Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Dalam label atau kategori tulisan saya di perkerisan ini bertajuk Metafisika & barangkali hal ini juga yg melatari email dari seorang pembaca perkerisan ini menanyakan tentang metafisika itu sendiri. Ya, harus saya akui, meski saya memberi label metafisika dalam salah satu kategori tulisan di perkerisan in, akan tetapi tak sepatah pun saya membahas tentang metafisika itu sendiri.
Baik, tulisan ini merupakan serupa jawaban tentang pengertian metafisika secara umum saja alasannya bisa sangat panjang jika kita mengulasnya lebih mendetil. Sekarang yg kisanak perlukan merupakan, mencari tempat yg nyaman, siapkan ubo rampe yg diperlukan, semisal segelas kopi, the, rokok jika kisanak memang perokok, & tentu saja yg tidak boleh terlupa merupakan di sini merupakan kalem (santai). Nah, jika sudah mari kita lanjutkan.
Sebelum kita membincangnya lebih lanjut saya harap pemakluman dari kisanak semua buat segala kekurangannya. Setuju. Tulisan ini merupakan sekaligus jawaban dari email yg masuk di perkerisan yg menjadi inspirasi penulisan artikel ini secara spesifik & tentu saja buat kisanak juga pembaca setia perkerisan ini.
Membicang tentang metafisika tidak lepas dari induknya, yakni filsafat. Filsafat ini sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya. Ketika ilmu pengetahuan berusaha menjawab sisi praktis kehidupan, filsafat lebih dari pada itu & mengedepankan sisi fundamental kehidupan. Lantas apa yg dimaksud sisi fundamental kehidupan itu? Sisi fundamental disini maksudnya merupakan pondasi dari segala sesuatunya dari kehidupan itu sendiri, maka ini juga merupakan dasar dari segala realitas mayapada.
Hal ini kemudian oleh Heidegger disebut dengan metafisika, suatu realitas fundamental akan segala sesuatunya. Metafisika berasal dari kata meta yg berarti melampaui & ekamatra dari kata phusis yg berarti alam. Maka, metafisika memelajari tentang segala hal yg mendasari segala hal yg terdapat di dalam alam semesta. Realitas ini terdapat tanpa harus dipertanyakan, akan tetapi hal ini cenderung dilupakan padahal manusia seringkali mencapai batas-batas tertentu dalam kehidupan yg tidak bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui filsafat dengan memertanyakan apa yg sebenarnya terdapat di balik semua itu.
Metafisika bukan hanya sekedar mengetahui, akan tetapi juga memahami. Pengetahuan inderawi hanya mengetahui dari sisi fisik semata, akan tetapi metafisika berusaha memahami apa yg sebenarnya menjadi dasar dari segala hal. Metafisika menyiratkan bahwa segala hal yg terdapat di mayapada ini pada dasarnya merupakan tak berbentuk, bahwa itulah jawaban atas segala pertanyaan. Segala sesuatunya, senyata apapun, bila ia terus dipertanyakan, maka akan mencapai suatu batas yg tak terelakkan, yg mau tak mau mengarah pada pertanyaan asali. Maka tidak salah bila salah satu cara memahami metafisika merupakan melalui repetisi pertanyaan akan suatu realitas hingga pertanyaan itu berhenti & ia tidak lagi mendapatkan jawaban.
Pada titik ini, originalitas menemukan dirinya sendiri sebagai inti dari kebenaran realitas. Realitas ini tidak lagi parsial dengan hanya membatasi diri pada mayapada inderawi, akan tetapi merupakan universal yg mencakup semuanya. Universalitas ini sekaligus menyertakan ide bahwa pertanyaan asali itu merupakan pertanyaan sekaligus jawaban. Ia tidak lagi menjelaskan karakteristik-karakteristik yg lain melalui pengandaian alasannya ia sendiri merupakan pengandaian sekaligus kondisi atas dirinya sendiri. Ia terdapat dalam dirinya sendiri tanpa predikat apapun. Ia merupakan subjek dalam dirinya sendiri.
Heidegger menyiratkan bahwa metafisika merupakan pertanyaan pokok dalam filsafat. Pada titik inilah segala hal menemukan intinya yg tak terbantahkan dalam beings. Meskipun tak terbantahkan, akan tetapi hal ini juga berbeda dengan pikiran manusia yg mampu terbantahkan. Oleh alasannya itu, pemikiran manusia tentang metafisika bisa saja berbeda, akan tetapi hal ini tidak sekaligus mematahkan bahwa metafisika itu salah. Metafisika dibangun atas logika yg runut melalui penjernihan atas berbagai makna ganda yg muncul atas beings dalam kehidupan.
Ambiguitas itu muncul alasannya berbagai spekulasi yg tidak berdasar, terutama atas logika berpikir yg salah. Logika berpikir yg salah pun tidak selamanya salah, alasannya bila suatu logika itu dibangun kembali, maka akan merujuk pada aspek metafisika yg lain, maka itu bisa saja benar. Metafisika pada dasarnya bukan hanya sekedar imbas, akan tetapi juga proses berfilsafat menuju pada pelurusan atas ide-ide dalam kehidupan.
