Dunia Keris Selamat pagi kerabat perkerisan. Belum pagi bener pula, baru pukul 02.30 wib. Tiba-tiba saya jadi teringat peristiwa 8 tahun silam saat awal-awal memutuskan mengadu nasib di Jogja ini. Malam tadi saat menghadiri undangan berasal kolega yang sedang launching bukunya di keliru satu universitas preman di sini.
Ngobrolnya sebenarnya tidak berbobot sih, lha wong ngobrol tentang pesugihan. Sedikit bangga pula, penulis sekaliber dia sesekali masih ngeklik perkerisan. alasannya itulah dia mengajukan pertanyaan, seperti ini. Apa iya, praktik pesugihan di zaman sedigital ini masih ada? Jujur, menjawab pertanyaan ini sulit. Sulit dalam arti, menjawab ada, secara pribadi saya belum pernah menyaksikan praktik hal demikian. Saya jawab iya, saya pernah mendengar sendiri berasal orang yang mengaku melakukan praktik pesugihan. Sekedar diplomatis, saya jawab ada. Korupsi. Meski berbeda caranya, sama-sama sesat menurut saya.
Jalan pintas memang tidak sporadis di ambil seseorang demi mendapatkan materi secara instan. Tidak peduli jalan tersebut sesat yang pentung bisa menikmati hidup dengan kekayaan melimpah ruah. Dalam hal ini bukan korupsi lo ya. Pesugihan, menjadi keliru satu pilihan untuk mereguk kenikmatan duniawi yang sesunggunya sesaat.
Teringat 8 tahun kemudian, saat awal disini. Bisa dipastikan hampir disela waktu jeda pekerjaan saya selalu ke Kota Gede. Sederhana sebenarnya, alasannya di Kota Gede waktu itu ada teman yang sedang menulis sebuah novel epos. Disamping itu, Kota Gede artinya satu loka dimana saat saya belum mendapatkan kost waktu itu artinya hotel perdeo saya.
Hingga pada satu kesempatan, sewaktu saya ke sendang Seliran di samping komplek makam Panembahan Senopati, pendiri Mataram. Saya bertemu dengan bapak-bapak yang telah sepuh & berkenalan dengannya. Ia mengaku bernama Mbah Mardi berasal Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Merasa satu wilayah, kami cepat larut dalam keakraban.
Dalam kerentaannya, tampak tatap mata keletihan si Mbah Mardi ini. Meski saya bukan pembaca karakter yang baik, sorot matanya seakan menyiratkan di kedalaman lubuk hatinya menyimpan sebuah penyesalan yang amat dalam.
Sewaktu duduk pojokan Sendang Seliran sembari menikmati sebatang rokok, lelaki sepuh itu tahu-tahu telah duduk disamping saya. Ngangetke bener. Terlebih melihat dengan busana serba hitamnya, rambut & jenggot telah memutih & dalam gelap lagi.
"Nak Mas, sedang apa?"Tanya lelaki tua itu membuka pembicaraan.
"Ini, Mbah, ngrokok sambil melepas lelah!"Jawab saya sembari memperlihatkan rokok padanya.
Kami pun kemudian ngobol ala kadarnya. Tak disangka, akhirnya pembicaraan mengarah ke hal supranatural.
Awalnya, Mbah Mardi mengeluarkan sekeping mata uang antik yang boleh jadi amat langka. Seumur-umur saya belum pernah menyaksikan mata uang jenis seperti itu.
"Ini mata uang antik terbuat berasal emas. Diperkirakan sezaman dengan Kerajaan Majapahit!"Jelasnya seolah bisa membaca keheranan saya."Tahu keistimewaannya mata uang ini, Nak Mas?"Tanyanya pula sambil menatap saya dengan tajam.
"Ya, saya kira alasannya kekunoannya, Mbah!"Jawabku diplomatis.
Dia tersenyum, meski senyumnya terkesan amat hambar. Lalu, katanya,"Mata uang ini bukan sembarang mata uang, Nak Mas. Tapi mata uang yang bisa dipergunakan untuk menarik kekayaan dengan jalan mistik. Kau tahu, mata uang ini Bapak dapatkan berasal turun-temurun, semenjak nenek moyang keluargaku dahulu."
"Wah, kalau demikian koin itu mempunyai nilai yang amat bersejarah bagi Mbah Mardi," komentar saya, singkat.
"Begitulah, Nak Mas!" Tegasnya. Dengan nada lirih dia kemudian menambahkan,"Tapi koin ini pula menyimpan sejarah yang amat kelam & penuh dengan darah."
Magdeg! Seketika saya terbelalak mendengarnya."Bagaimana bisa seperti itu, Mbah?"Tanya bertanya-tanya, jiwa jurnalisnya spontan mengejar pernyataan selanjutnya.
Mbah Mardi kemudian menceritakan bahwa leluhurnya zaman dahulu sebenarnya masih berdarah biru. Akibat keruntuhan Majapahit menciptakan poly bangsawan lari berasal tembok istana & hidup terlunta-lunta, keliru satu bangsawan tersebut artinya nenek moyang Mbah Mardi. Kemiskinan menciptakan kehidupan mereka sangat berat setalah sebelumnya mereka hidup dalam suasana serba berkecukupan.
Di saat krisis agama, tiba bujukan setan kepada kakek moyang Mbah Mardi. Dia mendatangi seseorang penganut ilmu hitam, hingga akhirnya dia diberi sekeping mata uang. Kata sang penganut ilmu hitam, koin tersebut didapatnya berasal ahli saku baju penghamba ilmu hitam yang jadi musuhnya. Saat sang musuh tewas bersimbah darah hasil kalah adu kesaktian, maka koin tersebut diambilnya. Dan mata uang itu kemudian diberi nama Ndil.
