Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Suksesi kepemimpinan merupakan fenomena lumrah terjadi dalam global politik yang biasanya tidak disukai para penguasa manapun di global. Seperti galibnya, para pemimpin dituntut memainkan strategi politik menggunakan mengukur peta kekuatan oposisi berikut segala prediksi kemungkinan terjadinya suatu konspirasi bahkan konflik politik didalamnya.
Bagaimanapun alotnya proses pergantian kekuasaan ditangguhkan, suksesi pasti terjadi pada sistim kekuasaan politik & pemerintahan manapun.
Seperti pada tajug di atas, suksesi kepemimpinan yang terjadi di Mataram tersebut memang tidak banyak diceritakan dalam lembar sejarah. Semua seakan tertutupi oleh kegemilangan Sultan Agung Hanyakrawati dalam membawa Mataram pada puncak kejayaannya. Sejarah hanya banyak mencatat bahwa Sultan Agung Hanyakrawati menggantikan ayahnya, yakni Panembaan Senopati. Padahal sejatinya tidak, Sultan Agung menggantikan adiknya sendiri yakni Raden Mas Wuryah.
Adakah suatu konspirasi politik dibalik misteri insiden Panembahan Seda Ing Krapyak itu? Terlebih aneh lagi, 4 hari setelah mangkatnya, Raden Mas Wuryah putra mahkota Panembahan Hanyakrawati naik tahta sebagai Raja Mataram III bergelar Adipati Martapura yang berkuasa hanya sehari semalam, kemudian digantikan Raden Mas Rangsang sebagai Raja Mataram IV bergelar Sultan Agung Hanyakrawati? Ada apakah gerangan?
Memang tidak banyak sumber sejarah yang menceritakan Raden Mas Martapura secara lebih jelasnya & lengkap. Hal tersebut tidak lain sebab Raden Mas Wuryah menjabat sebagai raja Mataram hanya dalam waktu sehari semalam.
Penobatan Raden Mas Martapura. Semasa menjabat sebagai adipati anom pada pemerintahan ayahnya (Panembahan Senopati), Mas Jolang sudah berjanji kepada istrinya yakni Ratu Tulung Ayu apabila kelak beliau dinobatkan menjadi seorang Raja, beliau berkeinginan untuk menjadikan anak mereka sebagai pewaris tahta (Adipati Anom).
Namun siapa sangka sekian lama dari pernikahan keduanya tidak juga dikaruniai anak, hal tersebut kemudian mendorong Mas Jolang untuk menikah lagi menggunakan putri raja Pajang (Pangeran Benawa). Dari pernikahan tersebut keduanya dikarunia putra pertamanya yakni Mas Rangsang pada tahun 1593 (kelak akan mengantarkan Mataram Islam pada masa Kejayaannya).
Pada tahun-tahun awal Mas Jolang menjabat sebagai Raja Mataram barulah lahir Raden Mas Martapura dari istri pertamanya, tepatnya pada tahun 1605. Dalam buku Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa R.M. Martapura mengidap penyakita yang berkaitan menggunakan syaraf, sehingga tidak mungkin mewarisi tahta menjadi seorang raja.
Raden Mas Jolang atau Panembahan Hanyakrawati artinya putra ke empat dari Panembahan Senapati dari Istri Permaisuri, Ratu Mas Waskita Jawi putri Ki Ageng Penjawi penguasa Pati. Pada 1600, Raden Mas Jolang di angkat jadi Adipati Anom oleh Panembahan Senopati menggunakan penugasannya menumpas pemberontakan Adipati Pragola dari Kadipaten Pati, atau adik kandung ibunya sendiri.
Pemberontakan ini dipicu gara-gara Panembahan Senapati berpoligami menikahi Retno Dumilah putri Adipati Madiun sebagai permaisuri kedua, yang membuat Pragola marah sebab menilai kedudukan politis kakaknya, Ratu Mas Waskita Jawi akan tergeser. Maka, perang tanding Mataram menggunakan Pati itu tidak memunculkan kemenangan siapapun, hingga Panembahan Senopati gregetan turun tangan sendiri menumpas pembelotan Adipati Pragola.
