Kanjeng Sunan Kalijaga adalah Anak Tumenggung WilwaTikta di Majapahit, yang bernama Jaka Said, dulu ia sangat suka berjudi. Ia mengembara sampai, di Jepara. Kalau kalah ia merampok, menghadang orang yang berjalan di hutan Jati Sekar, timur laut Lasem. Sunan Bonang sedang lewat di hutan tadi, dicegat, hendak dirampok. Sunan Bonang berkata, “Kelak, kalau ada orang lewat di sini, memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah.” Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Sahid siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Sahid, Sunan Bonang menjadi empat. Raden Said sangat ketakutan, lalu bertobat berjanji mengakhiri perbuatan nistanya. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena taat kepada Sunan Bonang.
Setelah bertapa, Raden Sahid ke Cirebon. Di situ bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Lalu ia berganti nama Sunan Kalijaga. Lama-lama diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati, yang menguasai Cirebon, dikawinkan dengan adik putrinya. Adalah Maha Guru tanah Jawa, bernama Sunan Kalijaga, telah termashur ajarannya, diwariskan turun temurun, sejak jaman keemasan, kraton Demak Bintoro, selalu menyebarkan pengetahuan, ilmu asal muasal kehidupan, kesempurnaan dan keutamaan lahir batin, beserta para Wali Sanga. Sejarah para wali yang akan dikisahkan, ditulis dalam bentuk sembang dhandanggula. Hati terbuka hendak menyebarluaskan cerita yang patut diteladani yang ditulis dalam Kawi, yaitu riwayat hidup Sunan Kalijaga. Ketika masih nakal, dia diuji oleh Sunan Bonang.
Lokajaya mempunyai seorang putra yang ditinggal begitu saja bersama istrinya di Negeri Tuban. Ia keterlaluan nakalnya, berkelana di hutan siang malam. Ber-judi terus siang dan malam dengan mengajak para penjudi. Bila kalah, dia bersembunyi di rimba belantara dan perampok pekerjaannya. Apabila mendapat rampokan, dia pergi berjudi cempelik dan kartu. Seluruh kesenangannya dilakukan. Begitulah, kerjanya siang malam. Selain itu, juga makan apiun. Satu hari habis setahil. Wanita tetangga kanan kiri diganggunya. Bila para suami mengetahui perbuatannya, segera dibunuh. Tidak berpikir bahwa itu termasuk berhutang nyawa. Apabila dia kalah berjudi, ia menghadang orang di jalan untuk dirampok. Yang dirampok tidak hanya harta, orangnya pun dibunuh. Pada waktu malam, pekerjaannya membunuh dan mencuri; hartanya disikat.
baca juga:
9 Keris Pusaka Sakti Yang Melegenda di Indonesia
Bursa Keris Tosan Aji
Artikel Pengetahuan Tentang Ilmu Keris
Demikianlah perbuatannya setiap kalah dalam berjudi cempelik dan dada. Walaupun dia dihukum tapi tetap tidak berhenti, dibiarkan semakin menjadi. Sang ayah pusing, dia sangat marah melihat kelakuan putranya. “Kamu kurang ajar sekali. Mati pun saya tidak menyesal. Lebih baik kamu segera dicabut nyawanya, di dunia hanya membuat malu orang tua, sebelum lebih banyak dosamu”. Nakalnya telah sangat keterlaluan. Demikianlah, putra Adipati Tuban. Lokajaya lalu pergi berkelana. Ayah dan ibunya tidak dia pikirkan. Raden Lokajaya telah berhari-hari pergi berkelana mencuri tempat perjudian. Jurang dan gunung tidak tak terhitung, jauh terlunta-lunta. Suatu malam, botoh Lokajaya habis, malah hutang modal. Habis juga pakaian, kain yang dipakai, dan seluruh bekalnya ludes. Lalu, dia dikejar-kejar oleh lawannya. Dan telah tiga hari tiga malam dalam merampok, tidak mendapatkan apa-apa, membegal pun gagal total.
