Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sebelum kita membincang lebih jauh ihwal Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat karya Paku Buwono III yg sebagai topik primer dalam tulisan ini, terlebih dahulu saya ajak sampeyan untuk ke tatar Sunda, tepatnya di tempat Pamijahan.
Pada Abad ke 18 silam, tepatnya semasa pemerintahan Paku Buwono III, di tempat Pamijahan, Jawa Barat, ada seorang sufi yg sangat kesohor karena kealiman dan keramatnya, yaitu Syeh Abdul Muhyi (1071-1151 H atau 1650-1730 M). Syeh Abdul Muhyi sebenarnya jua berasal dari Mataram Kartasura, kemudian menetap di Pamijahan Jawa Barat.
Berita ihwal Syeh Abdul Muhyi sampai ke telinga sang sunan, sehingga ia mengutus salah seorang pujangganya, Ki Ngabehi, untuk mengundang Syeh Abdul Muhyi ke Mataram mengajar putra-putra Paku Buwono III ihwal berbagai ilmu hikmat, agama dan jua kesaktian. Sebagai imbalan jasa mengajar Syeh Abdul Muhyi, Sunan Paku Buwono III membebaskan Pamijahan dari berbagai macam pungutan pajak.
Salah satu ajaran Syeh Abdul Muhyi yg terkenal merupakan "Martabat Tujuh" melalui ajaran tarekat Syatariyah-nya, yg kemudian berkembang ke Cirebon, Tegal, dan jua Mataram. Ajaran Martabat Tujuh yg dibawa oleh Syeh Abdul Muhyi memberi pengaruh besar dalam Kepustakaan Islam Kejawen, tetapi selama ini beberapa pemikir hanya menampilkan karya-karya pujangga Jawa pada Abad ke 19 saja. Seperti Serat Centini yg digubah pada awal Abad ke 19 dan jua Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita yg disusun pada pertengahan Abad ke 19.
Padahal jika ditarik kebelakang, ternyata ada "serat yg terlewat" ajaran Martabat Tujuh pada Abad ke 18 di Jawa, yaitu Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat karya Paku Buwana III (1749-1788). Paku Buwana III yg hidup pada abad ke 18, disamping sebagi seorang raja jua dapat dikatakan sebagai pujangga yg banyak menghasilkan karya sastra, salah satunya merupakan Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat.
Suluk ini jika dicermati mengandung ajaran Martabat Tujuh yg tidak jauh beda bersama ajaran Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Centini, dan jua ajaran Syeh Abdul Muhyi. Dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat jua membagikan ilustrasi ihwal proses penghayatan gaib manusia terhadap Tuhan melalui kerangka Martabat Tujuh. Hal ini dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung pemikiran sufistik di tanah Jawa, khususnya ajaran Martabat Tujuh yg dikembangkan Syeh Abdul Muhyi melalui tarekat Syatariyahnya pada Abad ke 17 bersama pujangga-pujangga Jawa di Abad 19.
Sunan Paku Buwana III lahir pada tanggal 4 Februari 1732, memegang tampuk pemerintahan Kasunan Surakarta pada tahun 1749-1788 M. Paku Buwono III merupakan penerus tahta Mataram Islam, sehabis Sultan Agung wafat digantikan oleh Amangkurat I (1645-1676), Amangkurat II (1677-1703), Paku Buwana I (1703-1719), Amangkurat IV (1719-1727), dan Paku Buwana II (1727-1749). Paku Buwono III merupakan pengganti Paku Buwana II yg memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1743, karena sedang berkecamuk konflik antar keluarga istana.
Sunan Paku Buwono II lahir pada tahun 1711, dan memegang pemerintahan Surakarta pada tahun 1726-1749. Pada waktu itu sedang terjadi perang perebutan kekuasaan antar keluarga istana, yg diperburuk bersama adanya pemberontakan yg dilakukan oleh orang-orang Tionghoa, yg kemudian dikenal bersama kejadian "Geger Pacinan" tahun 1740.