Hal di atas juga tidak lepas dari kiprah filsafat itu sendiri. Banyak orang mengabaikan filsafat alasannya ia merujuk pada suatu hal yg tidak terdapat; yg secara fisik tak terlihat akan tetapi permanen terdapat. Kebanyakan orang lalu terlalu banyak menuntut filsafat akan tetapi mereka pun tidak menggunakan logika yg benar. Apa yg bisa diraih di dalam filsafat pun masih kabur sampai hari ini. Ada yg mengatakan bahwa filsafat hanya berisi kritik tanpa solusi & terdapat pula yg mengatakan bahwa kritik itulah solusi dari filsafat.
Kedua persepsi itu hanya bertumpu pada imbas, sedangkan filsafat seperti bisa terlihat dalam metafisika merupakan prses berpikir. Heidegger menyebutnya sebagai thoughtful measurement dengan memandang pondasi berpikir atas sesuatu tanpa harus berangkat dari sesuatu itu dahulu. Ukuran yg dipakai tidak melulu kaku seperti dalam ilmu pengetahuan. Segalanya bersifat imparsial akan tetapi melampaui sesuatu itu sendiri. Dengan kata lain, metafisika memahami nilai intrinsik dari sesuatu daripada sekedar nilai entrinsik hal itu.
Sebagai contoh, beberapa orang menganggap kepemilikan uang merupakan segalanya dalam hidup. Filsafat tidak mendapatkan itu begitu saja. Ia mencoba buat mencari apa itu yg segalanya dalam hidup. Paham eudaimonisme mengatakan bahwa itu merupakan kebahagiaan. Apakah dengan kepemilikan uang maka orang akan bahagia? Belum tentu, alasannya itu hanya bersifat material. Kebahagiaan tidak mudah diterjemahkan begitu saja, maka uang pun bukan jawaban.
Lalu dimana metafisikanya? Hal ini terletak pada materi & non-materi. Bahwa mempunyai uang pun juga tidak salah alasannya manusia butuh buat memenuhi kebutuhannya, akan tetapi menyerahkan diri demi uang juga bisa menjerumuskan manusia. Kedua logika itu tidak salah alasannya keduanya logis. Maka, metafisika keduanya pun juga absah alasannya bersifat universal. Indikator yg dipakai merupakan terkait dengan diri manusia itu sendiri. Baik itu di luar diri manusia, toh itu berorientasi pada diri manusia.
Seperti sudah saya contohkan di atas, metafisika itu terdapat akan tetapi tidak terdapat. Ia terdapat alasannya terkandung secara universal dalam suatu hal akan tetapi tidak terlihat jelas dalam hal itu. Ia mempertanyakan hal yg tidak biasa.
Masih terkait uang, ilmu ekonomi berusaha mencari keuntungan sebesar-banyaknya dengan perjuangan yg minimal, akan tetapi apakah itu membawa keadilan bagi semua orang itu merupakan hal yg berbeda. Aspek keadilan inilah yg tak terlihat & melampaui sisi fisik uang tersebut. Bukan nominal uang yg dicari (emerging), tapi bagaimana itu bisa menjadi baik bagi yg lain (becoming). Maka hal ini juga menjelaskan bahwa metafisika bersfat melampaui pengetahuan. Ia memahami apa yg terdapat dibalik suatu hal dengan mendalami pondasi fundamental hal tersebut.
Heidegger menyebutnya sebagai trancendental horizon, bahwa metafisika berada pada suatu daerah yg melampaui sisi imanen fisik dalam suatu hal. Sisi imanen & transenden dalam suatu hal pada dasarnya sudah terdapat, akan tetapi manusia kebanyakan hanya melihat yg fisik saja. Maka pertanyaan-pertanyaan yg repetitif menuju pada hal yg fundamental perlu dimunculkan melalui filsafat. Manusia terlalu terikat pada yg fisik, maka ia sesungguhnya hanya perlu membangkitkan keinginan buat membiarkan kebenaran itu terjadi.
Metafisika juga memicu berbagai kemungkinan di dalam proses berpikir. Ia tidak mencari hal yg tidak terdapat, melainkan sudah terdapat di dalamnya. Hal yg sudah terdapat tersebut perlu dipikirkan di luar ruang & waktu manusia. Dengan demikian, nilai yg dimunculkan pun akan berbeda sepenuhnya dengan yg terlhat oleh indera manusia. Ia bersifat supratemporal yg membedakan antara necessary being & contingent beings. Di satu sisi, setiap hal pada dasarnya merupakan kontingen dengan keadaannya yg terikat ruang & waktu, tapi ketika itu hancur, terdapat hal yg permanen terdapat meskipun itu tidak terjangkau indera manusia.