Dia bersembunyi di tengah rimba. Apabila ada orang yang lewat, dirampok dan dibunuh-nya. Kebetulan pada suatu hart di tengah hutan lebat dia terkejut melihat ada orang yang sedang berjalan. Hatinya senang, melihat gemerlapan pakaiannya. Lalu didekatilah Sunan Bonang untuk dirampoknya. Sunan Bonang mengetahui niatnya. Dia mengeluarkan kesaktiannya menjelma menjadi empat, lima Sunan Bonang asli. Seluruhnya sama rupanya. Mereka mengepung dan menghadang Lokajaya. Lokajaya cepat berlari hendak meloloskan diri. Tapi, kemana pun Lokajaya pergi dihadangnya. Lokajaya menuju ke barat, dikejamya. Ke timur dipukul. Ke selatan dipukul. Ke utara juga dijaga. Mati kutulah Lokajaya. Ia duduk lunglai lemah. Sunan Bonang mendekat, Lokajaya ketakutan lalu bertobat, ingat kepada Yang Widi. “Hamba berserah din kepada Paduka”. “Kamu betul-betul bertobat kepadaku?” “Ya, man, hamba meminta hidup, terserah tuan hamba menurut”. “Jangan pergi kamu. Tunggulah tongkat saya. Sama sekali kamu jangan pergi, bila saya belum da-tang”. Jawabnya, “Baik, tuan”. Sunan Bonang kemudian pulang ke desa tempat tinggalnya. Lokajaya ditinggal. Lokajaya menjalani perintah Sunan. Hingga setahun lamanya. Tidak ingat lagi tempatnya, telah sama sekali berubah. Pohon beringin telah rindang. Kiri kanannya menjadi semak-semak. Akar melilit di badan. Sunan Bonang ingat waktu dulu, tongkatnya tertinggal di hutan.
Tempat bertapa Lokajaya telah berubah menjadi baru. Sunan Bonang menyalakan api. Hutan itu segera dibakar, di mana tempat yang dilaluinya api membara. Lokajaya tidak bergerak dari tempatnya, hingga seluruh tubuhnya terbakar. Dia telah lama tidak makan dan tidak tidur. Dia didekati oleh Sunan. Lokajaya tidak mengetahui. Rupanya kesadarannya hilang. Segera Sunan Bonang membuat nasi hangat, kemudian diberikan kepadanya. Lokajaya segera sadar, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Lokajaya disuruh makan. Dia telah bersembah bakti kepada gurunya. Kesadarannya pulih kembali. Sunan Bonang berkata pelan, “Kamu kujuluki Syeh Malaya, karena sebelumnya kamu berkelana. Sedangkan syeh itu sebutan bagi orang yang dikasihi Allah, karena kamu telah mampu tidak makan dalam setahun, melebur dosa yang terdahulu”.
Jadi rampok sekian lama. Akhirnya mendapatkan petunjuk kebenaran, dengan menjalani tapa. Begitu khusyuk dalam bertapa. Sunan Bonang berkata, “Anaku tunggulah ini, ini namanya kayu gurda”. “Baik”. Segera dia menunggui. Setelah setahun lamanya menunggui kayu gurda, kemudian dia disuruh berkhalwat di tanam di tengah hutan. Setahun berkhalwat kemu-dian digali oleh Sunan Bonang. Dia lalu disuruh berpindah di Kalijaga, karena itu dia bergelar ‘Kalijaga’. Tidak boleh tidur dan makan setahun lamanya. Oleh Sunan Bonang ditinggal ke Mekah. Raden Lokajaya tidak pergi-pergi. Setelah genap setahun Seh Malaya ditengok. Dijumpai sedang khusyuk tafakur. Sunan Bonang berkata, “Sudahilah tapamu, gelar kamu waliyullah, penutup penata agama”. Perbaikilah agamamu, agama dan tata krama. Pedoman dari Allah SWT. Belajarlah syariat, agar mendapat hidayah iman. Hidayah itu dari Allah. Allah-lah yang memberi anugerah. Anugerah Allah memberi kekuatan, keluhuran, kekuasaan, kesaktian, dan keperwiraan. Seluruhnya tidak lain adalah anugerah luhur, sebaik-baik keutamaan. Yang penting, anaku, ingatlah kepada Yang Maha Kuasa, yang menguasai dzat-Nya sendiri, yang menguasai badan kita, tanpa kamu ketahui. Kamu ditakdirkan oleh-Nya, dan seluruh yang kamu miliki”. Berkata Sunan Kalijaga, “Hamba memohon dengan hor-mat, Paduka uraikan makna Sukma Luhur.