Pada tahun 1740-1742 Sunan Paku Buwono II mengungsi ke Ponorogo bersama mengubah namanya sebagai Panembahan Brawijaya. Penggantian nama tersebut bersama maksud untuk menyelamatkan diri, menutup identitas dirinya, agar dianggap sebagai keturunan Sunan Lawu, Raden Guntur atau Raden Gugur. Kemelut kerajaan belum reda, karena kaum pemberontak Tionghoa berkoalisi bersama Raden Mas Garendi yg bergelar Sunan Kuning atau Susuhunan Amangkurat Amral. Koalisi pemberontakan tersebut akhirnya menghancurkan istana-Kraton Kartasura, sehingga memaksa Paku Buwana II untuk memindahkan ibukotanya menuju ke Surakarta (17 Februari 1749). Kemudian pada tanggal 11 Desember 1749, Paku Buwana II menyerahkan kerajaan Mataram kepada VOC bersama perjanjian Het Allerbelangrijkste, yg artinya perjanjian yg paling penting.
Pada masa Paku Buwono II sampai masa Paku Buwono III terdapat barisan oposisi yg kuat, yaitu Pangeran Mangkubumi, yg melakukan perlawanan dari tahun 1746-1755. Ponflik keluarga istana pada masa Paku Buwono II ini belum berakhir sampai masa pemerintahan digantikan oleh Paku Buwana III. Kemudian sehabis Paku Buwono III naik tahta menggantikan Pakubuwono II, maka upaya-upaya untuk mendamaikan konflik tersebut pun dilakukan.
Ketegangan politik dan konflik keluarga kraton mereda berkat adanya Perjanjian Giyanti dan Salatiga (1757). Sebagai akibat dari perjanjian tersebut, maka pada masa pemerintahan Paku Buwono III ini terjadi proses sejarah Palihan Negari (pembagian negara), pembagian kraton sebagai 2 wilayah, yaitu Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755.
Ketegangan politik dan konflik keluarga kraton yg mereda berkat adanya Perjanjian Giyanti dan Salatiga, membangun suasana pemerintahan Paku Buwono III semakin aman. Dalam suasana inilah yg kemudian membangun laju perkembangan sastra Jawa pada masa pemerintahan Paku Buwono III berkembang semakin pesat. Perkembangan tersebut tidak lepas dari kiprah dan dukungan istana, sebagai pusat budaya Jawa.
Paku Buwono III disamping sebagai seorang raja jua ahli dalam olah sastra, hal ini terbukti dari karya-karyanya yg masih dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Kepandaian dan kemahiran Paku Buwono III dalam hal sastra dan budaya diwariskan jua kepada putranya, yaitu Sunan Bagus yg di kemudian hari memegang pemerintahan bersama gelar Paku Buwono IV (1788-1820), yg kemudian sebagai pujangga ulung jua. Paku Buwono III selama memegang tampuk pemerintahan sangat aktif menyebarkan sastra dan budaya, bahkan termasuk penulis yg produktif, sehingga dapat dikatakan sebagai Pujangga ulung jua.
Diantara karya-karya Paku Buwono III merupakan Serat Wiwaha Jarwa (1704 atau 1778), Suluk Bayan Maot, Suluk Sasmitaning Sanjata Cipta, dan jua Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini. Selain itu Paku Buwono III jua mengambil peranan dalam dunia kesenian, aktif dalam pelestarian tari-tari ritual kenegaraan, salah satunya merupakan tari Bedhaya Ketawang, tari ritual kenegaraan yg diperagakan oleh sembilan penari putri, sampai sekarang masih tetap eksis. Produktifitas PB III tidak diragukan lagi, beliau yg menjabat sebagai seorang raja jua sangat mumpuni dalam dunia sastra dan budaya. Suasana pemerintahan yg aman membangun laju perkembangan sastra Jawa pada masa Paku Buwana III semakin pesat bersama membagikan perhatian yg intensif terhadap karya sastra dan budaya.
Beberapa Ajaran dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat
Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat dapat dijadikan sebagai cermin pemikiran seorang cendikiawan muslim Jawa Abad 18 yg cemerlang, karena ajaran Martabat Tujuh yg bersumber dari ajaran Ibnu Arabi pada Abad ke 13 sudah dipahami dan dikembangkannya dalam konteks kejawaan. Meskipun jika diruntut dari sejarah, bahwa masuknya Islam ke tanah Jawa berasal dari Gujarat, maka dapat dipastikan jika ajaran Martabat Tujuh ini merupakan pengaruh sufi besar asal Gujarat, Muhammad Ibnu Fadhillah al-Burhanpuri (wafat pada tahun1620). Ajaran Martabat Tujuh di Indonesia, dibawa oleh Abdul Rauf Sinkel (1617-1690) dan Syamsudin Pasai (wafat pada tahun 1630), yg kemudian dikembangkan oleh Syeh Abdul Muhyi ke tempat Cirebon, Tegal, dan jua Surakarta yg kemudian mendominasi dunia kepustakaan Islam Kejawen.
