Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Wong urip iku mung mampir ngombe, demikian ungkapan Jawa. Bagi sampeyan yang kebeneran orang Jawa tentu nir asing bersama pepatah ini. Bahkan, ungkapan di atas bisa dikatakan memadani ungkapan klasik Jawa yang meng-indonesia, yakni Eling lan Waspada.
Secara harafiah, falsafah wong urip mung mampir ngombe di atas adalah bahwa orang hidup itu hanya mampir minum. Sederhana memang. Begitulah para pewaskita Jawa selalu membungkus sesuatu yang berkesan sesederhana mungkin. Tidak perlu ndakik-ndakik bersama istilah yang mencerminkan inteletualitas tinggi. Begitulah kenyatannya.
Namun demikian, hidup hanya mampir minum sejatinya adalah kemasan semata. Isi sebenarnya jauh melampaui bahasa yang melankolis para pe-qouoter masa kini. Sekedar buat memahami isi dari falsafah Jawa wong urip mung mampir ngombe ini kita dituntut buat mengurai kehidupan manusia secara menyeluruh.
Di mulai dari kehidupan manusia semenjak tumbuhnya bayi dalam kandungan ibunya hingga kemudia lahir & memulai sendiri babak baru dalam kehidupan yang sebenarnya di mayapada. Selanjutnya, setelah dia meninggal, yaitu manakala berpisahnya ruh dari wadagnya, maka kemudian dimulailah babak baru kehidupan di alam lain. toga konsepsi kehidupan inilah yang kemudian dalam budaya Jawa dimanifestasikan sebagai alam purwa, madya, & wasana. Makna ungkapan wong urip itu mung mampir ngombe mengacu kepada alam madya, yaitu kehidupan setelah manusia dilahirkan di mayapada.
Selain akan & budinya, manusia terlahir di mayapada ini berbekal empat sifat dasar yang mewarnai kehidupannya, yang seringkali diistilahkan bersama aluamah, sufiah, amarah, & mutmainah, atau yang biasa juga diistilahkan bersama nafsu angkara, amarah, keinginan, & perbuatan suci. Nafsu-nafsu tadi timbulnya dirangsang oleh anasir-anasir yang terdapat di mayapada ini & masuk melalui paningal (mata), pengucap (mulut), pangrungu (telinga) & pangganda (hidung).
Anasir alam yang masuk melalui mata berwujud nafsu keinginan yang akan terjadi rangsangan sesuatu yang terlihat oleh mata. Anasir alam yang masuk melalui mulut berupa celoteh-celoteh kotor yang diucapkan oleh mulut. Anasir alam yang masuk melalui telinga berwujud suara yang nir enak didengar oleh telinga & membuahkan seseorang murka, kasar & gelap mata. Sedangkan anasir alam yang masuk melalui hidung berwujud tindakan-tindakan baik sebab hidung nir mau mendapat bau-bau yang nir enak.
Dengan bekal empat sifat dasar hidup itu, manusia diwajibkan menguasai keempat nafsu yang melekat kepada dirinya. Dengan celoteh lain, manusia harus menguasai ketiga nafsu yang mampu menimbulkan tindakan-tindakan yang kurang baik, yaitu aluamah, amarah, & sufiah serta mengutamakan nafsu yang mampu menimbulkan tindakan-tindakan baik, yaitu mutmainah.
Maksud menguasai disini adalah memelihara & mengatur ataupun mengendalikan. Apabila manusia mampu memelihara & mengatur serta mengendalikan keempat nafsu-nafsu tadi akan menjadi manusia teladan dalam arti mampu diteladani oleh orang-orang disekitarnya sebab tindakan-tindakannya selalu terpuji.
Sebaliknya apabila manusia nir mampu memelihara & mengatur serta mengendalikan keempat nafsu-nafsunya, orang tadi akan menampilkan tindakan-tindakan yang nir terpuji, sebagai akibatnya dia dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Oleh sebab itu kehidupan di mayapada yang hanya sesaat tadi, yang dalam budaya Jawa diungkapkan istlah wong urip iku mung mampir ngombe, haruslah disibukkan bersama tindakan-tindakan memelihara, mengatur serta mengendalikan keempat nafsu manusia ini.
Sehingga kehidupan di mayapada yang sifatnya hanya sesaat tadi diisi bersama tindakan-tindakan terpuji, misalnya tolong-menolong, mencintai sesama, berbakti kepada nusa & bangsa, saling hormat-menghormati, bermusyawarah buat mencapai mufakat & lain-lain. Dengan demikian apabila kepada dikala kematian, yaitu berpisahnya roh & wadag manusia mampu diharapkan roh manusia tadi akan pergi kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu causa prima segala kehidupan di mayapada ini.
