Dunia Keris Selamat siang kerabat perkerisan, aku (Admin) perkerisan ini mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha 1437 H. Semoga dalam momentum yang mulia ini kita sekalian bisa mengambil teladan yang baik serta semakin baik lagi ke depannya. Aamiin.
Baik, tertentu saja dalam bahasan yang akan aku bagikan dalam kesempatan siang ini. tentu, bagi kerabat perkerisan penggemar tosan aji tidak asing dengan tombak legendaris dalam judul di atas. Iya, tombak Kyai Plered. Pada tulisan yang lalu secara singkat sudah aku ulas sedikit, tentang pusakan yang sangat diagungkan sang dinasti Mataram ini. Silahkan baca di sini Kisah Legenda Dua Tombak Paling Bertuah.
Seperti yang telah kita ketahui dengan, galat satu cerita menyebutkan, dari mula tombak Kanjeng Kyai Plered tercipta dari alat vital Syekh Maulana Maghribi yang ditarik sang seorang gadis bernama Rasawulan karena ketahuan mengintipnya.
Adipati Pragola yang lahir di Jambeyan serta kemudian berkedudukan sebagai Bupati di Pati, artinya putra Adipati Puger dari Demak, yang merupakan putera ke-3 Panembahan Senopati Mataram. Dia masih sedarah dengan Sultan Agung. Sayangnya, sewaktu Sultan Agung dinobatkan sebagai Raja di Mataram menggantikan Sinuhun Sedo Krapyak, Adipati Pragola melakukan pemberontakan. Dia menyatakan daerah Pati serta Pesisir Utara terlepas dari kekuasaan Mataram.
Sultan Agung tiba sendiri memimpin pasukannya untuk memadamkan pemberontakan di Pati ini. Kuat dugaan kalau dia tahu persis kalau Adipati Pragola ini sangat sakti. Salah satunya, dia tak mempan sang senjata tajam serta pusaka apapun, selain dengan pusaka sakti bernama Tombak Kanjeng Kyai Plered.
Memang benar. Dalam perang tanding tersebut, Sultan Agung berhasil membunuh Adipati Pragola dengan tombak Kanjeng Kyai Plered. Jasad sang Adipati kemudian dimakamkan di daerah tak bertuan di Solo. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Astana Pragola. Yang menarik serta aneh di Astana Pragola ini, konon setelah jasad Adipati Pragola dikuburkan, maka diatas makam sang Adipati selalu terdapat darah segar. Entah darah siapa, yang pasti darah itu masih basah serta baru. Hal ini berlangsung setidaknya sampai dimasa akhir perang Jepang.
Oleh Sultan Agung, prajurit yang ikut berjasa dalam memadamkan pemberontakan di Pati kemudian diberi tanda kehormatan yang disematkan dalam bilah keris miliknya masing-masing, yaitu berupa kinatah emas Gajah-Singo.
Gajah-Singo artinya nama galat satu hiasan kinatah emas yang ditempatkan dalam bagian bawah dari sebuah gagang keris. Penempatannya, antara bagian patung mini berbentuk gajah serta bagian singo dipisahkan olek peksi keris. Permukaan yang tidak tertutup sang badan gajah serta singa itu dihiasi pulabentuk ornamen hiasan lainnya.
Bentuk Gajah-Singo ini merupakanperlambang dari tahun didasarkan candra sengkala; Gajah melambangkan nomor 8, singo nomor 5, curiga (keris) nomor 5, dantunggal melambangkan nomor 1. Karena candra sengkala dibaca dari belakang, maka yang dimaksud artinya nomor tahun 1558 menurut kalender Jawa.
Walaupun penghargaan Gajah-Singo diberikan dalam zaman Sultan Agung, namun bukan berarti keris yang menggunakan kinatah Gajah-Singo sealu buatan Mataram.
Sementara itu, menurut kisahnya, dari mula tombak Kanjeng Kyai Plered tercipta dari seorang mubaligh bernama Syekh Maulana Maghribi yang berkelana di hutan, berhenti beristirahat di tepi sebuah danau mini. Ketika itu, seorang gadis bernama Rasawulan sedang mandi disitu. Syekh Maulana Maghribi lalu mengintipnya. Anehnya, tiba-tiba Rasawulan merasa dirinya hamil. Dia segera tahu kalau dirinya sedang diintip seseorang. Gadis itu marah sekali serta menghampiri sang Syekh, lalu menarik alat kelamin pria itu.
Namun keajaiban terjadi, ketika alat kelamin itu berada ditangan Rasawulan, tiba-tiba berubah sebagai sebilah tombak. Tombak itulaj yang kemudian diberi nama Kanjeng Kyai Plered.
Sementara itu, bayi yang dikandung Rasawulan, kelak ketika lahir diberi nama Raden Kidang Telangkas di Tarub. Tombaknya kemudian sebagai tombak pusaka keturunan Kidang Telangkas, yang turun temurun sebagai berikut : Getas Pendowo, Ki Ageng Nis, Ki Ageng Pamanahan, Sutawijaya, Sunan Sedo Krapyak, Sultan Agung, Sunan seda Tegalarum, Pangeran Puger (Prabu Amangkurat) do Kartosuro, Sri Sultan Hamengku Buwono I.
HB I mendapatkantombakini ketika terjadi huru hara Geger Pecinan di Kartosuro. Kanjeng Kyai Plered dibawa abdi dalem Suronatan (Resimen Tentara Keraton). Oleh Pangeran Mangkubumi, tombak itu diminta, karena tak diberikan, maka, terjadilah perebutan yang dimenangkan sang Pangeran Mangkubumi. Setelah geger pecinan selesai, tombak itu dikembalikan ke keraton.
Versi lain menyebutkan. Tombak Kanjeng Kyai Plered diberikan tertentu sang Amangkurat V dalam Pangeran Mangkubumi saat masih menjabat sebagai Pangeran Sepuh.
Sampai sekarang tombak ini sebagai pusaka nomor 1 di keraton Yogyakarta. hanya raja serta Pageran sepuh yang boleh menjamah pusaka ini.
Pusaka ini hanya dikeluarkan dalam upacara Grebeg Maulud tahun DAL. Saat jamasan, sesaji yang diberikan galat satu syarat pokoknya berupa kambing guling. Dalam babad, tombak ini pernah dipergunakan Sutowijoyo untuk menjebol perut Aryo Penangsang, pula sang Pangeran Puger dipakai untuk membunuh komandan pasukan VOC, Capten Tack. Sekian dulu semoga tulisan singkat ini terdapat manfaatnya. Matur nuwun.