Uang & kebahagiaan misalnya, manusia mempunyai uang bisa menuju pada kebahagiaan, akan tetapi tanpa uang pun kebahagiaan itu permanen terdapat & bisa diraih tanpa kepemilikan atas uang. Kebahagiaan lebih bersifat permanen alasannya ia tidak agak-material seperti uang. Ia bersifat rasional & universal & permanen terdapat meskipun tidak dipikirkan atau dimiliki secara fisik.
Bahwa orang miskin pun mempunyai hak yg sama dengan orang kaya di mata hukum alasannya hukum bukan terkait uang. Hukum lebih terkait pada aspek keadilan yg pasti yg terkandung dalam setiap diri manusia. Metafisika lebih memandang pada nilai dalam sesuatu yg membentuk hal itu daripada melihat pada sesuatu yg terkendung secara alami dalam hal tersebut.
Hal yg menarik dari bacaan Heidegger ini merupakan tentang pertanyaan why are there beings at all instead of nothing?(maaf saya pakai istilah londo). Dalam penjelasannya, Heidegger sendiri mengawali jawaban atas hal itu dengan mengeliminasi nothing & lebih menjawab pertanyaan yg afirmatif. Pada akhirnya, Heidegger lebih memilih buat meniadakan hal itu dengan mengatakan bahwa ketiadaan itu tidak logis adanya.
Memang demikian, bahwa manusia mempunyai keterbatasan buat hanya berpikir yg terdapat. Misalnya ketika manusia disuruh buat berpikir warna yg belum pernah ia lihat, ia tidak bisa. Hal ini sebenarnya pun tidak mengeliminasi ketiadaan itu. Bukankah manusia perlu berpikir kebalikannya buat suatu hal? Jika manusia berpikir warna merah, maka salah satu cara buat menunjukkan esensi warna merah merupakan meniadakannya. Jika ia ditiadakan, maka ia pun imajiner, toh ini pun juga merupakan metafisika.
Bagaimana manusia mampu memahami perdamaian jika ia sebelumnya belum pernah melihat perseteruan? Bukankah suatu hal yg negatif itu juga merupakan bentuk dari ketiadaan? Heidegger sendiri menjelaskan bahwa setiap hal mempunyai kemungkinan, lalu mengapa ketiadaan itu tidak mungkin? Ketiadaan bisa saja terdapat tanpa harus bertumpu pada suatu yg terdapat. Metafisika memang sangat sulit dibayangkan tanpa merujuk pada sisi yg fisik terlebih dahulu, akan tetapi metafisika itu sendiri merupakan imajiner.
Tentang Tuhan, tidak terdapat yg pernah melihat Tuhan, akan tetapi hal ini juga tidak sekaligus mematahkan ide bahwa manusia tidak membutuhkan sesuatu hal yg melampaui mereka. Bisa saja hal yg metafisik itu terdapat terlebih dulu daripada yg fisik. Munculnya agama itu merupakan alasannya postulat tentang Tuhan. Konsep akan Tuhan sudah terdapat terlebih dahulu & kemudian disusun ke dalam sistem kepercayaan beserta ritual & dogma menjadi agama.
Agama menuntun manusia kepada Tuhan, tapi agama tidak absolut menjadi kondisi pokok bagi manusia buat memahami Tuhan. Meskipun demikian, hal ini juga tidak menciptakan agama menjadi hal yg buruk buat diikuti. Hal itu menjadi buruk jikalau ia bertentangan dengan rasionalitas manusia. Bila ia mempunyai alasan yg logis, maka sisi metafisikanya pun akan terlihat & mampu dipahami. Selain itu, bukankah bila tidak terdapat kebenaran yg paling benar maka itu juga mengarah pada ketiadaan.
Metafisika bisa bermacam-macam & bisa saling kontradiktif. Maka metafisika pun tidak membawa manusia pada kebenaran umum alasannya suatu hal tidak selalu mampu diukur dengan yg lain. Metafisika sebenarnya juga menyiratkan relativitas kebenaran, bahwa yg benar hanya jika secara logis ia berada di jalan yg benar. Kebenaran pada akhirnya hanya perkara interpretasi & metafisika menyediakan jalan menuju ke sana.
Semua nilai yg terdapat pada dasarnya juga diinterpretasikan oleh manusia, terutama dalam koridor baik & buruk, & ketika seseorang ditanyai tentang apa itu kebaikan? maka jawabannya pun bersifat material. Benar bahwa pada dasarnya metafisika itu terdapat dalam suatu horison yg transenden akan tetapi hal itu juga tidak semata-mata yg pokok alasannya manusia juga bertumpu pada hal yg bersifat fisik. Maka metafisika pun merupakan terdapat & tidak terdapat; ia sendiri mengadakan dirinya sendiri meskipun secara fisik ia tidak terdapat alasannya ia diandaikan dalam pikiran menjadi terdapat. Sekian. Nuwun