Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Kisanak tidak salah dalam membaca judul. Sebelum saya lanjutkan, saya harap kisanak yang membaca artikel ini sudah berusia 18+, jikalau belum memenuhi kriteria 18+ ini, saya sarankan buat membaca artikel yang lainnya di perkerisan ini.
Baik, bicara tentang seks memang selalu manarik perhatian. Bahkan lebih menarik dari cuwitan gundah yang akhir-akhir ini ini memenuhi pemberitaan media. Namun kita harus akui, menjadi warga beserta tata cara ketimuran, seks artinya hal yang tabu buat diperbincangkan. Ya, kesan wagu (tabu) memang melekat beserta istilah seks ini.
Kita terkadang gamang buat berbicara tentang seks, apalagi sampai menulisnya secara lugas, gamblang dan terbuka. Kita khawatir dituding tidak tahu diri, atau sengaja menyebarluaskan pemahaman tentang seks, yang oleh sebagian warga dicermati menjadi sesuatu yang tabu.
Dalam banyak literasi, pengertian seks jikalau dibatasi alat kelamin semata, tentu sangat dangkal. Karena hal ini menafikan kenyataan-kenyataan fisiologis sebagaimana ditelanjangi dalam kitab-kitab ilmiah kedokteran. Pun sebaliknya, jikalau hanya diartikan menjadi persetubuhan saja, tentu pula naif, karena akan mengesampingkan realita cumbu rayu, ransangan-ragsangan kepada daerah erotis, mantra-mantra seksual dan cinta kasih.
Arti seks harus menyangkut semua hal di atas, bahkan harus mencakup tentang dari usul kehidupan dan ketuhanan. Inilah diantaranya pandangan Serat Centhini tentang seks yang saya pakai rujukan kepada tulisan kali ini. Lebih jauh tentang seks dan sakralitasnya kisanak bisa baca di Laku Seksual Magis
Serat Centhini bisa jadi artinya satu-satunya manuskrip kuno karya orisinal orang Indonesia yang secara gamblang menguraikan tentang banyak sekali aspek dan dimensi seks. Maka tidak berlebihan jikalau dikatakan bahwa Serat Centhini artinya manuskrip Kamasutra versi Jawa. Manuskrip ini mulai ditulis kepada Januari 1814 oleh tim pengarang Keraton Surakarta yang terdiri dari Adipati Anom Amengkunegara atau Paku Buwana V, Ki Ngabehi Rangga Sutrasna, Ki Ngabehi Yasadipura II dan Ki Ngabehi Sastradipura, kepada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820).
Ya,tidak berlebihan kiranya jikalau kita membincang perilaku sosial dan budaya Jawa, khususnya urusan seks, sepertinya tidak lengkap bila tidak menyimak Serat Centhini terlebih dulu. Di jamannya, Serat Centhini termasuk dalam karya tulisan yang berani dan mengungkap dilema secara gamblang dan apa adanya. Menariknya lagi, penulis atau penggubahnya artinya seorang bangsawan.
Para pemikir atau intelektual Jawa di jamannya dulu memang sudah menanam keyakinan bahwa seks merupakan salah satu bagian dari budaya kehidupan manusia. Seks artinya sesuatu yang logis dan alamiah. Sejak dulu pula, para pemikir Jawa sudah memandang dan beropini bahwa seks atau seni bercinta menjadi bagian dari harmoni kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Karena itulah banyak para pemikir atau intelektual Jawa di masa lalu yang menulis 'bermacam-macam pengetahuan dan dilema' tentang seks. Serat Centhini merupakan salah satu di antaranya. Kemudian pemberian pemahaman tentang seks pula terdapat di dalam Serat Gatoloco dan Serat Dharmogandhul.
Persoalan seks yang sangat pribadi pun diungkap secara terbuka, jelas benderan jikalau kita meminjam bahasa politisi jaman sekarang, dan tanpa basa-basi di dalam Serat Centhini. Hebatnya lagi, dilema seks yang diungkap tidak sebatas yang ada kepada kehidupan warga kecil atau rakyat jelata, tapi pula yang terjadi di lingkungan istana atau para bangsawan di keraton Jawa.
Dalam Serat Centhini masalah seksual menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal tanpa tedeng aling aling, paradoksal beserta etika sosial Jawa yang dikenal puritan dan ortodoks. Masalah seks dibicarakan dalam banyak sekali versi dan kasus, seperti, menyangkut pengertian, sifat, kedudukan, fungsi, etika dan tata cara bermain seks, dan gaya persetubuhan.
Seks pula dibicarakan dalam banyak varian lainnya, misalnya, korelasi seks beserta perkawinan, seks beserta kesetiaan suami-istri, seks beserta pengobatan, seks beserta pelecehan seksual, seks beserta pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, seks beserta dari usul kehidupan dan ilmu kasunyatan.
Seks menjadi ekspresi pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, dalam pandangan Jawa, berlaku agregrasi atau bentuk korelasi antara kecantikan perempuan beserta kewibawaan lelaki yang bersifat politis. Kecantikan pula dicermati menjadi lelangen, bahkan berlaku perkiraan, jikalau raja semakin banyak mempunyai istri yang elok, maka semakin meningkatlah derajat kewibawaannya.
