Dunia Keris – Selamat siang kerabat perkerisan, nir terasa almanak hari ini dalam titik paripuranya dalam kalender masehi dalam bulan ke 2. Jujur saja, kita lebih sering menggunakan almanak masehi ini daripada almanak yang orisinal berasal bangsa kita sendiri.
Ada beberapa goresan pena saya buat uri-uri ihwal khasanah budaya Jawa dalam situs ini. apakah itu ihwal ajaran budi pekerti atau ihwal mitologi dalam Mistik Kejawen dalam dalamnya. Ada salah kaprah persepsi kita ihwal Kejawen, bahkan buat menurut saya sendiri dalam awalnya. Sekedar buat meluruskan pandangan agar nir kita salahpahami ihwal Kejawen itu sendiri. Kejawen tentu saja nir mempunyai buku kudus sebagaimana layaknya seluruh agama-agama yang ada. Kalau kita bertanya ihwal buku kudus ajaran Kejawen tentu kita nir akan mendapatinya. Karena Kejawen bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun temurun ribuan tahun, melalui proses asimilasi & sinkretisme bersama nilai-nilai agama yang pernah ada dalam bumi nusantara.
Kitab Suci Kejawen adalah hidup itu sendiri. Hidup yang mencakup jagad gumelar. Terdiri berasal kehidupan sehari-hari, kesejati dalam dalam diri, & apa yang ada dalam dalam lingkungan alam lebih kurang kita. Semua itu lazim disebut menjadi buku satra jendra. Cara membacanya pun bukan bersama ucapan lisan, melainkan bersama perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun. Membaca buku sastra jendra bersama menggunakan ngelmu titen, indera yang dipergunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya dipengaruhi oleh kemampuan seseorang dalam memasak rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.
Di samping nilai-nilai kearifan lokal yang adiluhung. Piwulang Kejawen menjadikan nilai-nilai impor yang dievaluasi berkualitas menjadi bahan baku yang bisa diramu bersama nilai kearifan local yang telah ada terlebih dulu. Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup Jawa atau Kejawen. Bika definisikan, mistik kejawen merupakan yang akan terjadi berasal kontak nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi semenjak zaman kuno dalam masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, & monotesime hingga dikala ini. Sikap terbuka, menghargai & toleransi, & dasar spiritual cinta afeksi memproduksi Kejawen praktis menerima anasir asing yang positif.
Berbeda bersama nilai agama yang bersifat statis, kaku atau saklek & anti-perubahan, nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel & selalu berusaha memasak nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke Nusantara contohnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, & sebagainya. Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru mengalami penyempurnaan seiring bepergian waktu. Hingga terdapat anekdot, kalau nilai agama masuk hingga mendarah-daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga nir pernah lapuk & selalu eksis. Tidak hanya dalam usia tua, bahkan rakyat usia muda banyak juga yang membisu-membisu menghayati & mengakui fleksibilitas & kedalaman falsafah Kejawen. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan datang-datang ada bersama sendirinya mirip panggilan darah.
Sering & sudah saya bahas sebelumnya dalam goresan pena yang lain ihwal ritual yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan rakyat Jawa bhineka, namun mempunyai unsur kesamaan dalam rapikan laksana ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah dalam bahasa yang dipergunakan dalam doa atau mantra. Namun hakekat berasal ritual adalah sama saja yakni bertujuan buat selamatan. Selamatan adalah rapikan laris buat memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, dalam dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada Tuhan YME.
Misalnya dalam dikala bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, & kudus. Dibuatlah ketan, kolak & kudapan manis apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah & gotong royong bersih-bersih & merawat makam para leluhurnya menjadi wujud tindakan nyata rasa berbakti & memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya.
Karena bagi rakyat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan nir saja selama masih hidup, namun dikala sudah meninggal dunia pun anak turun tetap wajib berbakti padanya. Tidak ketinggalan juga acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, menjadi bentuk pencerahan diri buat selalu menghargai alam semesta menjadi anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.
Istilah ritual tak sporadis diartikan secara kurang proporsional, dipercaya hanya sekedar menjadi basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dipercaya juga menjadi aktivitas buang-buang waktu, porto & energi alias mubazir. Secara ekstrim ritual dikonotasikan menjadi aktivitas yang melenceng berasal kaidah atau istiadat agama. Secara pribadi tuduhan itu sangat menyakitkan, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang nir bisa memahami apa makna yang sesungguhnya berasal mistik & ritual. Padahal, ritual adalah rapikan laris yang menempel nir bisa dipisahkan berasal setiap agama, ajaran, tradisi & budaya manapun dalam dunia ini.
Dalam Budhisme & Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat aneka macam ritual keagamaan. Mulai berasal peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi agama. Bahkan rakyat modern, tradisi Barat, rakyat akademik, masyakarat medik, seluruh mempunyai ritual-rutual khusus yang dutujukan buat meraih kesuksesan termasuk keselamatan.
Dalam rakyat Jawa ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan konduite mistik Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji menjadi pakan setan. Bagi rakyat Jawa sangat mengenal bahwa setan atau makhluk halus bukan buat diberi makan, akan tetapi wajib diperlakukan secara adil & bijaksana karena disadari bahwa mereka seluruh adalah makhluk kreasi Tuhan juga. Manusia lantas dihentikan bersikap negatif & destruktif bersama mentang-mentang, semena-mena, takabur, sombong atau sombong kepada makhluk halus. Karena perilaku negatif itu hanya akan memproduksi manusia jatuh dalam derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh menjadi rakyat engan pencerahan primitif & nir wajar.
Sesaji merupakan bahasa yang dipergunakan menjadi alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal. Karena dasar berasal mistik adalah tindakan nyata, menjadi konsekuensinya wajib menghindari tabiat buruk tong kososng berbunyi nyaring, atau banyak mulut saja, akan tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun nir nisbi diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa kalau nir diwujudkan dalam aneka macam simbol yang terdapat dalam sesaji.
Misalnya, doa yang majemuk hendaknya dilakukan secara tulus, kudus, hati yang putih bersih nir terpolusi nafsu duniawi, & ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar dalam bawah, runcing dalam bagian atas. Bubur merah & bubur putih dalam bancakan weton menjadi lambang ibu & bapa. Hendaknya anak selalu jangan lupa dalam pengorbanan orang tua semenjak ia dalam dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan & diasuh hingga dewasa & berdikari. Bubur merah silang bubur putih, merupakan citra kontak ibu bersama bapa diikat bersama tali cinta kasih yang tulus, hingga menimbulkan anak menjadi anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa & gula merah. Masih banyak lagi contoh yang bisa kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial. Insya Allah dalam kesempatan yang lebih baik kita akan membahas lebih panjang lagi. Mohon maaf kalau dalam goresan pena ini ada kesan tendensius, seluruh tak lebih karena keterbatasan saya dalam kosa celoteh buat kalimatnya. Maturnuwun
Misteri Rompi Ontokusumo