Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Jogja Berhati Nyaman, Jogja Kota Gudeg, Kota Pelajar, Kota Budaya, mungkin sudah sering sampeyan dengar selama ini. Dari seabreg julukan kota yg berjargon Istimewa ini, ada satu julukan lain yakni, city of tolerance? Dari mana julukan ini berasal, aku belum menyelidiki lebih jauh.
Meski aku bukan warga asli Jogja, sepanjang satu dasawarsa menjadi galat satu pemukimnya bisa aku ambil satu kesimpulan bahwa dalam hayati bermasyarakat, warga Yogyakarta adalah orang yg ramah. Saling hormat menghormati satu & yg lainnya adalah hal yg wajib dilakukan bagi seluruh warga yg hayati di kota ini, baik bagi yg asli juga pendatang.
Begitu juga dengan suku atau etnis lain yg hayati di kota ini. Suasana yg ramah & mendukung membuat etnis non Jawa terbiasa untuk hayati membaur & mencicipi ketenangan untuk menikmati Jogjakarta. Permasalahan sempurna ada, tetapi seluruh itu akan lenyap karena keramahan & toleransi Jogjakarta yg nisbi bertenaga. Maka lumrah jikalau kemudian muncul satu ungkap, city of tolerance yg akan kita bincang kali ini.
Namun sebelumnya aku ingin berbagi sedikit mengenai cara mengenali orang Jogja asli & pendatang. Cara paling gampang mengenali orang Jogja asli & pendatang ada beberapa, pertama pelafalan suatu ungkap. Orang Jogja asli suka menambah huruf m dalam suku ungkap yg diawali dengan huruf b. Misal mBantul, mBali, mBandung, & seterusnya.
Kedua adalah caranya mengarah arah & loka. Orang Jogja, hampir seluruh ketika ditanya arah jawabannya tidak kanan atau kiri, tapi ngalor, ngidul, ngetan atau ngulon. Awalnya aku tidak menyadari itu bermasalah, hingga beberapa teman yg dari luar kota resah, Utaranya sebelah mana.
Dulu, awal-awal aku bermukim di sini, untuk mengarah utara itu gampang, utara ya pokoknya ada Merapi. Kalau sampeyan lihat Merapi berarti sampeyan menghadap utara. Tapi kini, nyari Merapi juga susah, ketutup sama hotel & baliho.
Masalah penunjuk jalan berikutnya adalah orang Jogja sering tidak hapal nama jalan. Mereka mengingat jalan dengan landmark. Misal tanya Jl. Brigjen Katamso. Pasti usang jawabnya, tapi coba tanya Purawisata, mereka eksklusif memahami.
Baik, kini kita balik dalam topik bahasan kita, city of tolerance atau kota yg penuh toleransi. Sejarah warga keturunan Tionghoa adalah galat satu contohnya. Mereka merasa sangat nyaman tinggal di Yogyakarta. Banyak dari mereka merasa bahwa Yogyakarta ini berbeda dengan kota lain.
Jika ditelusur lebih jauh, ternyata kehidupan warga Tionghoa di Yogyakarta tak lepas dari sejarah Yogyakarta. Pada jaman Oei Tek Biauw yg kemudian disebut Kyai Tumenggung Reksonegoro. Ia adalah galat satu Bupati di Semarang, kemudian pindah ke Yogyakarta atas permintaan Sultan HB I. Selain itu Kyai Reksonegoro juga menjadi penasehat sultan dalam bidang kerohaniaan, termasuk mengurusi & memimpin seremoni norma atau agama mirip Grebeg.
Konon, karena saking harmonisnya interaksi rakyat Yogyakarta dengan warga keturunan Tionghoa dimonumenkan ke dalam sebuah prasasti yg diberi nama Prasasti Kinanti. Prasasti yg terletak di dalam kompleks Kraton Yogyakarta ini awalnya disiapkan menjadi penghargaan atas penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di prasasti tersebut terukir rangkaian huruf Jawa & China yg terdiri dari lima bait, mulai dari ilustrasi sebuah kraton yg sejahtera, dipimpin sang sang raja bijaksana, & siapapun yg tinggal diwilayahnya sempurna tentram & harmonis, termasuk warga Tionghoa sendiri & ucapan terimakasih.
Kesetaraan hayati Andy Atmadja teman satu komunitas motor aku, warga keturunan Tionghoa yg juga pemilik galat satu bengkel resmi galat satu merk motor terkenal ini contohnya, dalam obrolan ketika kopdar ia mengaku bahwa di Yogyakarta ini hampir tak ada diskriminasi & pelecehan. Bercanda, saling mengejek & saling gotong royong sudah menjadi norma sehari-hari sejak berpuluh-puluh tahun yg lalu di lingkungan rumahnya.
