Kuburan selalu identik beserta hal-hal berbau angker, menakutkan, hantu, & segala momok menakutkan lainnya. Setidak-tidaknya begitulah kesan tentang kuburan yg selama ini berkembang ditengah-tengah masyarakat kita. Akan tetapi terdapat sebagian pula anggapa itu sama sekali tidak berlaku di Langgar (musholla) tempat saya tidur & mengaji di kampung saat kecil dulu. Kuburan begitu dekat beserta beserta keseharian kami disebabkan Langgar kami lokasinya di tanah wakaf bersebelahan & hanya berbatas pagar bambu. Kala itu, Langgar dari kayu jati yg bersebelahan beserta kuburan itu adalah tempat favorit berkumpulnya anak laki-laki & sekaligus tidur di dalamnya. Tempatnya strategis sekali alasannya berada di pinggir jalan raya.
Kedekatan tersebut semakin terasa sewaktu tikar yg biasa kami gunakan sebagai alas tidur mulai menawarkan indikasi-indikasi kerusakan. Kami baru akan mendapatkan tikar pengganti begitu terdapat orang yg meninggal mayapada & dikuburkan di samping Langgar. Ya, tikar bekas pembungkus mayat yg sudah dikafani itulah yg akan kami gunakan sebagai alas tidur. Memang merupakan kebiasaan di kampung kami jikalau terdapat orang meninggal, mayatnya dikafani lalu dibungkus beserta tikar, namun ketika dikubur tikar tidak disertakatan untuk men, pada saat itulah kami akan rebutan untuk mendapatkan tikar.
Berkaitan beserta persoalan tikar, saya punya pengalaman yg menurutku agak menakutkan, akan tetapi ajaibnya selalu memancing tawa teman-teman kecil dulu bila saya mengisahkannya kembali. Jadi, begini ceritanya. Suatu hari saya berhasil memenangkan kompetisi perebutan tikar. Malamnya, sepulang dari ngaji di Langgar tersebut & kembali lagi untuk tidur di Langgar yg sama & bersiap-siap menjadikannya alas tidur. Dengan tikar output rebutan, saya berjalan menuju tempat favorit yaitu di samping Langgar dekat ventilasi & berbatasan pribadi denga kuburan.
Saya memang sering tidur di sana agar mudah dibangunkan bila waktunya azan subuh. Tak berapa usang sesudah mataku terpejam, tiba-tiba saya mendapati diriku berdiri di depan ventilasi yg memang menghadap ke kuburan. Seketika itu pula saya lihat seluruh penghuni pemakaman bangkit dari kuburnya & berbondong-bondong menghampiriku, menuntut tikar mereka yg saya rebut agar dikembalikan. Melihat pemandangan yg menyeramkan tersebut, saya sontak berteriak-teriak minta tolong. Untung saja terdapat teman yg mendengar teriakanku & segera membangunkanku dari mimpi tidak baik itu.
Ul, Ul, bangun! Itu Cuma mimpi, ucapnya sembari mengguncang-guncangkan badanku.
Saya kaget & terbangun, berlari terbirit-birit meninggalkan tikar output rebutan sebelum akhirnya pindah ke tempat lain & pribadi ndusel ke teman yg tidak kebian tikar. Kak In yg tadi membangunkan saya hanya terbengong-bengong melihat tingkah ajaibku, lalu kembali tidur melanjutkan mimpi indahnya menjadi mubaligh prominen seperti Alm. Zainuddin MZ.
Begitulah sekelumit pengalaman berkaitan beserta kuburan. Meski kelak setiap insan sempurna menjadi penghuninya, tempat itu selalu menjadi momok yg menakutkan bagi sebagian orang. Padahal Rasulullah pernah bersabda bahwa kematian adalah nasihat yg membisu. Ya, kematian memang menyisakan membisu, tetapi dibalik diamnya, kematian menegaskan bahwa tak seseorang pun mampu menolak ketika ajal tiba menjemput. Dari kematian pula kita belajar tentang hidup. Belajar menghargai kesempatan yg dikaruniakan Allah untuk mengumpulkan bekal sebesar-banyaknya kala menghadap-Nya. Semoga!