Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Monggo pinarak atau monggo mampir ialah ungkapan spesial masyarakat pedesaan di Jawa. Ketika kita melewati rumah seseorang, & pemiliknya sedang berada di beranda atau halaman rumah, ungkapan itu lazim dilontarkan, baik kepada orang yang sudah dikenal juga kepada yang belum dikenal sekalipun.
Bisa jadi ungkapan tadi hanya sebuah ekpresi sapaan, basa-basi semata, atau ajakan yang sesungguhnya. Irama hidup yang ora grusa-grusu, ditambah budaya ewuh-pekewuh jikalau menolak tawaran orang lain, maka memakai bahagia hati, kita akan meluangkan waktu sejenak buat bertandang ke rumah orang itu.
Nuansa kehidupan tradisional Jawa yang agraris selalu mengutamakan keharmonisan komunitas. Adanya keakraban, kedekatan, rasa persaudaraan, & ikatan komunal serta semangat mengembangkan merupakan nilai primer yang dianut beserta. Nilai-nilai itu terus dijaga & dipelihara melalui sikap & konduite keseharian.
Ketika seseorang sudah bersedia mampir, baik itu hanya di halaman rumah, beranda, hingga masuk ke rumah; maka banyak sekali obrolan pun dimulai. Dari sekedar bertanya mau kemana & berdasarkan mana, aktivitas keseharian, kegiatan ekonomi, hingga perbincangan perkara politik.
Beda kaum lelaki, beda pula kaum wanita. Obrolan wanita biasanya lebih menyangkut aktivitas keseharian di rumah, hal-mengenai famili, hobi, belanja atau arisan, acara di televisi, hingga obrolan kontraproduktif mirip menggunjing tetangga. Tak sporadis pula, sambil mengobrol disertai aktivitas mirip petan (mencari kutu di ketua), atau kerokan.
Aktivitas pinarak ini, acapkali memancing orang lain yang lewat ikut mampir pula. Atau waktu tetangga melihat kita sedang kumpul-kumpul, mereka ikut bergabung juga. Biasanya ini terjadi waktu sore atau malam hari di perempatan jalan, gardu ronda, atau teras rumah warga. Mereka yang sedang beraktivitas di sawah pun, acapkali berkumpul di keliru satu gubuk buat sekedar melepas lelah atau mencari teman mengobrol.
Budaya di atas bukanlah sesuatu hal yang bisa dipercaya sepele, sudah biasa, atau kelaziman semata. Ada beberapa nilai atau manfaat yang bisa diperoleh baik secara langsung juga gerombolan. Pertama, membina kedekatan & keakraban. Ketika mereka sedang berkumpul & ngobrol ngalor-ngidul, akan tampaklah nuansa keakraban. Tidak hanya dekat secara jeda, mereka juga dekat secara hati. Mereka bisa tertawa lepas. Melepaskan atribut & status sosial yang disandangnya. Tak sporadis di antara mereka mengolok-olok satu sama lain memakai tujuan buat bercanda atau memperkuat kedekatan.
Kedua, menjaga kerukunan. Inilah kesadaran kolektif yang diyakini beserta. Bahwa hidup di desa haruslah rukun & tenang. Tanpa adanya permasalahan & perpecahan. Tenggang rasa, toleran, tepa selira, ialah beberapa sikap yang wajib terus dipelihara. Ada pepatah wong Jawa nggoning rasa, kepada gulange ning kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwono nahan hawa, kinemat mamoting driya.
Ketiga, manfaat ekonomis. Acara mampir tak sporadis membawa rejeki. Bisa jadi kita diminta yang si empunya rumah buat membantu pekerjaannya, atau mampu pesanan berdasarkan seseorang buat mencarikan tenaga. Atau ada tetangga yang ingin menjual sesuatu, kita menjadi pembelinya atau membantu menjualkannya. Selain itu, kepada acara kumpul mirip itu, kita disuguhi banyak sekali masakan atau minuman oleh si empunya rumah. Bahkan, waktu pergi kita masih diberi oleh-oleh.
Keempat, media belajar & sosialisasi. Kesempatan mampir acapkali juga dimanfaatkan buat sarana belajar. Terjadi proses memberi-mendapat, baik itu kabar, pengetahuan, pedagogi kepercayaan, tata-krama, dll. Bagi anak-anak bisa berfungsi menjadi media bersosialisasi. Atau jikalau ia perangkat desa bisa menjadi sarana buat menjaring aspirasi atau sosialisasi kegiatan pembangunan.
Kelima, resolusi permasalahan. Suasana kumpul yang akrab & ramah mampu menghilangkan banyak sekali prasangka, ketegangan, curiga, dendam, & semacamnya. Kebekuan hati bisa cair bila bertatap muka & ngobrol santai. Masalah-perkara yang terjadi antarpribadi atau yang menyangkut kepentingan orang banyak bisa dirembug dalam kumpul beserta.
Budaya mampir merupakan cerminan orang Jawa bagaimana menjalani & menikmati hidup. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang sudah diwarisi berdasarkan nenek-moyang semenjak lama. Bahkan, dalam pandangan spiritual Jawa, orang hidup di global ini hanya sebatas mampir minum (wong urip suwene mung koyo mampir ngombe). Nuwun.