Jangan tercengang dulu, memang misalnya itulah mitosnya. Daripada bertanya-tanya, buat itu pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak kerabat perkerisan singgah sebentar buat mengenal obyek wisata kota Tuban. Tepatnya ke Pemandian Bektiharjo atau sendang Widodaren, nama lain sumber air alami yang menyimpan poly sejarah serta mitos misalnya judul di atas.
Hal lain yang sangat berbeda dari kolam renang kebanyakan adalah adanya komunitas kera jinak di sekitar lokasi pemandian. Kera-kera ini tidak mengganggu, kecuali bagi pengunjung yang membawa makanan supaya dijaga dengan baik. Karena sering kali kera-kera yang kelihatan sangat pendiam dapat berkiprah dengan sangat cepat buat merogoh kue atau makanan kecil yang sedang dipegang. Untuk mencapai lokasi Pemandian Bektiharjo ini tidaklah terlalu sulit palingan sekitar 5 KM dari pusat Kota , tepatnya di desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Tapi bagi saya pribadi, ke tempat ini adalah lebih tertarik cerita legenda daripada berenangnya. Konon, waktu awal-awal masuknya kepercayaan Islam ke tanah Jawa, sendang Widodaren di Desa Bektiharjo masih berupa telaga besar. Tetapi air-nya telah mulai surut disebabkan rusaknya hutan di sekitar kawasan itu. Pusat Pemerintahan Kabupaten Tuban yang semula di Prunggahan Kulon, tepat di utara telaga Bektiharjo pun mulai bergeser ke arah utara mendekati pantai. Terlebih setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Tuban merogoh alih kiprah Malaka sebagai pelabuhan perdagangan internasional, pusat Pemerintahan Tuban pun semakin dekat dengan pesisir hingga kini.
Sebagai kota yang terhitung maju kala itu, Tuban menjadi sasaran pokok para penyiar kepercayaan Islam. Banyak para penyiar kepercayaan Islam yang datang serta bermukim di Tuban sebelum melanjutkan dakwahnya ke wilayah lain. Maka Tuban-pun segera berubah menjadi menjadi kota metropolis ketika itu, alasannya adalah bukan saja menjjadi pusat perdagangan tetapi pula menjadi pusat pendidikan. Tak heran andai kata Tuban menjadi incaran poly pihak, termasuk Negeri Tiongkok yang tampaknya masih bertanya-tanya dengan kegagalannya menaklukkan Jawa pada masa Kubhilai-Khan dulu.
Pembuktian Mitos
Maka pada masa awal perkembangan Islam, ketika Pemerintahan Majapahit mulai ringkih, datanglah utusan Negeri Tiongkok ke Jawa. Cerita tutur yang berkembang di masyarakat, utusan tersebut bernama Sam Poo Kong yang kemudian membarui namanya sebagai Dampo Awang. Dampo Awang sendiri syahdan telah beragama Islam. Namun sebagai panglima perang yang diutus Kaisar-nya buat menjajagi kekuatan Jawa, maka ia harus mengabaikan ikatan persaudaraan seagama itu dengan orang-orang Jawa yang sebagian besar ternyata telah menjadi pemeluk Islam.
Namun tugas Dampo Awang tidak semudah membalik tangan. Di Jawa telah bermukim para Aulia, orang-orang berilmu tinggi yang menggantikan kiprah Brahmana yang semakin tergusur. Dampo Awang pun terpaksa harus berhadapan dengan para pensiar kepercayaan Islam itu.
Dari sekian Wali yang dipandang masih belia serta paling pantas menghadapi Dampo Awang adalah Sunan Kalijaga atau Raden Mas Joko Said. Selain ia paling belia di antara para Wali ketika itu, Raden Mas Joko Said pula putra Adipati Wilwatikta ring Tuban, Rakryan Haryo Tejo, maka telah sewajarnya andai kata dialah yang melayani tantangan Dampo Awang yang hendak membuat onar di Tuban. Tuban ketika itu memang menjadi gerbang pokok Majapahit. Orang-orang dari negeri seberang harus singgah di Tuban lebih dulu sebelum menuju ke Kotaraja Majapahit di selataan Bengawan Solo.
Singkat cerita, bertemulah Dampo Awang dengan Sunan Kalijaga. Keduanya lalu bertarung mengadu ilmu kesaktian. Ke duanya sama-sama berilmu tinggi sehingga pertarungan membutuhkan waktu berhari-hari. Tetapi bagaimanapun pula, Sunan Kalijaga tentu lebih menguasai medan dibanding Dampo Awang. Sunan Kalijaga ingin segera menyudahi pertempuran itu, karena tidak ingin mengakibatkan urusan yang lebih vital tertunda.
Sunan Kalijaga memancing bahtera Dampo Awang memasuki kanal menuju Telaga Bektiharjo. Kanal itu telah agak kering diakibatkan debit air telaga Bektiharjo yang pula terus menyusut. Tapi bagi orang-orang sakti misalnya mereka, mengarungi kanal dangkal serta berbatu itu bukan pekerjaan terlalu sulit. Dampo Awang tidak mengetahui bila ia telah termakan siasat Sunan Kalijaga. Pendekar dari Negeri Tiongkok itu pun mengejar Sunan Kalijaga.
Sampai di Telaga Bektiharjo, pertarungan sengit pun pergi terjadi. Air telaga yang tinggal sedikit itu semakin terkuras, serta akhirnya hanya menyisakan lumpur. Perahu Dampo Awang tak bisa berkiprah lagi karena terjebak endapan lumpur tebal. Melihat lawannya telah tak berdaya terjebak lumpur (dalam bahasa jawa lokal setempat disebut kembet), Sunan Kalijaga menentukan menghentikan pertempuran. Namun Dampo Awang permanen berteriak-teriak menantang Sunan Kalijaga hingga tanpa sadar keluar kata-kata yang menyinggung perasaan putra Bupati Tuban itu. Karena jengkel, Sunan Kalijaga berteriak: Wis nang kono wae sampek dadi watu ! (Sudah disitu saja hingga jadi batu).
Usai berteriak demikian, Sunan Kalijaga pergi meninggalkan Dampo Awang. Dampo Awang tak bisa keluar dari dasar telaga yang telah mengering. Air yang tersisa tak relatif buat menggerakkan perahunya. Ia pun akhirnya mati terjebak lumpur serta menjadi batu bareng perahunya. Namun karena kesaktiannya, Dampo Awang tidak menjadi batu, tapi muksa atau hilang lenyap tanpa bekas. Ada yang pecaya Dampo Awang berubah menjadi pohon yang tumbuh di atas perahunya yang telah menjadi batu itu.
Perahu batu-nya Dampo Awang itu masih bisa dilihat seluruh orang hingga kini di Sendang Widodaren, kompleks belakang Wisata Pemandian Bektiharjo ini. Masyarakat setempat meyakini batu mirip bahtera di sendang itu masih menyimpan sesuatu yang misterius. Konon, senjata Dampo Awang masih sering terlihat bersinar pada waktu-waktu tertentu di atas batu bahtera tersebut. Tertarik serta bertanya-tanya bahtera yang membatunya Dampo Awang silahkah kunjungi langsung lokasinya. Monggo