Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Jika kerabat perkerisan pernah ke komplek makam Troloyo, Trowulan, Mojokerto, tentu tidak asing dengan makam yang sangat panjang. Iya, disitulah diyakini Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji dikebumikan. Tentu bukan tanpa alasan sampai makamnya dapat sangat panjang seperti yang dapat kita saksikan saat ini.
Ada banyak simpang siur mengenai sosok Sunan Ngudung ini, namun banyak yang meyakini jikalau Sunan Ngudung artinya ayahanda dari Sunan Kudus. Dalam banyak riwayat yang diceritakan, Sunan Ngudung artinya senopati perang Demak yang sekaligus imam akbar keempat masjid Demak yang kemudian mati syahid melawan Majapahit. Ia dijuluki penghulu Rahmatullah pada Undung atau Ngudung lantas orang acapkali menyebutnya Sunan Ngudung.
Dalam versi yang saya cuplik pada atas, Sunan Ngudung artinya putra Sunan Gresik atau biasa dikenal Maulana Malik Ibrahim kakak Sunan Ampel. Atau dengan istilah lain, ia masih sepupu dengan Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Sunan Ngudung menikah dengan Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Amir Haji nama lain dari Jakfar Shadiq atau Sunan Kudus.
Riwayat menceritakan selesainya Sunan Ampel wafat, para santri memutuskan untuk mengakhiri kekuasaan Majapahit, karena Raja Brawijaya V mulai meminta kontribusi Portugis untuk menekan Syiar Islam.
Dalam pertempuran habis-habisan itu, yang boleh jadi telah berakhir (1527 M) dengan direbutnya ibukota kerajaan tua tersebut, ia berjuang beserta anaknya yang kemudian lebih diklaim Sunan Kudus. Mereka memimpin pasukan orang alim.
Seperti yang sudah saya singgung pada atas, selesainya Sunan Ampel pada Surabaya meninggal dunia, para santri memutuskan untuk mengakhiri kekuasaan tertinggi Raja Brawijaya V, sekalipun Sunan Kalijaga menentangnya. Menurut Raden Mas Sahid, nama kecil waliyullah tersebut, Raja Majapahit toh tidak pernah menghalangi dakwah Islam. Adipati Demak Bintara, Raden Patah, juga masih Seba, menghadap Raja, untuk membayar Upeti.
Akan tetapi, berbondong-bondong para santri, yang dipimpin Pangeran Ngudung dan pemimpin agama yang lain, tetap beranjak menyerang. Adik Raden Patah, Adipati Terung, Raden Kusen, menghindar dari tugas yang dibebankan Raja Majapahit untuk memerangi kaum pemberontak. Patih Gajahmada lah yang pertama-tama memukul mundur barisan orang alim itu pada Tuban.
Dalam penyerangan kedua, yang hanya dipimpin sang Pangeran Ngudung, berdasarkan denga keputusan para ulama, hanya anggota keluarga yang lebih belia ikut bertempur, tetap pada bawah komando sang Patih, barisan Majapahit, yang pada ikuti putra Mahkota Aria gugur, Pangeran Andayaningrat dari Pengging, Adipati Klungkung dari Bali, serta Adipati Pecat Tandha (kepala pasar atau pelabuhan yang berhak menarik pajak) Terung, tampaknya begitu kuat.
Pertempuran menentukan terjadi pada Wirasaba (Kini Maja Agung), versi lain menyatakan terjadi pada tepi sungai Sedayu. Andayaningrat gugur. Pangeran Ngudung terbunuh sang tusukan tombak Adipati Terung. Dari kisah ini menceritakan, tombak adipati Terung yang menghujam Sunan Ngudung tidak dapat dilepas. Hingga kemudian dikebumikan bersamaan dengan tombak adipati Terung, itulah alasan sampai makam Sunan Ngudung begitu panjangnya. Nuwun.