh. (Wedha Mantra, hlm. 54)
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, marifat, qalbu, dan akal merupakan doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat merupakan doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang mampu menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia. Yang dikenal sebagai kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai.
Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat dari Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi merupakan eksistensi roh. Maka jikalau roh merupakan pancaran cahaya-Nya, pribadi merupakan tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi merupakan Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya merupakan sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, merupakan hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mampu berdiri diatas kaki sendiri dan yang berhak merumuskan hanyalah perundingan antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya kentara, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
Inilah maksud syahadat: Ashadu; jatuhnya rasa, ilaha; kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan aneka macam macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, merupakan menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat merupakan adonan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan hasil kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.
Syahadat Sunan Bonang, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.
Dan syahadat Sunan Kalijaga, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang, (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini merupakan aplikasi syahadat dari Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatuhnya rasa (tibaning rasa) maksudnya merupakan meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan asyhadu dengan sarana ungkapan, yakni Allah.
Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, berguna dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai Pangeran (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan.
Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat merupakan persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang berguna.
Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jikalau tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti fauna. Lafalnya mengucapkan merupakan : Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci. (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
Syahadat Sakarat Sejati merupakan Syahadat Sakarat (menjelang dan proses datangnya pintu kematian), sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu merupakan sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci.
Syahadat Sakarat merupakan syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar merupakan kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu merupakan ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah.
Syahadat sekarat yang terpapar di atas, merupakan syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama ketika menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab ketika pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati. (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh (ashadu-keberadaanku, la ilaha bentuk wajahku, illallah Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang dikenal sebagai Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini merupakan ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada mampu diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan. (mantra Wedha, hlm. 53).
Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya merupakan napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu merupakan shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.
Ini merupakan Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan syahadat sakarat wiwitane pati ini.
Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran. (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain merupakan Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya merupakan syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia merupakan bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, kentara bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju berasal muasal hidup.
Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafaat sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad merupakan roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap fauna.
Kematian itu merupakan sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab beliau hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum umum (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetp tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya beliau tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa beliau sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia merupakan proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah. (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku merupakan roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini merupakan sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berafiliasi dengan waktu, daerah, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
Ini merupakan syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara:
Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya merupakan, la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.
Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya merupakan la ilaha illa Anta.
Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya la ilaha illa Huwa.
Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Bika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh merupakan la ilaha illa Ana. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu rencana manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya. Sekian. (Urd2210)
Diolah dari aneka macam sumber terpilih
Bumi Para Nata, Ngoyogyokarto, 06/06/2017