Hal ini pula tersurat dalam Serat Cemporet karya R. Ngabehi Ranggawarsita, pujangga keraton Surakarta kepada masa pemerintahan Paku Buwana V sampai Paku Buwana IX, disebutkan bahwa bagi bangsawan luhur, perempuan merupakan lelangen (hiasan), tanpa memilih atau melihat-lihat dari mana dari usul silsilah keturunannya, asalkan perempuan itu mempunyai kecantikan yang hebat, ia akan mampu menambah kawibawan (kewibawaan) lelaki.
Aspek penampilan luar (fisik) yang bersifat genital kepada tubuh perempuan pula menjadi fokus perhatian yang lebih selain penampilan nonfisik. Hal seperti ini pula tampak kepada budaya katuranggan yang sedemikian nyata mengapresiasi wacana ketubuhan.
Budaya katuranggan, misalnya, bisa ditemukan dalam tradisi gemblak kepada kultur warok Ponoragan. Gemblak artinya lelaki yang berperilaku layaknya seorang wanita yang lemah gemulai (baca: transgender) dan menjadi patner sang warok dalam bercinta.
Adapun aspek nonfisik menjadi fokus perhatian, misalnya, dalam urusan memilih istri. Dalam pandangan Jawa, istri yang baik harus berwatak;
Sama, mempunyai welas asih kepada sesama;
Beda, mampu memilah apa yang lebih vital yang hendak dilakukan;
Dana, suka memberi kesenangan kepada sesama;
Dhendha, mampu menilai yang baik dan buruk atas dasar empan-empan (tempat, keadaan, situasi, dan kondisi);
Guna, mengerti wewenang dan kewajiban terhadap seluruh kegiatan yang bekerjasama beserta perempuan;
Busana, mengetahui dan menerapkan semua yang dimiliki berdasarkan maksud dan situasi;
Asana, bisa menata dan memelihara rumah agar tampak baik dan menyenangkan hati;
Sawandana, mampu menyelaraskan asa lahir dan batin, dalam meladeni suami seperti meladeni diri sendiri;
Saekapraya, mampu menyelaraskan asa diri sendiri beserta asa suaminya; dan
Sajiwa, mempunyai kesetiaan kepada suami seperti kesetiaan kepada dirinya sendiri. Terminologi lain yang pula dipergunakan ialah bobot, bibit dan bebet.
Pelajaran Seks dari Raja Jawa
Ajaran bercinta dalam pandangan Jawa meliputi;
Asmaranala atau sengseming nala, 2 insan yang bercinta hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang tumbuh dalam hati;
Asmaratura atau sengseming pandulu, 2 insan yang becinta hendaknya dilandasi oleh rasa saling ketertarikan kepada kecantikan dan ketampanan pasangannya;
Asmaraturida atau sengseming pamirengan, 2 insan yang bercinta hendaknya larut dalam sendagurau mesra;
Asamaradana atau sengseming pocapan, bahwa syair, puisi dan istilah-istilah indah -pujian terhadap kekasihnya- hendaknya dilantunkan oleh sepasang kekasih buat menumbuhkan cinta kasih agar semakin bergelora;
Asmaratantra atau sengseming pangarasan, bahwa ciuman merupakan mantik ereksi yang dahsyat, karenanya sepasang kekasih yang bercinta hendaknya menilik teknik-teknik berciuman;
Asmaragama atau sengseming salulut, bahwa puncak dari karonsih (bercinta) artinya salulut, yaitu masuknya penis kedalam vagina, buat itu perlu dipastikan kesiapan masing-masing agar mampu memberikan kenikmatan sempurna.
Dalam kitab klasik Jawa, unsur laki-laki dicermati menjadi upaya atau alat mencapai kebenaran yang agung. Sedang wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Oleh karenanya persetubuhan dipahami menjadi bakti seorang istri kepada suaminya, dan merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya.
Puncak ajaran dan penghayatan seks dalam tradisi Jawa, sebagaimana tersebut dalam Serat Centhini pupuh asmaradana, buat mengetahui dari usul kamanusiaan dan tujuan kesempurnaan hidup manusia.
Hal yang sama pula terdapat dalam Serat Gatholoco, bahwa seks merupakan penyatuan antara 2 oposisi yang sebenarnya artinya pasangan binernya, baik pasangan dalam mikrokosmos, makromosmos maupun metakosmos. Semua pasangan biner menyatu dalam satu kesatuan yang harmonis. Karenanya, yang laki-laki dan yang perempuan akhirnya harus melebur manjadi satu kesatuan. Inilah harmoni total.
Akhirnya, tidak bisa dipungkiri bahwa Serat Centhini artinya manuskrip Kamasutra versi Jawa, pula paling lengkap karena mengupas seks dari banyak sekali aspek dan dimesinya. Bahkan, tidak berlebihan jikalau kita katakan bahwa Serat Centhini merupakan pelajaran seks dari Raja Jawa. Nuwun