Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Keberadaan sebuah kerajaan tidak terlepas asal beberapa benda pusaka yang menjadi piandel bahkan ada yang menjadi simbol legitimisai seorang raja yang berkuasa. Disamping itu eksistensi benda pusaka bagi kerajaan jua yang adalah dipergunakan simbol atau pun sebagai benda yang mempunyai kekuatan supranatural yang dipergunakan sebagai pendukung upacara upacara tradisi kerajaan.
Di nusantara terdapat beberapa pusaka yang melegenda, baik asal cerita maupun kekuatan yang tersimpan dalam senjata tadi. Pusaka-pusaka itu ada antara lain yang adalah peninggalan asal tokoh-tokoh Mataram dan kini tersimpan rapi pada Keraton Yogyakarta.
Kanjeng Kyai Ageng Kopek
Keris ini adalah pusaka utama pada lingkungan Keraton Yogyakarta. Pusaka ini hanya dipegang oleh sultan yang tengah bertahta pada Keraton Yogyakarta. Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek ini pralambang sultan sebagai pemimpin rohani dan duniawi.
Kanjeng Kyai Joko Piturun
Pusaka ini berada pada urutan ke 2 dunia keris pada lingkungan Keraton Yogyakarta. Kanjeng Kyai Joko Piturun akan diberikan kepada putera mahkota Keraton Yogyakarta. Konon, keris ini pernah dimiliki Sunan Kalijaga yang ditempa oleh pande besi kenamaan pada Kerajaan Demak.
Kanjeng Kyai Pleret
Kanjeng Kyai Pleret adalah tombak milik Danang Sutowojoyo atau Panembahan Senopati pendiri Keraton Mataram (sekarang menjadi Keraton Yogyakarta). Konon, Kanjeng Kyai Pleret ini adalah sperma asal Syeh Maulana Maghribi. Saat itu Syeh Maulana Maghribi tak sengaja melihat adik perempuan Sunan Kalijaga, Rasa Wulan yang tengah mandi pada Sendang Beji.
Sperma Syeh Maulana Maghribi kemudian menetes ke air sendang sampai akhirnya Rasa Wulan menjadi hamil. Tetesan yang lainnya tiba-tiba mengeras dan kemudian berubah wujud menjadi sebuah mata tombak yang kemudian dinamai Kanjeng Kyai Pleret.
Kanjeng Kyai Baru Klinting
Pusaka ini jua berupa tombak bernama Kanjeng Kyai Baru Klinting. Tombak sakti ini pernah dipergunakan seorang abdi dalem keraton bernama Ki Nayadarma untuk menumpas pemberontakan yang dipimpin Adipati Pati Pragola.
Tombak ini adalah titisan asal Naga Baru Klinting. Ki Ageng Mangir Wanabaya yang adalah ayah Baru Klinting menghukum anaknya yang berwujud ular naga tadi untuk melingkari Gunung Merapi.
Tinggal kurang sedikit lagi Baru Klinting berhasil melingkari Merapi. Agar mampu kepalanya mampu menyentuh ekor, Baru Klinting lalu menjulurkan lidahnya.
Hal itu tak disukai Ki Ageng Mangir Wanabaya dan mengangap anaknya telah berbuat curang. Ki Ageng Mangir Wanabaya lalu memotong lidah tadi sampai kemudian menjadi sebuah mata tombak.
Selain 4 pusaka utama pada atas, ternyata Kraton Jogja menyimpan sebuah sebuah pusaka yang terbuat asal kain kiswah, kain bekas pembungkus kabah. Kain itu hadiah kekhalifahan Turki kepada Raden Patah, Sultan Demak, tanda hubungan baik antara Kerajaan Turki dengan Kerajaan Demak ketika itu. Pasca runtuhnya Kerajaan Demak, kain kiswah yang berujud bendera berwarna ungu kehitaman itu kemudian diwariskan turun menurun dan sampai saat ini masih tersimpan pada Kraton Jogja.
Apa istimewanya?
Kain Kiswah tadi diberi nama Kanjeng Kyai (KK) Tunggul Wulung. Pusaka Kraton ini dipercaya memiliki sebuah kemampuan tolak bencana. Bersama Kanjeng Kyai (KK) Pare Anom, sebuah bendera pusaka berwarna hijau dan bertuliskan kalimat Tauhid yang jua adalah pemberian asal Kekhalifahan Turki, KK Tunggul Wulung bila diarak mengelilingi kota Jogja, wabah penyakit ataupun bencana akan hilang dan warga bisa selamat.
Berkenaan dengan ini, ada satu riwayat yang mengisahkan ketika itu pada tahun 1820 pada loka Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, terjangkit wabah penyakit Sampar (Pes). Ratusan orang mati sebab terkena penyakit tadi. Untuk mengatasi penyebaran penyakit Pes, maka Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) V memerintahkan seorang abdi dalemnya untuk mengkirab KK Tunggul Wulung mengelilingi benteng Kraton. Tak lama berselang, wabah penyakit Pes yang mengganas dan mematikan ratusan warga kemudian mereda.
Wabah Pes balik muncul pada tahun 1821. Wabah tadi semakin menggila. Korbannya melebihi tahun 1820. Jumlah korban sampai ribuan jiwa. Sekali lagi KK Tunggul Wulung dikirab memutari benteng Kraton. Wabah Pes pun kemudian berangsur menghilang.
Untuk abdi dalem yang mengarak KK Tunggul Wulung dan KK Pare Anom pun dipilih khusus. Syaratnya minimal harus berpangkat Bupati dan sudah sepuh. Dan harus tulus. Artinya, konon siapa pun setelah mengirap KK Tunggul Wulung dan KK Pare Anom akan meninggal setelahnya. Sementara sekian dulu semoga menjadi tambahan wawasan buat kerabat perkerisan sekalian. Nuwun.