Hamba memohon kepada Paduka jelaskan sampai tuntas, dan apa yang disebut hidayah iman. Agar diri hamba mantap. Bagaimanakah sesungguhnya. Hamba mohon sampai jelas. Bila hanya berupa suara, hamba hanya mengikuti suara yang mendengung. Bila demikian ibarat asap. Tidak ada hasilnya berolah syariat”. Sunan Bonang berkata pelan, “Syeh Malaya, benar kamu. Tetapi menurut pendapatku yang disebut berterima kasih itu adalah mengingat kepada Allah. Sebab awal kejadian ini tidaklah seperti mendung. Ibarat hidayah yang jernih, warna iman hidayah, kelihatan dengan jelas. Seh Malaya ketahuilah, tidak dapat diduga dan tidak dapat kamu lihat dengan mata kepala. Saya ingin seperti kamu, mengetahui hidayah yang sejati. Sesungguhnya hidayah Allah aku belum mengetahui. Hanya berita yang kuyakini, karena itu firman Allah” Berkata Sunan Kalijaga, “Hamba memohon tentang hidayah yang sesungguhnya. Yang disebut sifat tanpa nama dan nama tanpa sifat. Hamba mohon petunjuk tempat kembali yang terakhir”. Sunan Bonang berkata pelan, “Bila kamu ingin runtas-kan, coati ragalah lagi, belajarlah dan kematian. Mumpung kamu masih hidup, bersemedilah ke hutan belantara. Jangan sampai ketahuan manusia”. Setelah selesai memberi wejang-an Sunan Bonang segera pergi dari Kalijaga. Arah lakunya ke timur laut. Kira-kira seperjalanan orang memikul, Seh Malaya berjalan mengikuti lalu masuk ke rimba belantara. Menjalani laku seperti kijang, menyatu dengan kijang dan rusa. Begitu pula bila tidur, ikut tidur di semak belukar. Seperti tidurnya kijang. Ke mana kijang pergi ikut, seperti turunan kijang. Apabila ada orang yang melihat, kijang berlari dengan cepat. Sunan Kalijaga ikut lari dengan cepat. Berlari melompat-lompat layaknya anak kijang. Terus tidak berpisah, mengikuti ke mana saja kijang pergi.
Setelah genap setahun, dan telah lebih dari janjinya, Seh Malaya dijenguk. Demikianlah, satu ketika Sunan Bonang berniat shalat ke Mekah, dalam sekejap mata telah sampai tujuannya. Setelah shalat kembali pulang. Ketika itu Sunan beristirahat di tengah hutan, melihat ada binatang berbentuk manusia yang sedang berlari. Sunan Bonang ingat bila ada wali yang yang bertapa kijang, namanya Syeh Malaya. Segera dia didekati. Seh Malaya berlari dengan kencang. Iarinya menabrak-nabrak, tidak memikirkan bukit dan jurang, dikejar tidak kena, dijaring tidak dapat. Bila terpegang lepas lagi, lepas dari jaringannya, meloncat. Marah sekali Sunan Bonang. Dalam hati dia meremehkan kijang itu. “Lebih baik saya memegang angin, saya pegang tidak akan lepas. Yang berbentuk malah lepas, tidak dapat ditangkap.
Apabila tidak dapat memegang dia, lebih baik tidak menjadi manusia. Entahlah pekerjaan wali yang membujang ini”. Sunan Bonang segera mulai membuat nasi. Tiga kepal telah jadi, dipakai untuk melempar. Sunan Bonang segera mulai menerobos hutan yang sunyi sepi. Demikianlah dia telah bertemu dengan yang sedang menjalani laku bagai kijang. Yang sedang berlari segera dilempar nasi genggaman, kena pada punggungnya. Seh Malaya lalu berhenti. Segera dilempar dua kali, kena lambungnya, terduduklah Seh Malaya. Setelah dilempar yang ketiga kalinya, Syeh Malaya sadar kemudian bersembah sujud. Menunduk bersimpuh mencium kaki. Berkata pelan Sang Yogi, “Hendaknya anakku mengetahui tentang sifat hidayah Allah. Hendaklah kamu , naik haji ke Mekah. Itulah yang lebih mulia. Ambilah air suci Zamzam di Ka’bah. Itu air yang jernih. Mohon restu kepada Nabi”. Syeh Malaya segera bersembah bakti, mencium kakinya.