Raden Mas Jolang naik tahta bergelar Panembahan Hanyakrawati Senopati Ing Alaga menggantikan Panembahan Senopati yang wafat pada 1601, & memerintah Mataram selama 12 tahun pada 1601-1613. Raja Mataram ke dua itu memiliki dua istri parameswari, yakni :
Parameswari Ratu Kulon artinya Ratu Tulung Ayu berasal dari Ponorogo yang melahirkan Raden Mas Wuryah atau Adipati Martapura pada 1604.
Parameswari Ratu Wetan artinya Dyah Banowati bergelar Ratu Hadi putri Adipati Benawa dari Pajang yang melahirkan Raden Mas Rangsang bergelar Adipati Anom & Ratu Pandansari (istri Pangeran Pekik Surabaya).
Raden Mas Wuryah, atau Raden Martapura lahir di Kota Gedhe 1605, wafat di Magelang pada 1638 putra sulung Panembahan Hanyakrawati dari Parameswari I Ratu Kulon sebagai putra mahkota akhirnya naik tahta menjadi Raja Mataram menggunakan gelar Adipati Martapura. Lalu mengapa Raja hanya bergelar Adipati? Raden Mas Wuryah di masa remajanya juga punya julukan Kenthol Ponorogo (kemudian menjadi Panembahan Kejoran), & adik kandungnya, Raden Mas Cakra dijuluki Kenthol Kuning (kemudian menjadi Panembahan Bayat).
Data lain, Serat Nitik Sultan Agung menyatakan yang seharusnya jadi putra mahkota justru Raden Mas Rangsang sebab usianya lebih tua dari Raden Mas Wuryah, juga sebagai putra tertua Panembahan Hanyakrawati menggunakan Parameswari II Ratu Adi dari Pajang.
Pengangkatan Raden Mas Martapura sebagai pejabat putra mahkota guna menghindari kekosongan pemerintahan Mataram, sebab Raden Mas Rangsang sedang perjalanan jauh (tidak dijelaskan kemana?). Sebagai putra sepuh di antara para pangeran, maka Raden Mas Martapura disebut berhak mengisi kedudukan Raja berdasarkanpada paugeran Kraton Jawa, bahwa putra mahkota artinya putra tertua Raja menggunakan Parameswari I.
Dalam Babad Sengkala dikisahkan, setelah 4 hari Mangkatnya Raja, pada Senin pagi tanggal 4 Oktober 1613, Raden Mas Martapura dinobatkan jadi Raja Mataram bergelar Panembahan Adipati Martapura oleh Adipati Mandaraka & Pangeran Purbaya, masyarakat Mataram menyambut suka-ria di Alun-alun Kraton. Dan sore harinya, Raja Baru dimohon mengadakan perjamuan rapat agung yang memuat saran Adipati Mandaraka agar Raja Baru turun tahta & menyerahkan tahta kepada kakaknya, yaitu Raden Mas Rangsang berdasarkan pesan almarhum ayahnya.
Kemudian, Panembahan Adipati Martapura turun tahta menggunakan alih alasan sakit kurang ingatan? Babad Tanah Jawi memberitakan, apabila pemindahan hak atas tahta itu didasari alasan Raden Mas Martapura menderita sakit ingatan musiman & suka memakan makhluk yang masih hayati. Keadaan itupula menyebabkan Raden Mas Martapura disebut tidak layak & tidak dapat untuk memerintah Mataram, sekalipun ada Wali Negara. Raden Mas Martapura mati global pada tahun 1638 setelah mengabdikan diri sebagai Raden Santri di Gunung Pring, Muntilan, Magelang. Bagaimanapun hanya Raja yang punya otoritas politis tentukan siapa penggantinya?
Suksesi kekuasaan ditambah polemik dinasti akibat poligami memang selalu gayeng apabila dibahas, tidak di masa lalu, masa kini, atau bahkan yang niscaya terjadi di masa depan? Politik Jawa punya idiom Lengser Keprabon, Madhed Pandito, termuat makna filosofis apabila seorang tidak lagi berkuasa, maka dia berdiri tegak sebagai Begawan atau negarawan yang agamis. Lain dulu lain sekarang. Seiring perubahan zaman, kisah para Raja Mataram tinggal sejarah & berevolusi dalam bentuk peradaban & martabat bangsa yang lebih tinggi & mulia, menyatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nuwun