Kehidupan di mayapada ini mampu diibaratkan sebagai perang antara nafsu baik & nafsu yang buruk. Agar manusia mampu memenangkan perang tadi, sebagai akibatnya kepada dikala kematian rohnya pergi kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia harus mampu menempatkan hati nuraninya di atas nafsu. Dengan celoteh lain, hati nurani manusia haruslah menguasai nafsu. Jika hati nurani dikuasai oleh nafsu kepada dikala kematian roh manusia mampu pergi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu terdapat satu peranyaan paling mendasar dari narasi panjang di atas, yakni bagaimana agar seseorang mampu menjaga hati nuraninya selalu berada di atas nafsu? Budaya Jawa mengajarkan agar seseorang selalu menjalani laku, misalnya berpuasa & lain-lain, sebagai latihan pengendalian diri sebagai akibatnya mampu mengendalikan diri apabila muncul rangsangan buat bertindak yang buruk. Selain itu budaya Jawa juga mengajarkan agar seseorang selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai akibatnya selalu mendapatkan terang dari-Nya yang akan menyebabkannya mampu berpikir secara jernih & higienis.
Tujuan hidup manusia adalah selamat di mayapada maupun di alam kelanggengan. Untuk mampu mencapai tujuan itu manusia dituntut buat terus menerus berjuang menegakkan kebenaran. Dalam kehidupan di mayapada yang sesaat, manusia harus mampu mengisinya bersama tindakan baik. Oleh sebab itu budaya Jawa selalu mengingatkan bahwa kehidupan di mayapada ini hanyalah sementara sifatnya.
Peringatan tadi diungkapkan dalam istilah wong urip iku mung mampir ngombe. Apabila seseorang selalu ingat akan hal ini & mengisi kehidupan sesaat bersama tindakan baik, maka dapatlah diharapkan tujuan hidup seseorang akan tercapai, yaitu selamat di mayapada maupun di alam kelak nanti. Karena apa, sebab hidup di mayapada sangat sebentar ibarat mampir buat minum. Gunakan kesempatan sebelum nyawa hingga tenggorokan.
Sebagai catatan kaki, secara eksklusif, falsafah wong urip ung mampir ngombe ini mengingatkan kepada dua hal krusial, yakni ;
Pertama, adalah bahwa kehidupan di mayapada ini bukanlah tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia. Artinya terdapat kehidupan setelah kematian. Kematian manusia di mayapada adalah awal dari kehidupan baru. Kehidupan baru itu berisi konsekuensi ketika hidup di mayapada. Apa yang didapat kepada kehidupan baru itu tergantung apa yang diombe (minum) selama di mayapada.
Jika apa yang diombe selama di mayapada adalah hal yang baik-baik & diridhoi maka baik pula apa yang dirasakan setelah di kehidupan baru itu. Begitu pula sebaliknya. Tidak terdapat upaya eksklusif selama kehidupan setelah kematian buat menambah atau mengurangi apa yang dirasakan selama kehidupan setelah kematian. Upaya eksklusif hanya bisa dilakukan selama hidup di mayapada. Bekal diambil selama di mayapada & dipakai setelah tanggal dari mayapada & nir bisa pergi lagi.
Kedua, adalah kehidupan di mayapada hanyalah sebentar. Diibaratkan hanya mampir buat minum saja lalu kemudian melanjutkan perjalanan. Coba bandingkan satu hari di akherat sama bersama 50 ribu tahun di mayapada. Jelas nir terdapat sepersekian detik kehidupan di mayapada andai celoteh dibandingkan kehidupan di akherat. Namun kehidupan yang sepersekian detik itu sangat menentukan nasib setelahnya. Karena hanya inilah kesempatan manusia buat mempersiapkan perjalanan panjang selanjutnya.
Ibarat perjalanan di padang pasir yang luas, mayapada adalah oasenya. Peluang merogoh air dibuka seluas-luasnya. Apakah manusia mau minum saja & kemudian bersenang bahagia atau minum lalu kemudian mengumpulkannya buat bekal nanti, itu sebuah pilihan & tentunya tiap pilihan memiliki pertanggung jawaban. Sementara hingga di sini dulu kisanak, ambil yang sekiranya terdapat fungsinya & buang sejauh mungkin yang reget. Nuwun.