Dia telah berpamitan segera berangkat. Sunan Bonang segera meneruskan perjaianannya ke desa Bonang yang sepi. Demikianlah perjalanan Seh Malaya yang mempu-nyai niat haji ke Mekah, menyimpang jalannya. Ada tiga burung sedang bermusyawarah. Seh Malaya menyaksikan, perkutut, puyuh dan ketiga pelatuk bawang. “Bagaimana badanmu kelak apakah dibawa kembali ke jaman akhir?”. Si perkutut menjawab, “Ya dibawa sekalian, kalau ditinggal selalu teringat, di dunia itu temannya sengsara atau mu-lia. Ditinggal di alam kabir disia-siakan, kesempurnaannya tidak terbawa. Demikianlah sikapku besok, kucuci sampai bersih, kemudian kusikat. Kubakar di perapian, setelah in saya guling-gulingkan menjadi sebesar lada, lalu saya telan. Disebiit warangka masuk pada kerisnya”. Puyuh menjawat tidak setuju, “Itu aneh. Badan halus membawa raga, past repot kacau memikirkan si badan. Badan halus pun belurr. dapat dipastikan. Sempuma seperti asalnya, memikirkar badan memang susah”. Kata burung pelatuk bawang, “Kaliar semua benar, benar menurut diri kalian sendiri, karena telah menjadi keyakinan masing-masing. Allah tidak menyuruh dan mencegah, terserah kepada kehendak pribadi sendiri.
Semua mendapat rahmat dari-Nya, bisa melihat udara terang, diberi kemampuan rnemilit dan menolak. Yang jelek halus kalian hindari, jangan ada yang melanggar. Dunia dan akhirat, neraka dan lagi surges Kahan adalah wali Allah. Teguhlah jangan ragu-ragu. Bagaimanakah cara memisahkan badan halus yang ada di dunia ini. Bila dikumpulkan akan menjadi syirik. Apabila itu dipisahkan sia-sialah laku prihatin0a. Berprihatinlah mum-pung kamu masih hidup. Sungguh, jangan sampai lupa. Se-belum sampai tertutup pintu tobat. Mumpung kamu masih hidup, itu adalah anugerah. Bila telah mati tak bisa sama sekali. Baik mana jasadmu itu nanti, musnah bersama-sama menjadi cahaya atau hilang menjadi air? T-71angriya itu nanti sudah lumrah diketahui orang. Juga nyawa, bila mati lewat mana keluamya? Apakah melalui telinga? Bila begitu, akan menjember seluruh. Bih lewat mata, pasti melotot mata itu. Bila keluar melalui hidung, akan berbau ingus. Apabila keluar lewat mulut, kotor sungguh, melalui ke-pala mustahil, melalui ubun-ubun, tentu berlubang kepalanya_ Baik bila kamu pelajari, bila tidak akan terlena. Tentang kematian itu banyak persoalannya. Mati atau kembah? Hilang atau musnah? Carilah jawabnya, apa itu mati, pulang atau apa, bagaimana sebenamya? Manusia henrinklah ingat empat hal, bumi, api, angin, dan air. Bumi menjadi tubuh, api menjadi darah, angin jadi nafas, air itu sesungguh-nya adalah air kehidupan. Seluruh itu hanya titipan, apabila mati kembalikan kepada yang menitipkan, yang paling awal.
