Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Bukan lantaran malam ini bertepatan malam jumat, yg membuat aku teringat almarhumah emak. Meski belum menjadi anak yg baik, setiap ada kesempatan, khususnya malem Jumat aku selalu sempatkan buat kirim doa buat beliau. Sebagaimana sampeyan juga yg kebetulan ibunya sudah berpulang, aku yakin ada rekaman kenangan yg tidak akan terlupakan hingga kapanpun. Entah itu omelan, masakan, perhatiannya atau bahkan cerita-ceritanya. Lahumul fatikhaaah!
Hujan & kenangan. Kombinasi yg nyaris paripurna. Sepertinya kalimat barusan paling pas buat mendeskripsikan sisi melankolia seseorang. Saya kira suasana ini bukan hanya aku saja, mungkin sebagian berasal sampeyan mengalami suasana mirip ini.
Seperti halnya beberapa hari ini. Malam lebih tepatnya. Hujan selalu turun tanpa isyarat, biasanya hujun turun lamat-lamat berasal pukul sebelas hingga pukul tiga dini hari, aku termasuk paling suka dengan kejutan Tuhan yg satu ini. Datang tanpa mengetuk pintu lalu pergi tidak tampak punggung. Tapi hujan selalu datang dengan membawa aroma yg khas, aroma yg bersumber berasal tanah yg seharian dipapar surya. Aroma itulah yg mendamaikan yg sekaligus pengantar rekaman kenangan dibalik keharumannya yg khas itu.
Kedengarannya konyol memang, tapi itulah kenyataannya. Semenjak hujan yg nganeh-anehi setiap jam sebelas malam biasanya datang itu selalu aku tunggu. Kebetulan meja kerja aku membelakangi meja, jadi pas banget. Tinggal kursi diputer & akan lebih pas lagi kalau kaku diselonjorkan ke kusen ventilasi. Misal kopi habis, sengaja aku bikin kalau kebetulan orang tempat tinggal sudah tidur, tentu saja lengkap dengan rokok jangan hingga kehabisan. Karena jika ini terjadi akan mengurangi nilai yg nyaris paripurna itu tadi.
Nah ini, bener toh dia datang. Lho iya, aku menulis ini hujan barusan datang, meski telat tiga belas menit berasal biasanya. Heran bener aku. Komplit banget, giringan angin seakan menambah kenikmatan cecapan kopi & hisapan rokok malam ini. Sementara ini, hujan malam ini masih berirama sedang, tapi sudah cukup sanggup buat mengingat cerita berasal almarhumah emak ketika turun hujan mirip ini.
Ya, istilah emakku, konon ketika hujan turun sering kali ada saja orang yg nir sengaja melihat orang melintas dalam derai hujan, orang itu berpayung hitam, pakaian hitam & seluruh yg beliau kenakan serba hitam. Orang itu bukan mahluk biasa, tapi jin yg berubah menjadi menjadi manusia, beliau senantiasa menakut-nakuti orang yg sedang hujan-hujanan, kadang beliau berpura-pura menawarkan jasa buat berpayung bersamanya. Lalu selesainya orang itu terperangkap dalam bujuknya, orang itu melintas diantara lebatnya hujan, & tidak pernah hingga pada tujuan. Entah hilang kemana.
Pernah suatu waktu diakhir tahun 70-an, emakku & teman sebayanya yg terdiri berasal empat perempuan & seorang laki-laku baru saja pergi ngaji. Karena waktu itu belum ada listrik, emakku & beberapa temanya tadi hanya mengandalkan oncor (obor) buat menerangi perjalanan. Waktu itu jalanan masih belum beraspal & masih banyak pohon besar yg dibalut kain lawon. Ditengah jalan tiba-tiba hujan turun, nir ingin basah emakku & beberapa temanya berteduh dibawah salah satu pohon besar itu.
Tapi salah seorang teman emakku terpisah berasal rombongan, Markamah namanya, tapi biasa dipanggil Kamah saja. Terpisahnya sebenarnya nir terlalu jauh, hanya berjarak dua batang pohon saja. Bisa dibilang, Kamah ini diantara teman-temannya yg lain termasuk gadis yg pemberani meski agak pendiam. Beberapa waktu berlalu, hujan masih terus menggelayuti suasana pedesaan yg semakin berkecimpung malam. Sementara emakku & teman-temannya masih berdiri ditempat semula, termasuk Kamah yg masih berdiri mematung memandang hujan.
Hingga kemudian kehebohan itu terjadi. Bagaimana nir, Kamah yg tanpa sepatah katapun buat sekedar permisi menghilang berasal pohon rindang wilayah berteduhnya itu. salah seorang teman emakku, yg sekaligus sepupunya, Muntik sempat melihatnya pergi dengan orang yg memakai payung hitam, pakaian hitam, & serba hitam. Belum selesai Muntik meneruskan penglihatannya, seluruh tanpa komando tertentu berhamburan. Tidak peduli lagi dengan hujan, mereka menerjangnya & kembali ke tempat tinggal masing-masing. Karena mereka memahami bahwa yg membawa Kamah merupakan setan payung!
Sedikit beruntung, diantara temennya yg lain, tempat tinggal emakku, lebih tepatnya rumahnya simbah paling dekat. Bersebelahan dengan rumahnya Muntik. Begitu hingga tempat tinggal, tanpa uluk salam emak tertentu menerabas pintu yg hanya sekedar ditutup supaya nir tampias. Dari nafasnya yg tersenggal-senggal sanggup ditebak, mengagetkan seisi tempat tinggal. Masih dengan nafas tersenggal-senggal & paras piasnya yg kuyup itu kemudian emak menceritakan kejadian yg sesunggunya terjadi. Mereka, lebih tepatnya Mbah Nang & Mbah Dok & Pakdhe Mudi seluruh tercengang mendengar penuturan emak yg terlihat menggigil itu, entah karena kedinginan atau ketakutan.
