Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Akhirnya selesainya sekian waktu mengumpulkan data sebagai bahan buat tulisan ini, beserta segala kekurangannya, semoga rangkaian cerita ini menambah wawasan buat kita semua.
Saya percaya, poly berdasarkan kerabat perkerisan yang sudah familiar beserta satu nama kepada judul di atas. Matah Ati. Barangkali maupun kerabat perkerisan ketika sendratari degan lakon yang sama beserta tulisan ini, menyaksikan eksklusif pementantasan tadi beberapa tahun yang lalu. Matah Ati seoarang senopati perang perempuan beserta 26 prajurit setianya yang sama-sama berjuang hingga akhir hayat, dan prajurit-prajurit semuanya merupakan perempuan.
Siapa yang menyangka, dibalik formasi bukit di Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah ini sejarah berdirinya Pura Mangkunegaran bermula. Sejarah panjang perihal usaha, keprihatinan, dan kisah asmara terekam dalam diamnya formasi bukit yang saling menjulang itu pernah muncul.
Gugusan bukit tadi tidak pernah tercatat di catatan kaki sejarah sekalipun. Padahal, ditengah curamnya lereng formasi bukit tadi pernah terjadi pertempuran yang dipimpin perempuan bernama Rubiyah.
Siapa sesungguhnya Matah Ati? Ternyata Matah Ati merupakan seseorang perempuan Desa yang benama orisinal Rubiah, kemudian bergelar Roro, selesainya dinikahi oleh seseorang raja kemudian beliau diberi gelar Bandoro Raden Ayu Roro Matah Hati. Penasaran?
Pada masa kecilnya Rubiyah merupakan seseorang gadis desa biasa yang dilahirkan di desa Matah. Ayahnya bernama Kyai Kasan Nuriman, seseorang ulama Desa Matah yang mempunyai nama mini Bisman. Sebagai seseorang yang hayati di zaman yang mengutamakan nilai spiritual, Kyai Kasan Nuriman dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Jawa atau laris prihatin, sebagai akibatnya beliau bisa melihat hal-hal yang mistik atau ngerti sakjroning winarah.
Karena kewaskitaannya tersebutlah, beliau menjumpai hal yang tak wajar kepada diri Rubiah ketika anaknya tadi belum akil baliq. Diceritakan, kepada suatau malam Selasa Kliwon yang dalam mitologi jawa merupakan malam angoro kasih, Kyai Kasan Nuriman melihat api menyala kepada kepala Rubiyah yang sedang tidur. Merasa terkejut beliau mencoba mengusap kepala anaknya. Anehnya kepala anak itu tidak terasa panas. Tidak berapa usang beliau maupun menyaksikan lagi cahaya memancar berdasarkan bagian tubuh lain.
Sebagai orang Jawa dan sudah terlatih kepekaan batinnya, gejala ini ditangkap sebagai isyarat supaya beliau dituntut permanen tekun mendekatkan diri kepada yang Kuasa, agar senantiasa pasrah kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Hasrat ketekunan ini diwujudkan kepada laris tidak tidur setiap hari Selasa Kliwon. Tanpa disadari kebiasaan ini sudah dilakukan hingga Rubiyah berusia 14 tahun.
Akhirnya jalan hayati Rubiyah berubah sejak usia itu ketika muncul pertunjukan wayang kulit di Nglaroh. Nglaroh merupakan daerah kekuasaan berdasarkan Raden Mas Said yang ketika membantu Sunan Kuning melawan Belanda, beliau mendapat gelar Pangeran Sambernyawa.
Sekembalinya di Nglaroh beliau selalu mengadakan hiburan bagi sejumlah prajurit dan masyarakat setempat berupa pertunjukan tari dan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit selalu sebagai kegemaran masyarakat, termasuk para gadis desa kala itu. Hingga kepada satu kesempatan yang lain, sebab pertujukkan wayang merupakan semalam suntuk. Hal ini mengakibatkan poly anak gadis yang tertidur meski pertunjukkan masih berlangsung. Termasuk gadis Rubiah.
Pada momentum yang sama, ketika Pangeran Sambenyawa melihat di sekeliling pertunjukan betapa beliau dikejutkan oleh sinar terang yang terpancar berdasarkan bagian tubuh galat seseorang gadis yang sedang tidur itu. Kejadian beberapa tahun yang lalu berulang. Persis seperti ketika Kyai Kasan Nuriman. Kemampuannya dalam membaca sasmita atau membuktikan akan kelebihan berdasarkan gadis itu memaksa Pangeran Prangwedana memotong sedikit kain yang digunakan gadis itu.
Keesokan harinya beliau mengutus abdinya buat mencari gadis pemilik potongan kain tadi. Yang kemudian diketahui gadis itu bernama Rubiyah. Ternyata Pangeran Sambernyawa sangat terpesona beserta Rubiyah. Selanjutnya kepada Kyai Kasan Nuriman dilamarlah gadis itu buat sebagai isterinya.
Sejak sebagai isteri Pangeran Sambernyawa nama Rubiyah diganti sebagai Raden Ayu Roro Matah Ati. Kesetiaan dalam mendampingi suami dan perannya sebagai pejuang Laskar Puteri menjadikan Matah Ati wangsit primer usaha Pangeran Sambernyawa dikemudian hari.
Perkawinan beserta Raden Mas Said atau Pangeran Sambernywa atau maupun diklaim Pangeran Prangwedana melahirkan dua putera yaitu Kangjeng Pangeran Arya Prabu Amijaya dan Raden Ayu Sombra. Sebagai prajurit puteri Matah Ati berjuang hingga tegaknya pemerintahan Mangkunegaran. Setelah itu beliau mendapat gelar Bendara Raden Ayu Mangkoenagoro Sepuh. Sebagai seseorang bunda betapa senangnya andai saja sempat menyaksikan putera atau cucunya sukses.
Namun nasib menentukan lain. Ia tidak sempat menyaksikan cucunya Raden Mas Slamet diangkat sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Prangwedana II. Pada 1787 beliau meninggal mendahului suaminya. Jenasahnya dimakamkan di Makam-makam keluarga Mangkunegaran di Gunung Wijil Kecamatan Selogiri. Berjarak sekira 1 Km ke arah barat berdasarkan Kecamatan Selogiri.
Selain Raden Ayu Roro Matah Ati, di komplek makam tadi maupun muncul sebesar 26 makam prajurit perempuan yang setia sehidup semati mendampingi Roro Matah Ati. Nah, semenatara hingga disini dulu. Pada tulisan selanjutnya kita akan membahas secara lebih komplit perihal Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said hingga berdirinya Praja Mangkunegaran yang masih dapat kita saksikan hingga tulisan ini kerabat perkerisan baca. Nuwun.