jangan sampai lengah menjadi satu insan kamil. Bila sudah syah, nikmatnya bukan main. Ibarat campuran tembaga dengan emas. Tembaga dibasuh, bersih tidak berkarat, dicampur dengan emas. Wujud keduanya luluh menjadi satu namanya swasa. Setiap ahli mas telah .pasti dapat membuat swasa yang baik. Adakah yang pintar dapat memisahkan swasa kembali kepada asalnya dahulu, emas dan tembaga. Tidak bisa sembarang pandai emas memisahkan, kecuali manusia yang benar-benar ahli melebihi yang lain. Yang bisa mengumpulkan, tidak khawatir hidup mati serta mempunyai ketetapan hati. Bahagia dunia akhirat. Mari kita rasakan dengan seksama, mana yang salah dan yang benar”. Burung perkutut dan puyuh serius mendengarkan. Mereka tidak bisa menjawab. Terhadap anugerahnya mereka, bermaksud memahaminya. Pelatuk bawang pelan berkata, “Bila kamu ingin selamat, ikutilah aku. Itu jalan yang dapat ditem-puh”. Ketiga Wrung lalu musnah. Seh Malaya heran merenungkan tiga burung itu. Kok bisa mereka punya nasehat yang demikian. Aku ini manusia tidak punya harkat. Apakah lebih baik burung? Dia lalu berjalan lagi. Seh Malaya prihatin.
Menembus hutan naik gunung turun jurang, lereng-lereng dilalui, jurang ditempuh, tidak ada bahaya yang dipikirkan, telah sampai di tepi pantai. Buntu pikirannya. Kesulitan jalannya Terhalang oleh samudra yang sangat luas, tepinya tidak kelihatan. Dia berdiri diam saja di tepi samudra. Demikianlah perjalanan sang pengembara akhimya kasihan sekali. Tidak tahu akan ke mana. Seh Malaya prihatin. Ingin tahu hidayah tidak berarah. Rahasia ghaib mustahil ketemu bila tidak dengan anugerah yang sejati. Demikianlah Sunan Kalijaga yang berada di samudra telah bertemu dengan seperti orang berlenggang, benama Nabi Khidir, datang tiba-tiba. Berkata Nabi Khidir. “Seh Malaya, apa tujuanmu berada di sini? Apa yang kamu harapkan? Di sini tidak ada apa-apa. Tidak ada pakaian yang bagus, semua mengecewakan dan semua yang diharap tidak ada. “Bila ada dedaunan yang terjatuh di depanku, itulah yang kumakan. Bila itu tidak ada, tidak makan”. Sewaktu menjawab demikian, Syeh Malaya berpikir dalam hati. Sang Khidir tajam menusuk. Nabi Khidir segera berkata, “Cucu, di sini ini banyak mara bahaya. Bila tidak ingin mati, mengapa sampai datang di sini. Di tempat ini segalanya serba sepi. Membanggakan keperkasaan niatmu berarti tidak sayang bila kamu sampai mati. Di sini tidak ada apa-apa”. Heran Nabi Khidir, manusia ini tidak takut kematian. Pelan Seh Malaya berkata, “Terserah kepada Sang Yogi”. Sang biksu menjawab, “Kamu tergila nikmatt hidayah sejati tentang kesempurnaan hidup di dunia. Karema mengindahkan petunjuk guru kamu, Sunan Bonang memberi perintah kamu untuk naik haji ke Mekah.
Awalnya kamu bertapa, mencoba memperbaiki jalan hidupmu. Jangan pergi bila tidak tahu tujuannya, dan jangan memakai pakaian juga bila belum mengetahui wama pakaian yang akan kamu pakai. Jangan kamu bersembah bakti bila kamu belum tahu apa tujuannya. Untuk bisa tahu ahrus bertanya kepada sesama manusia dan meniru-niru kemudian melakukan. Demikianlah manusia hidup, seperti si bodoh turun gunung bermaksud membeli emas, oleh tukang emas diberi. Kertas emas kuning dianggap emas mulia. Demikianlah dalam bersembah bakti bila belum tahu tempat arah yang disembah”. Syeh Malaya sewaktu men-dengar sabda dad Nabi Khidir yang waskita itu menundukan badan. Sambil duduk bersila katanya, “Terserah kehendak Paduka, hamba juga tidak tahu bagaimana mengabdikan dirt Bagaikan hewan di hutan, betul-betul tidak tahu badan yang lebih. Lebih jelas celanya di dunia, sia-sia di dunia, andaikan hamba ini keris maka tanpa warangka, bila warangka tanpa keris”. Sang Nabi Khidir berkata manis.