Mbah Nang, yg kebetulan di tuakan di kampung kemudian ke tempat tinggal Kamah. Sebenarnya masih terbilang keluarga juga. Tidak sebegitu jauh juga, hanya berjarak beberapa tempat tinggal. Paklik Mu, begitu emakku memanggilnya. Mutahar nama lengkapnya, lelaki paruh baya yg kesehariannya sebagai mandor tebu. Meski wajahnya sangat gahar, Lik Mu begitu mendengar gosip hilangnya Kamah, anak sulungnya yg ditungkrup setan payung seketika langusng ambrug di depan Mbah Nang.
Pada malam itu juga, ditengah hujan masih menyisakan rinainya rakyat sekampung geger dengan hilangnya Kamah. Bahkan, ada beberapa rakyat yg saking cemasnya hingga menyembunyikan anak-anak mereka.
Kata Mbah Nang, setan payung itu hanya sanggup diusir dengan membaca ayat kursi, & tentunya juga nir keluyuran kalau malam menjelang kecuali kalau berani mengambil resiko sewaktu-waktu sanggup saja ketemu dengan setan payung dijalan & mengajak pergi. Setan payung itu pandi bertipu daya, sanggup berubah menjadi semaunya, sanggup berubah menjadi laki-laki sangat tampan, pun berubah menjadi perempuan yg jelita & sebagainya.
Setelah rakyat berkumpul, selesainya sebelumnya mengabarkan pada pamong desa, dalam hal ini Kebayan Jokas. Jokas merupakan nama panggilan, nama lengkapnya merupakan Kasmuji, sedangkan istilah Jo di depan namanya merupakan sematan nama baru buat lelaki yg sudah menikah. Namun nir selalu Jo sanggup saja Sumo atau Tro, ucapnya seluruh tergantung dengan postur badan. Kebayan Jokas selaku aparat desa yg mengurusi keamanan & ketertiban kemudian mengambil alih pencarian hilangnya Kamah.
Para rakyat sekalian, perlu kalian ketahui. Bahwa hilangnya Kamah merupakan peringatan buat kita, bahwa orang tua wajib pandai-pandai menjaga anaknya. Ini merupakan pelajaran berharga buat kita, juga pandai-pandailah menjaga diri, selalu berlindung kepada Gusti Allah taala. Karena setan payung sendiri nir hanya menungkrub anak-anak & orang dewasa, tapi juga seumuran kita masih jadi sasarannya. Oleh karena itu sebelum kita mencari eksistensi Kamah dengan membawa alat-alat yg berbunyi nyaring masing-masing, alangkah baiknya kita sama-sama mohon konservasi kepada Gusti Allah, supaya proses pencarian Kamah dimudahkan & sanggup ditemukan dengan keadaan masih bernyawa! Demikian intruksi Kebayan yg berpostur tinggi besar itu.
Pak Bayan, bagaimana kalau kita dibagi menjadi empat kelompok, biar lebih efektif, Pak? usul Pakdhe Mudi, kakaknya sulungnya emak.
Hmm, bagus.. bagus. Usul yg baik. Sementara ini, buat ibu-ibu & anak-anak cukup sampeyan dinantikan di tempat tinggal saja sambil menunggu gosip selanjutnya. Biar yg mencari Kamah yg laki-laki saja. Monggo bapak-bapak, buat tertentu membagi empat kelompok. Ibu-ibu & anak-anak silahkan tertentu kembali ke tempat tinggal! perintah Kebayan Jokas.
Pada jaman itu, tenggang rasa masih bertenaga diantara para rakyat. Meski dengan rasa kecewa, para ibu-ibu semuanya berangsur kembali kerumah masing-masing, termasuk Mbah Dok & emakku. Hanya Mbah Nang & Pakde Mudi yg ikut. Selanjutnya aku lupa penuturan emak, mirip cerita yg disingkat, dengan akhir cerita Kamah ditemukan di bawah pohon gayam dekat dam (bendungan). Kamah ditemukan dalam keadaan sehat.
Pohon gayam itu memang angker, istilah emakku.
Sudah tidak terhitung orang ditakut-takuti penghuni jahil pohon itu. Terutama para bapak-bapak yg kebetulan mendapatkan giliran mengairi sawahnya, dalam hal ini tentu saja wajib ke bendungan atau dam tadi buat membuka tangkisnya. Nah, pohon gayam tadi berada persis diujung jembatan. Di pohon gayam inilah seringkali terdengar suara cekikikan seorang perempuan. Tapi kadang juga orang tinggi besar item duduk mengangkangi jembatan yg tidak terlalu lebar itu. Kini, pohon gayam tadi sudah roboh beberapa tahun yg lalu.
Tak terasa hampir jam tiga pagi, nulisnya nyomba-nyambi, lebih banyak melamunkan kenangan kampung halaman & tentu saja paling khusus memutar kembali kenangan dengan almarhumah emak aku. Kopi masih tinggal satu sesapan, sekalian aku habiskan dulu sebagai pengantar sebatang lagi rokok. Hujan sudah sedikit reda, sempat keluar sejenak barusan. Tak ada genangan air, syukurlah. Kabut mulai berjingkat pelan ihwal pucuk pohon rambutan tetangga, tapi sudah cukup buat menghalangi pandangan.Ya, inilah hayati, penuh misteri. Tak sporadis diluar nalar & logika. Nuwun.