Diantara makna yg terkandung di dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini, tercermin ajaran Martabat Tujuh yg sudah mengalami Jawanisasi, istilah-istilah yg semula berbahasa Arab mengalami perubahan pelafalan di dalam huruf dan dialek Jawa. Oleh sebab itu, ada jua yg kemudian mengalami perubahan arti atau maknanya. Beberapa makna yg dapat digali dari suluk ini antara lain yaitu :
Ajaran Martabat Tujuh. Ajaran Martabat Tujuh yg bersumber dari ajaran Al Farabi, semula merupakan penjelasan ihwal proses kerja' Gusti Allah dalam menciptakan alam dan manusia. Artinya, Gusti Allah dalam proses mewujudkan alam nyata ini melalui 7 martabat, yg dalam ajaran Martabat Tujuh disebut bersama "alam".
Setelah mengalami Jawanisasi kemudian sebagai tangga spiritual dalam mencapai penghayatan ruhaniah untuk manunggal bersama bersama-Nya (manunggaling kawula-Gusti). Martabat bukan lagi diartikan sebagai alam tetapi sebagai tahapan dalam menghayati perjalanan menuju Tuhan. Martabat diartikan sebagai pencapaian hakekat, kasunyatan atau kenyataan (Martabat iya tegese akarya ing kenyatahan). Adapun jalan untuk mencapai hakekat atau kenyataan tersebut melalui 7 jalan atau martabat (tingkatan).
Adapun Ketujuh Martabat atau tingkatan tersebut merupakan merupakan sebagai berikut :
Martabat Akadiyat, merupakan martabat pertama, yaitu suatu keadaan yg menunujukkan adanya Dzat Allah yg Mutlak. Pada martabat ini yg ada hanya Dzat Allah, belum ada sifat atau af'al-Nya. Martabat ini tidak dapat dijangkau oleh makhluk, hanya Dia yg tahu Dzat-Nya, sebagaimana dijelaskan pada bait ke 2 dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat sebagai berikut:
"Tegese akadiyat, nyatakaken ing datipun, tuhune ing dhirinira"
Artinya :
Yang dimaksud bersama Ahadiyat, menyatakan pada dzat-Nya, yg sesungguhnya hanya ada pada diri-Nya".
Martabat Wahdat, merupakan martabat kedua, yg dari dzat tersebut melahirkan sifat-sifat Gusti Allah. Pada martabat ini Gusti Allah mengagumi dan mencintai dzat-Nya, memiliki ilmu ihwal dzat dan sifat-Nya yg sudah nyata. Hal ini disebutkan dalam bait ke 3 :
"Tegese Wahdat puniki, nyatakaken sipatira, pan wis nyata ing dheweke".
Artinya :
"Yang dimaksud bersama Wahdat itu memperlihatkan sifat-Nya, yg sudah nyata di dalam diri-Nya".
Martabat Wakidiyat, pada martabat ini Allah mulai menampakkan ke-Mahakuasaan-Nya, bersama menciptakan wujud lain selain-Nya. Sekalipun sudah ada wujud lain, tetapi wujud itu tetap berpusat kepada dzat-Nya, ibarat orang pergi akan kembali ke rumahnya. Sebagaimana diungkapkan dalam bait ke 4 :
"Tegese kang Wakidiyat, punika kaya paran, nyatakaken wismanipun, wus nyata ing aranira".
Artinya :
"Yang dimaksud bersama Wahidiyat yaitu ibarat bepergian dan rumahnya, yg sudah nyata disebutkan".
Martabat Wahdaniyat, merupakan alam awal yg maujud, tempat bersemayamnya dzat, sifat, asma dan af'al Allah. Dimana hakekatnya dzat itu berupa roh Idlafi yg sebenarnya merupakan satu kesatuan dari tiga hal, yaitu sifat, asma, dan af'al. Roh Idlafi sudah jelas dari mana asal mulanya, dan sudah sebagai wujud awal. Martabat Wahdaniyat ini jika dalam ajaran Martabat Tujuh disebut bersama "Alam Arwah". Penjelasan ini dapat dicermati pada Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat pada bait ke 4 dan ke 5, yaitu :
"Wahdaniyat ingkang wahit, puniku den kawruhana, gone nyata dat sipate, Asma kalawan apengal, pundi nyataning ngedat, Roh ilapi jatinipun, nyatane among titiga".[4]
"Nyatane kang roh ilapi, wus nyata ing ngasalira, nyatakaken ing rupane".[5]
Artinya :
Wahdaniyat itu yg pertama, ketahuilah olehmu, tempat yg nyata sifat, asma dan jua af'al, dimana hakekatnya dzat, hakekatnya roh Idlafi, sesungguhnya hanya tiga.[4]
Hakekatnya roh Idlafi, sudah jelas darimana asalnya, yg memperlihatkan pada wujudnya.[5]
Alam Misal, merupakan alam perumpamaan yg sifatnya halus, yg akan sebagai maujud atau jelas di dalam berikutnya, Alam Jesam (Ajsam).