Mata uang tersebut kemudian dipercaya sanggup menyedot kekayaan berasal alam mistik, tetapi harus ada tebusannya, berupa penumbalan insan setiap tahun sekali. Cara yang dipakai, relatif selama satu malam mengambil uang yang berlaku di zamannya, dengan dibumbui poly sekali sesaji. Ndil tersebut ditaruh di atas uang dimaksud.
Lalu dipagi buta, uang yang telah dirituali itu diletakkan di perempantan jalan, di bawah pohon, ataupun loka loka-loka strategis lainnya. Dia siap diumpankan. Nah, siapa saja yang mengambil uang ini, maka dia telah masuk dalam jebakan mistik setan Ndil. Dalam beberapa waktu orang yang mengambil uang jebakan ini akan sakit. Sesuai waktu yang ditentukan nyawanya akan melayang.
Praktek semacam inilah yang turun-temurun dilakukan oleh leluhur Mbah Mardi.
"Sebenarnya, Mbah punya maksud apa menerangkan mata uang Ndil itu pada saya?"Tanya saya selesainya larut dalam cerita yang dituturkan oleh lelaki sepuh ini.
"Kalau Nak Mas mau, mata uang Ndil ini akan saya wariskan pada sampeyan!"Kata Mbah Mardi sambil menatap saya lekat-lekat.
Saya tersenyum kecut, sambil dengan hati-hati berkata,"Astaghfirrullah! Sejak mini saya ini cuma ingin hidup sederhana & relatif saja. Nggak kepengin yang neko-neko. Apalagi mencari kekayaan dengan cara seperti itu. Lebih baik, larung saja mata uang setan itu, Mbah!"
"Saya pula galau, telah terlalu poly dosa yang saya perbuat. Makanya saya berziarah di sini untuk menenangkan batin saya, & gampang-mudahan mendapat petunjuk berasal Yang Maha Kuasa!"Jawab Mbah Mardi dengan sorot mata menerawang jauh.
"Itu jauh lebih baik, Mbah?"jawab saya diplomatis.
Lelaki sepuh itu kembali mengarahkan pandangannya kepadaku. Dengan bunyi agak parau dia bercerita lagi,"Saat berziarah di makam Ki Gede Pemanahan, saya mendapat bisikan mistik bahwa andai kata ada seseorang yang diberi mata uang Ndil tidak mau, dialah yang ditunjuk alam untuk melepaskan ikatan mistik saya dengan penunggu mistik Ndil ini. Dan saya rasa, Nak Mas-lah yang dimaksudkan."
Jujur saat itu saya tersenyum."Mbah Mardi ini ada-ada saja, apalah artinya bocah cilik seperti saya ini, Mbah!"
Dia memaksa menyerahkan mata uang Ndil-nya ke tangan saya. Dan saat berada di tangan saya, terasa sekali getaran magis pemberontakan yang sangat bertenaga. Bahkan keanehan mendadak terjadi. Ya, tiba-tiba pandangan mata saya berkembang menjadi gelap & pekat!
Anehnya lagi, dalam kegelapan itu muncul sesosok makhluk yang sangat mengerikan. Wujudnya berupa insan bersisik sepeti ular kehitaman, ketua naga & mata merah menyala. Sangat mengerikan. Sulit saya menggambarkannya dengan kalimat.
Makhluk itu mendesis-desis, & berkata,"Tak ada yang bisa memutus perjanjian mistik ini hingga akhir zaman!"
Dengan kepasrahan jiwa pada Sang Murbeng Ing Dumadi, saya serahkan jiwa & raga ini. Hanya kepada Tuhan-lah loka memohon & meminta pertolongan, & tidak ada satu kekuatanpun di alam ini yang sanggup menandingiNya.
Seketika saya teringat berasal ajaran alm. Kakek saya saat menghadapi situasi yang demikian. Kemudian saya membaca al Iklas 3 x & terakhir Kulhu Geni yang diajarkan alm. Kakek saya 4 x.
Aneh, kemudian terlihat lingkaran serupa piring berputar di ketua setan Ndil. Terlihat dia ketakutan & lama-lama dia termakan oleh pusaran cahaya, kemudian terbakar.
"Puji syukur kehadiratMu, Ya Gusti Ingkang Paring Pepadhang titah sa-wantah,"
Setelah tersadar berasal alam kegelapan itu, saya lihat Mbah Mardi pula tergeletak tidak sadarkan diri. Dari mulutnya mengeluarkan darah segar, meski tidak terlalu poly. Akhirnyanya lelaki tua itu tersadar selesainya saya mengoleskan sedikit minyak angin yang takpernah lupa saya bawa kemanapun di keningnya.
Mbah Mardi mengahturkan terima kasihnya pada saya. Mungkin, dia merasa bersyukur alasannya telah terlepas berasal perbudakan setan Ndil di hari tuanya.
Spontan saja, mata uang antik bertenaga setan itu akhirnya saya labuh di sendang Seliran, supaya selamanya terpendam diperut bumi. Dengan asa, semoga tidak ada orang yang menemukannya & membangkitkan kembali kekuatan setan yang bersemayam di dalamnya.
Akhir kata, berhati-hatilah bila kerabat perkerisan menemukan uang yang terjatuh di suatu loka, tetapi terkesan tidak wajar. Uang tersebut biasanya sengaja diletakkan di perempatan jalan, juga di loka-loka lainnya. Bisa jadi semacam ini adalah jebakan orang-orang yang nyupang atau para penghamba setan yang diistilah oleh rakyat Jawa menjadi Pesugihan Ndil. Semoga sekelumit cerita ini menambah wawasan buat kita sekalian, & sanggup mengambil hikmat setelahnya. Nuwun.