Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Parasara dikhianati kekasihnya. Dewi Sukasih meninggalkannya begitu saja & menikah memakai pria lain. Padahal Sukasih pernah berjanji di hadapan Parasara.
Aku akan mencintaimu hingga kapan pun meski ayah ibuku tak merestui agenda pernikahan kita, begitu tutur Dewi Sukasih.
Parasara sakit hati. Harapan buat mempersunting Dewi Sukasih hancur begitu saja mirip tumpukan kertas dilalap barah. Dadanya terbakar amarah. Sumpah serapah tak bisa dicegah. Ia baru menyadari bahwa dirinya hanya terjerat rayuan gombal Sukasih yang suka mengumbar janji-janji manis.
Maling hanya mencuri harta-benda. Tapi seseorang penipu telah mencuri akal, hati & perasaanku. Ini sebuah kejahatan yang sulit dimaafkan! tulis Parasara dalam buku hariannya. Lembaran-lembaran itu penuh coretan. Parasara tak ingin orang lain memahami penderitaannya. Segala beban perasaannya beliau tumpahkan dalam buku harian. Ia tak ingin dianggap lelaki cengeng & pantang mengeluh pada siapapun meskipun hatinya serasa diiris-iris pisau karatan. Pedih.
Sudahlah Parasara. Lupakan mantan pacarmu itu. Biarkan Sukasih mencari kebahagiaannya sendiri bersama pria pilihannya. Anggap saja beliau mirip angin. Datang & pergi & tak perlu disesali. Begitulah nasehat sang mak, Dewi Nilawati. Dialah wanita yang paling bisa memahami perasaan putranya.
Kau jua berhak mencari & menemukan kebahagiaan. Jangan pernah berpikir ke belakang. Biarlah Sukasih menjadi masa kemudian yang kelabu. Buang namanya dari ingatanmu. Lupakan wajah & tingkah lakunya. Delkon rekanan BBM-nya. Ibu memahami, kau punya kenangan latif yang tak bisa kau lupakan. Ibu masih ingat, dulu kau pernah memuji Sukasih setinggi langit menjadi wanita yang setia & berhati bersih. Tapi apalah artinya seluruh itu kalau sekarang Dewi Nilawati memotong ucapannya lantaran tak ingin putranya hanyut dalam kesedihan.
Sebagai sosok mak yang penuh pengertian, wanita paruh baya ini hanya menyarankan agar Parasara melakukan olah batin agar jiwanya pulang tenang. Agar hatinya pulang bersih & bebas dari rasa stress. Parasara tak bisa berkata apa-apa. Seandainya beliau seseorang wanita, mungkin pipinya telah berlinang air mata. Tapi beliau bertekad buat nir menangis, betapapun berat penyesalannya. Yang beliau sesali bukanlah kepergian Sukasih, akan akan tetapi waktu yang tersia-sia. Delapan tahun menunggu Sukasih, hasilnya hanyalah sebuah penolakan mentah dari keluarganya. Ayah & Ibu Sukasih menolak Parasara jadi menantunya.
Resi Manumayasa pernah berpesan agar anak cucunya membiasakan diri melakukan samadi di loka sunyi buat menyucikan hati. Pergilah anakku ke suatu loka yang menurutmu bisa menghadirkan kedamaian. Tanpa disadari, Dewi Nilawati menitikkan air matanya.
Bertanyalah pada diri sendiri apa saja penyebab kegagalanmu selama ini. Mintalah petunjuk pada Tuhan agar diberi keselamatan & kemudahan dalam menjalani hayati ini. Percayalah, Tuhan nir akan pernah menyia-nyiakan siapapun yang mau berdoa & menyesali kekeliruannya. Tuhan akan memberi ganti segala sesuatu yang hilang dari sisimu. Ibu hanya bisa berdoa semoga kau mendapatkan jodoh yang lebih baik. Lagi-lagi, Parasara hanya bisa diam, tak kuasa merangkai tutur-tutur. Namun hatinya berjanji akan melupakan Sukasih yang telah memberinya kenangan perih.
— 000 —
Berbulan-bulan Parasara melakukan tapa brata. Menyingkir sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan. Ia bersamadi di sebuah goa di sebuah bukit sunyi berhawa dingin. Dalam pertapaannya Parasara merenung & mawas diri.
Banyak pengalaman & inspirasi yang didapat dari sini. Parasara terhibur hatinya oleh tingkah sepasang burung beo yang bersarang di dinding gua, tak jauh dari loka duduknya. Burung itu bertelur & menetas. Parasara jatuh iba lantaran si induk meninggalkan begitu saja telur-telur yang telah menetas. Timbullah niat dalam dirinya buat mengejar si induk agar mau pulang ke sarang & menjenguk anak-anaknya.