Alam Jesam, yaitu alam kedua yg maujud. Pada alam kedua ini memperlihatkan adanya af'al Allah, dimana jasad halus (ruhiyah) sudah maujud dan siap menerima keberadaan panca indra lahir dan batin. Sebagaimana disebutkan dalam bait ke 5,
"Ping kalih alam ajesam, tegese alam jesam nyatakaken apngalipun "
Artinya :
"Yang kedua merupakan alam ajsam, yg dimaksud alam ajsam itu memperlihatkan af'al-Nya".
Insan Kamil, merupakan alam ketiga, alam terakhir, wadag manifestasi Allah di dunia nyata ini. Insan Kamil ini merupakan tempat berkumpulnya antara martabat batin dan martabat lahir. Adapun yg dimaksud bersama martabat batin yaitu : Martabat Akadiyat, Martabat Wahdat, dan Martabat Wakidiyat, sedangkan yg sebagai martabat lahir merupakan : Martabat Wahdaniyat, Alam Jesam, dan Insan Kamil. Adapun Alam Misal tidak tidak termasuk ke dalam martabat lahir, kemungkinan Alam Misal dianggap sebagai alam semu, batas antara alam batin dan alam lahir. Allah bertajalli dalam diri manusia sebagai manusia paripurna, wujud nyata (riil) Insan kamil.
Konsep Martabat Tujuh dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini jika kita bandingkan bersama konsep Martabat Tujuh dalam Serat Centini terdapat perbedaan, karena dalam Serat Centini yg termasuk alam batin yaitu : Ahadiyat, Wahdat, dan Wahidiyat; sedangkan yg termasuk alam lahir yaitu : Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Insan Kamil.
Sedangkan ajaran Martabat Tujuh yg ada dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat memiliki kesamaan bersama ajaran Martabat Tujuh yg diajarkan oleh Syeh Abdul Muhyi Pamijahan. Ajaran Martabat Tujuh Syeh Abdul Muhyi, sebagaimana diungkapkan dalam "Kitab Dadalan Syatariyyah", sebagai berikut :
Alam al Ahadiyah, disebut jua bersama zat la ta'ayyun atau zat yg qadim, azali, dan abadi, yg masih berdiri sendiri tanpa adanya yg lain.
Alam al Wahdah. Pada martabat ini Allah sudah memiliki sifat atau ta'ayyun awal, mulai ada yg nyata pada martabat sifat qadim, azali, abadi Allah SWT.
Alam al Wahidiyah. Pada martabat ini Allah mulai mengadakan wujud lain tanpa melalui perantara apapun.
Alam al Arwah. Pada martabat ini sudah ada ruh tetapi belum menerima nasib, dan masih berupa cahaya suci sebagai awal kehidupan, yg disebut "nyawa Rahmani".
Alam al Misal. Pada alam ini, ruh atau nyawa sudah diberi jisim, sudah menerima nasib.
Alam al Ajsam. Pada alam ini ruhiyah sudah sebagai wujud yg siap menerima panca indra lahir dan batin.
Alam al Insan al Kamil. Pada martabat ini, Allah meniupkan nyawa yg disebut bersama ruh Idlafi ke dalam jasmani Adam.
Allah dan Muhammad dalam Konsepsi Jawa.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, banyak kita temukan istilah untuk menyebut Tuhan, diantaranya yg disebutkan dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini menggunakan istilah Asmajati. Asmajati pada hakekatnya merupakan Ruhullah (dzat Tuhan), yg dalam diri manusia berujud roh atau suksma. Antara ruh atau suksma dan Asmajati sebenarnya tidak terpisahkan, walaupun hanya sehelai rambut, dohir dan batinnya sudah nyata dan jelas. Pernyataan tersebut dapat kita tangkapa dari bait ke 8 :
"Nyatane asma kang yekti, pangucap ing roh punika, namaning ngeroh jatine, jaba jero pan wus nyata, terus kelawan padhang, datan ana liyanipun, teka wulune salembar".