Namun, hal itu justru menjadi bumbu keakraban antara etnis Tionghoa & warga asli (aku kurang suka menyebut pribumi karena konon adalah artinya kuli). Tak mirip kota lain yg bahkan pernah ada gerakan anti China hingga terjadi kerusuhan. Walau di loka ia tinggal, orang Tionghia cuma sedikit, tetapi setiap ada kegiatan di lingkungan kampung mereka selalu dilibatkan. Tidak ada pembeda sama sekali.
Pokoke aku ki mesti dadi seksi sibuk, ngurusi ope wae sing meh nggo acara, soale ra ono sing ngganteni aku, ucapnya dengan bahasa Jawa ngoko sembari bercanda yg artinya, pokoknya, aku selalu menjadi seksi repot, orang yg mengurus apa saja yg akan dipergunakan untuk acara, karena tak ada yg bisa menggantikannya.
Di sekolah loka anaknya mengenyam pendidikan pun tak pernah ada diskriminasi, seluruh peserta didik mendapatkan hak yg sama. Menurut Mbah Andy, begitu aku atau sesama komunitas memanggilnya, feodalisme yg ada di Yogyakarta tak mirip yg ada di film juga yg tertulis di poly tulisan.
Di komplek aku tinggal, aku hayati dengan rektor, mantan rektor perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Mereka bisa memerintah dengan leluasa di kantornya, tapi begitu berbaur di lingkungan sekitar, tak ada jabatan, tak ada disparitas. Ronda bersama, mirip kanca nekeran gitu lah akunya sembari ketawa.
Sambil mengenang cerita masa lalu yg ia pernah dengar, ia meceritakan ihwal Sultan HB IX, Dulu, dari mBantul ke kota butuh ketika bepergian sekitar tiga jam, padahal kini cuma 15 menit, malah kalau si Aska paling 10 menit (sembari menoleh ke Aska yg memang seseorang pembalap). Nah, ketika itu Ngarsa Dalem (sebutan untuk sultan) sering mruput naik kendaraan beroda empat menuju ke daerah terpencil & tau-tau beliau ditumpangi seseorang yg tak sadar bahwa yg ditumpanginya adalah rajanya sendiri. Sudah terbayang toh, bagaimana sang raja mau untuk membaur dengan rakyatnya. Semua itu setara, itu yg membuat Yogyakarta ini nyaman.
Kalau di negara-negara lain mirip contohnya, Amerika & Malaysia punya China Town, maka di Indonesia punya Pecinan. Di kota yg merupakan salah satu 2 pewaris Mataram ini, Pecinan dulunya ada di kawasan Malioboro. Lebih lengkapnya bisa sampeyan baca Malioboro : Saksi Sejarah Intrik Elite Kraton. Jika dirunut dari sejarahnya, dalam awalnya Malioboro memang dibangun perlahan menjadi pusat kegiatan ekonomi.
Cikal bakalnya dari kawasan Pecinan di kawasan ini, yg muncul sejak Sultan mengangkat kapiten seseorang Tionghoa, Tan Jin Sing, dalam tahun 1755. Nama Jawanya, Setjodingrat & bergelar KRT (Kanjeng Raden Tumenggung), menjabat bupati & tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Selengkapnya sampeyan bisa sampeyan baca di Tan Jin Sing : Bupati Tionghoa Pertama Yogyakarta.
Sejak sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan disebut pemukiman Pecinan, yg ditandai dengan rumah-rumah toko yg menjual barang-barang kelontong, emas & kostum. Kini, semakin bertambahnya penduduk, Pecinan tak lagi terpusat dalam satu loka saja yaitu, Malioboro, tetapi kaum Tionghoa di Yogyakarta menempati daerah sekitar Malioboro mirip Ketandan, Beskalan, Pajeksan, menjadi loka tinggal.
Jika di kota-kota lain, tanah Pecinan adalah milik pribadi, berbeda di Yogyakarta. Dari sekian luas Pecinan tersebut, ternyata sebagian besar adalah merupakan Sultan Ground atau tanah milik Kasultanan Yogyakarta yg dipergunakan untuk loka tinggal rakyatnya. Bukti toleransi sebuah kota untuk setiap warganya. Lahan ini, dibebaskan untuk ditempati demi terwujudnya harmoni & memperkaya kehidupan di Yogyakarta.
Kini Malioboro telah menjadi jantung untuk berdinamika bagi siapa pun di kota budaya sejati ini. Dari segi kebudayaannya, masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tidak terikat secara ketat ada suatu norma istiadat juga rasa bukti diri beserta, mereka memiliki orientasi kultural yg beragam. Tak hanya terbatas dalam penampilan fisik, mirip kulit kuning langsat atau mata sipit.
Secara kultural ke-Tionghoa-annya mereka boleh dikatakan telah melebur dengan budaya setempat, kecuali 2 buah klenteng & rumah makan Tio Ciu yg merupakan sisa-sisa bukti diri usang. Demikian juga dengan bahasa sehari-hari, mereka lebih memakai bahasa Jawa ngoko terkadang bercampur krama & bahasa Indonesia. Sekian dulu kisanak. Nuwun.