Niyat ingsun ngobong dupo, kukuse dumugi angkoso, kang anggondo arum pinongko tali rasaningsun manembah dumateng Gusti Kang Akaryo Jagad.
Aku berniat membakar dupa, asapnya yang membubung ke angkasa, berasa harum sebagai tali yang mengikat rasaku untuk menyembah kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Narasi pembuka tulisan ini biasanya diucapkan oleh para pejalan kebatinan, khususnya praktisi Kejawen atau sirkulasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kepada awal menyalakan dupa atau kemenyan sebelum praktik ritual dimulai.
Biasanya, sesudah merapal kalimat kepada atas, dupa yang menyala kemudian digerakkan menggunakan cepat agar barah yang menyala dipucuknya padam, tinggal nyala diujung dupa & membiarkannya terus menyala & mengeluarkan bau harum. Kemudian dupa tersebut, biasanya berjumlah ganji, bisa 3, 5 atau 9 sekaligus, ditancapkan ke media (bisa gelas atau daerah khusus) yang berisi beras atau pasir yang bersih. Pun halnya, jika medianya adalah kemenyan, sesudah arang yang membara ditunggku yang sudah dipersiapkan sebelumnya segera ditaburi oleh kemenyan.
Pertanyaanya, mengapa harus membakar dupa atau kemenyan? Pertanyaan yang bagus kisanak, sayangnya jawaban saya tentu tidak bisa memuaskan sampeyan seluruh. Jadi bengini kisanak, sebenarnya kebiasaan membakar dupa atau kemenyan bukan hanya milik pejalan kebatinan saja, dalam hal ini Kejawen. Di aneka macam daerah, taruhlah kepada tanah lahir saya Tuban, setiap ada kematian biasanya ada tahlil mulai dari 1 hari hingga 7 hari berturut-turut, yang salah satunya membakar kemenyan kepada samping pintu. Hal ini berlanjut menggunakan peringatan 40 hari, 100 hari, mendak (setahun), maupun lebarannya (1000 hari). Kesemuanya, ada nyala kemenyan mengiringi tahlilan.
Saya kurang tahu siapa yang mengawali kebiasaan tersebut, agama-agama lain pun melakukan hal serupa. Dalam upacara-upacara agama Hindu misalnya, juga dilakukan membakar dupa, khususnya kepada waktu permohonan tirta yang dilakukan Sang Pandita sebelum persembahyangan Tri Sandya & Muspa, Mecaru & sebelum pelarungan seganten sesaji Melasti. Dalam kebiasaan masyarakat Tionghoa juga dikenal adanya dupa. Bagi mereka dupa adalah elemen yang penting dalam ibadah umat Khong Hu Cu. Penggunaan dupa, seperti halnya tasbih bagi umat muslim, memperlihatkan kemantapan kepada umat ketika mereka berdoa selain menyebarkan harum yang semerbak.
Dalam hal ini saya tidak hendak membincang tentang aturan bakar dupa atau kemenyan dari sisi agama yang saya imani, Islam. Ilmu saya tidak mencukupi untuk membincang perihal sensitif ini. Tapi yang terperinci, selagi peruntukannya adalah sebagai pengharum ruangan, saya rasa ini sama halnya menggunakan parfum yang kita pakai saat akan menghadiri hajatan atau pertemua langsung. Taruhlah, kita memakai parfum saat akan menghadiri pengajian atau semacamnya.
Jadi begini kisanak, dari literasi yang saya baca, kemenyan adalah satu dari komoditas resin (getah), menggunakan penggunaan luas. Salah satunya yang paling penting adalah sebagai fixative (pengikat) dalam industri parfum. Kemenyan tidak ada hubungannya menggunakan hal gaib, klenik, takhyul & lain-lain, meski residu dari produk ini dipakai untuk bahan baku dupa & sebangsanya.
Di pasar internasional, kemenyan dikenal menggunakan nama Benzoin resin. Komoditas ini berupa getah kemarau dari beberapa pohon genus Styrax. Di antaranya, yang paling banyak diperdagangkan adalah getah pohon Styrax Tonkinensis (Siam Benzoin), Styrax Benzoin & Styrax Sumatrana (Sumatera Benzoin). Sosok kemenyan, hampir sama menggunakan resin lainnya seperti Gondorukem (getah Pinus merkusii) & Damar (getah Shorea Javanica).
Bedanya, gondorukem berwarna kecokelatan & lengket, damar berwarna kuning keputihan & reman. Kemenyan berupa gumpalan padat & keras, putih menggunakan sebagian bening transparan. Pohon kemenyan, baik Styrax Benzoine maupun Styrax Sumatrana, mampu hayati lebih dari 100 tahun. Hingga sekali tanam, paling sedikit pohon kemenyan akan terus berproduksi selama sekitar 90 tahun.
Pendek istilah, menggunakan membakar dupa & juga biasanya ditambah membakar kemenyan kepada tungku perapian dalam konteks lebih luas, sebenarnya adalah sebagai sebuah tindakan untuk membentuk suasana yang hening & sakral. Tentu saja juga untuk membentuk ruangan atau daerah yang harum. Dengan demikian proses berjalannya acara ritual mampu lebih terkonsentrasi, tidak terganggu oleh kebisingan & bau yang tidak sedap. Demikianlah kurang lebihnya maksud daripada penggunaan dupa dalam sebuah ritual yang terdapat dalam praktik ritual Kejawen. Semoga bermanfaat. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto, Bakda Sahur Kaping 10, 06/06/2017