Artinya :
Yang dimaksud bersama Asma sejati, yaitu ucapannya roh tersebut, namanya roh sejati, luar dalam sudah nyata, kemudian sebagai terang, dan tidak ada yg lainnya, walaupun hanya sehelai bulu.
Hakekat Tuhan (Asmajati) itu satu atau Esa, dari makna kalimat Laa ilaha Illallah. Kalimat tauhid tersebut menunjukan arti bahwa Ilah itu sebenarnya merupakan ruhullah, yg merupakan sifat Ilahiah itu sendiri. Sedangkan Muhammad Rasulullah itu af'al-Nya, yaitu muhammad dari segi ruh bukan badan jasmaninya. Ungkapan ini dapat kita simak dari bait ke 6, yaitu :
"Ingkang ngaran Asma Jati, nenggih asmane Rohullah, Edat Ilaha sipate, Ilallah ing-ngaran asma, Muhkammad rasulullah, gih punika apngalipun, nora jasad lan muhkammad".
Artinya :
"Yang dinamakan asmajati, merupakan asmanya rohullah, dzat Ilahi sifatnya, illallah yg disebut Asma, Muhammad Rasulullah, merupakan af'al-Nya, bukan jasad (wadag) Muhammad".
Dengan demikian, makna Muhammad disini bukan berarti Nabi Muhammad Saw dalam fisik, tetapi Muhammad dalam arti hakekat (ruhani), yaitu sifat, dzat, dan af'alnya yg sudah manunggal bersama Allah Swt.
Hakekat ke-Muhamad-an dapat dicapai oleh siapa saja yg mampu menembus hakekat ruhaniah manusia, yaitu roh atau sukma yg ada di dalam diri manusia itu sendiri. Nabi Muhammad SAW itu hanya sosok manusia biasa yg membawa ajaran Islam, dia hanya sanepan (I'tibar) bagi umat manusia dalam mengamalkan ajaran Islam.
Muhammad yg diyakini bukan hanya sebatas sosoknya secara lahiriah sebagai nabi dan rasul, tetapi lebih menekankan pada simbol-simbol melekat yg dibawa oleh Muhammad itu sendiri. Nama Muhammad tersebut bukan sekedar nama biasa atau nama yg secara kebetulan dan tidak mengandung arti apa-apa, tapi memiliki makna hakikat dari diri nabi sebagai seorang utusan Allah yg sudah membawa Islam untuk seluruh umat manusia. Muhamad sebagai seorang nabi dan rasul Allah, tentu sudah mengenal hakekat Tuhan bersama segala rahasia-Nya.
Berangkat dari keyakinan misalnya inilah yg dicoba untuk dijelaskan oleh Paku Buwono III melalui Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini. Muhammad itu merupakan simbol-simbol rahasia Ilahi yg mengejawantah ke dunia. Oleh sebab itu untuk memahami hakekat Ilahi kita harus memahami hakekat Muhammad itu sendiri, (Muhkammad rasulullah, gih punika apngalipun, nora jasad lan Muhkammad).
Konsep Makrifat
Dalam suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini menjelaskan bahwa makrifat merupakan segala sesuatu yg dicermati dan diterima oleh roh. Ketika Allah meniupkan ruh-Nya kedalam jasad manusia yg kemudian membangun manusia itu hidup. Manusia merupakan bayangan atau kiyasan tunggal yg menerima kenyataan Tuhan. Allah dzat Yang Maha Mulia, Maha Luhur itu tidak pernah berubah, bersifat abadi, berbeda bersama manusia yg hidup di alam fana ini sehingga bersifat fana jua. Roh akan kembali lagi kepada yg memberinya, menyatu ke asalnya, sebagaimana janji hidupnya waktu di alam arwah dahulu (Inna lillahi wa inna Ilaihi raji'uun). Sebagaimana terlihat dari bait ke 10 dan 11 yg menjelaskan :
"Tegese makripat iki, paningalira puniku, aran makripat tegese, punapa kang tiningalan, kalawan tinarima, jenenge roh kang rumuhun, narima ing jisimira". [10]
"Nenggih tatkalane urip, kinarya paesan tunggal, narima ing wayangane, kaya roh ing nguripira, nanging Allah kang mulya, anenggih kang Maha Luhur, langgeng datan kena owah". [11]
Artinya :
"Arti makrifat ini, penglihatanmu itu, arti makrifat yaitu, apa yg dicermati, dan yg diterima, namanya roh yg terdahulu, menerima terhadap jasadmu".[10]
"Yaitu waktu hidup, dijadikan hiasan tunggal, menerima dalam bayangannya, misalnya rohnya hidupmu, tetapi Allah Yang Maha Mulia, dan Yang Maha Luhur, abadi tidak dapat berubah.[11]
Makrifat itu penglihatan yg terpusat hanya kepada Allah (laa maujuda illallah), oleh sebab itu manusia harus menempuh jalan khusus yg dapat menghantarkannya kepada pencapaian makrifat tersebut.Penglihatan roh atau suksma pada hakekatnya merupakan penglihatan Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam bait ke 13, yg menjelaskan :
"Paningale roh kang ening, datan mulat maring liyan, nenggih amung pangerane, dadi awas maring pangeran, sapa wonge kang ngawas, Ingkang ngawas mring rohipun, iku awas marang suksma".