Aku harus mencarinya hingga ketemu, bisik Parasara.
Hari itu jua Parasara meninggalkan goa & berlari cepat. Aneh, setelah bertapa beberapa bulan tubuhnya terasa ringan bagai kapas diterbangkan angin. Parasara bisa lari kencang tanpa merasa lelah. Ia memperoleh kekuatan linuwih yang bisa dimanfaatkan buat banyak sekali keperluan. Pikiran Parasara jua kian tajam & bisa menangkap gejala jaman. Tak begitu usang Parasaya berhasil menemukan induk beo yang sedang bertengger di sebuah dahan pohon besar. Ia menyeru agar burung beo itu mau pulang ke sarangnya.
Hai burung beo, tengok anak-anakmu. Mereka bisa mangkat jikalau tak kauberi makan, seru Parasara. Tapi burung itu hanya bergeming, pura-pura tak mendengar seruan Parasara. Malah beo itu pulang terbang menjauhi Parasara.
Jangan lari, teriak Parasara.
Kami mau pulang ke sarang setelah kau mau mengejarku hingga mendapatkan sesuatu, tutur beo.
Kejar aku hingga kau menemukan apa yang kauinginkan. Bukankah kau sengaja bertapa lantaran ingin mendapatkan sesuatu? tantang si beo.
Tak usang kemudian terdengar pesan tanpa rupa. Suaranya menggema penuhi angkasa.
Benar, Parasara. Pertapaanmu nir sia-sia. Kau telah berhasil mengendalikan diri, maka kau berhak mendapatkan ganjaran yang setimpal. Ikutilah burung itu hingga kau menemukan sesuatu. Parasara memandang ke langit disertai perasaan heran.
Siapa kau? Tampakkan dirimu. Tiba-tiba timbul sosok lelaki tua berjubah putih. Janggutnya panjang. Sorot matanya tajam penuh wibawa.
Akulah Resi Manumayasa. Bersyukurlah pada Tuhan. Sebentar lagi jodohmu akan datang. Kau akan dipertemukan memakai seseorang wanita yang cerdik, indah & baik hati. Ikutilah kemana arah burung itu terbang Sang Resi tiba-tiba menghilang.
Resi!
— 000 —
Parsara mengikuti ke mana arah burung itu terbang, & sampailah di sebuah loka hunian penduduk. Di perbatasan kampung Parasara bertemu memakai seseorang gadis semampai berkulit bersih. Dengan senyum manis wanita itu menyambut kedatangan Parasara. Keduanya berkenalan & saling tatap.
Namaku Durgandini. Terserah Kakang mau panggil siapa.
Durgandini?
Ya, kenapa Kakang terkejut?
Durgandini putri Prabu Basukiswara?
Benar, Kakang.
Kalau begitu, dulu kau adalah teman bermain dikala kita masih kanak-kanak. Parasara tak menyangka bakal bertemu memakai kawan usang.
Masih segar dalam ingatan Parasara, waktu itu beliau & Durgandini mungil bermain di taman kerajaan Wirata. Keduanya bersenda gurau penuh ceria. Suatu waktu ayah Durgandini, Prabu Basukiswara memergoki keduanya sedang bermain petak umpet. Keduanya amat bahagia. Namun begitu melihat kedatangan Sang Prabu, keduanya diam kemudian memberi penghormatan. Sambil menyunggingkan senyum penuh kasih, Sang Prabu memanggil Parasara & Durgandini. Keduanya ditepuk-tepuk bahunya, kemudian dielus-elus kepalanya. Hap!
Kenapa Kakang melamun? tutur Durgandini sembari mencubit lengan Parasara.
Ah, nir terdapat apa-apa. Parasara gelagapan.
Jangan dusta. Kakang niscaya sedang membayangkan sesuatu. Ayo, ngaku saja.
Ah, Dinda memahami aja. Keduanya tertawa bahagia.
Si beo yang sejak awal mengamati tingkah keduanya tiba-tiba bersenandung keras melantunkan syair usang milik Katon Bagaskara: Dinda di manakah kau berada, rindu aku ingin jumpa
Parasara & Durgandiri celingak-celinguk mencari asal bunyi.
Aku telah menuruti kemauanmu. Sekarang giliranmu harus menuruti keinginanku. Pergilah & tengok anak-anakmu. Mereka sangat merindukan kedatanganmu, teriak Parasara.
Oke-oke. Aku akan segera pergi. Aku takkan menggangu keasyikan kalian, ejek si beo. Burung itu terbang meninggalkan Parasara & Durgandini. Sekian. Nuwun.