Dunia Keris – Selamat tiba kerabat perkerisan. Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu hingga ke Mekkah kemudian pada-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda warga ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu waktu Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang sehabis diislamkan oleh Baginda Ali pada Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.
Sementara itu berdasarkan Babad Panjalu: berasal Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tadi kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka anugerahBaginda Ali itu hingga sekarang masih tersimpan pada Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan sehabis disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku pada Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul Awal).
Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh pada tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri berasal Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi waktu wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) pada Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) pada Kawali.
Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi pada wilayah-wilayah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya poly melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang berasal Gujarat, Persia dan Timur Tengah. Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji pada Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka mirip pula mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana beliau menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.
Sri Baduga Maharaja pula memindahkan ibokota Sunda berasal Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, akan tetapi salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172).
Akan akan tetapi hal itu nir bertahan lama alasannya adalah satu persatu wilayah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon. Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bareng puterinya Ratu Sunyalarang, pula menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam.
Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seseorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan alasannya adalah Kuningan menjadi bagian berasal Cirebon. Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang pada Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya berasal serbuan pasukan Cirebon, tapi alasannya adalah kekuatan yang nir seimbang maka beliau bareng puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu pada Galuh Cipta Permana (1595-1608) pula mau tidak mau wajib mengakui kekuasaan Cirebon dan akhirnya memeluk Islam dengan sukarela.
Demikian pula yang terjadi pada Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan insiden-insiden yang terjadi pada kerajaan-kerajaan tetangganya tadi, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu pula menjadi taklukan Cirebon dan mendapatkan penyebaran Islam.
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak pada sebelah timur dan Banten pada sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau).
Akibat insiden ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta semua anggota keluarganya menyelamatkan diri berasal kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda. Menurut asal sejarah Sumedang Larang, waktu insiden itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri berasal Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri berasal mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun 2 dan 3, dan perhiasan lainnya mirip benten, siger, tampekan, dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebesaran tadi kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601). Bersambung