Artinya :
"Penglihatan roh yg konsentrasi, tidak pernah berpaling pada yg lain, hanya kepada Tuhannya, jadi mengenal Tuhan, siapa yg mengenal, mengenal terhadap rohnya, berarti dia mengenal Suksma".
Adapun jalan yg dapat ditempuh untuk mencapai makrifat yaitu bersama menjalankan solat yg sebenarnya, bukan sekedar fisiknya saja yg menjalankan solat, tetapi ruhnya benar-benar menghadap Allah seakan-akan berkomunikasi tertentu bersama-Nya. Jalan lainnya merupakan membaca Al Qur'an, bersama penghayatan seakan-akan ruhnya berbicara bersama Allah, baik itu pada waktu siang atau malam hari.
Ungkapan ini dapat kita temukan pada bait ke 14, yaitu :
"Pangucap ing roh kang yekti, iku wong ngamaca kur'an, ing siyang versus dalune, tan lali ing ngadhepira, kang madhep marang suksma, ngendi lakune roh iku, nenggih nglampahaken salat".
Artinya :
"Ucapan roh yg sesungguhnya, yaitu orang yg membaca al Qur'an, baik pada waktu siang jua malam hari, tidak lupa menghadap kepada-Nya, yg menghadap kepada Sukma, dimana amalan roh itu, yaitu menjalankan salat".
Dengan demikian, konsep makrifat dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini masih tetap berlandaskan pada syariat Islam yg berlandaskan pada al Qur'an. Orang dikatakan makrifat jika apa yg diucapkannya itu dari pada al Qur'an. Al Qur'an sebagai makanan ruh, dibaca setiap hari, baik siang jua malam hari. Tidak cukup hanya itu, tetapi salat jua sebagai persyaratan wajib untuk mencapai derajat makrifat. Orang yg sudah mencapai derajat makrifat, tetap mengerjakan salat.
Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ditulis oleh Paku Buwana III (1749-1788), merupakan cermin pemikiran seorang cendekiawan Jawa pada Abad ke 18, ihwal ajaran tasawuf. Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat sebagai "Serat yg terlewat" ajaran martabat tujuh pada Abad ke 18 di Jawa. Paku Buwono III yg hidup pada Abad ke 18, disamping sebagi seorang raja jua dapat dikatakan sebagai pujangga yg banyak menghasilkan karya sastra, salah satunya merupakan Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat ini. Suluk tersebut jika dicermati mengandung ajaran Martabat Tujuh yg tidak jauh beda bersama ajaran Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Centini, dan jua ajaran Syeh Abdul Muhyi.
Dalam Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat jua membagikan ilustrasi ihwal proses penghayatan gaib manusia terhadap Tuhan melalui kerangka Martabat Tujuh. Hal ini dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung pemikiran sufistik di tanah Jawa, khususnya ajaran Martabat Tujuh yg dikembangkan Syeh Abdul Muhyi melalui tarekat Syatariyahnya pada abad ke-17 bersama pujangga-pujangga Jawa di abad 19. Adapun martabat tujuh yg sebagai tangga untuk mencapai makrifat, bahkan manunggal bersama Allah, yaitu : Martabat Wahdat, Martabat Wakidiyat, Martabat Wahdaniyat, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Insan Kamil. Sekian. Nuwun.
Dihimpun dari berbagai sumber terpilih