Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Siapa toh Mas, sejatinya diri kita sebagai manusia? Kalimat tanya pembuka tulisan ini artinya satu penggalan obrolan via mesenjer fb beserta teman aku malam tadi. Sepintas, pertanyaan ini sangat sederhana, bisa dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun lebih rumit & rinci. Debat kusir pun terjadi atau lebih tepatnya artinya diskusi panjang hingga dua jam yang kemudian menjadi inspirasi tulisan yang sedang sampeyan baca ini.
Mejawab pertanyaan sederhana kepada atas, tentu saja jawaban masing-masing orang nir bisa diukur secara betul-keliru. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan taraf pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan alasannya adalah berkenaan beserta eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh beserta rahasia besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra global. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu betul & pasti dalam mendefinisikan.
Tuhan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah seandainya diperbandingkan antara Tuhan beserta makhluk-Nya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti & memahami-Nya sekalipun hanya sedikit & kurang berarti, ketimbang nir sama sekali. Tulisan yang sekaligus jawaban ini tentu saja jauh dari kata paripurna, maka aku membuka pintu lebar-lebar ruang komentar dibawah tulisan ini buat koreksinya dari sampeyan semua.
Baik, kita mulai bahasan dari unsur pembentuk manusia itu sendiri.Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tersebut nir bisa dipisahkan, alasannya adalah keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya kepada antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni kepada satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan & kepada sisi lain keabadian.
Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya & energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut manfaatnya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial & material, metafisik & fisik, roh & jasad, rohani & jasmani, unsur Tuhan & unsur bumi (unsur mistik & unsur wadag). Nah, kini kita berkiprah buat menjelajahi satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.
Unsur Bumi
Jasad manusia wujudnya disusun sinkron unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air & tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) & rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus sintesis Tuhan). Unsur tanah & air yang sudah berproses akan berubah bentuk & wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni ; daging, tulang, sungsum & darah.
Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, kemudian bermetamorfosis molekul oksigen dalam darah & sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, tenaga magnetis, & semua tenaga yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah & air menjadi bahan baku jasad.
Jasad wadag dari kata barat sebagai body atau corpus, adalah wadah atau kemasan unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah nir bersifat langgeng (baqa), alasannya adalah unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka beliau terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.
Unsur Tuhan
Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi nir terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili sang metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh adalah afiksasi unsur Tuhan yang paling paling akhir & paling erat beserta bahan baku metafisik manusia. Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul kuddus), nir terkontaminasi sang polusi & kelemahan-kelemahan duniawi.
Karakter roh artinya berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda beserta entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim dikenal sebagai nyawa. Sekalipun berbeda kata, namun memiliki makna yang nyaris sama. Sekarang kita berkiprah buat mengurai pertemuan Unsur Bumi & Unsur Tuhan.
Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi & unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut masih terdapat bahan penyambung, dalam literatur barat dikenal sebagai soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, & dalam bahasa Indonesia; hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa adalah satu entitas yang kira-kira nir berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau lem perekat antara roh (spirit) beserta jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau kemasan).
Dalam khasanah hermeneutika & bahasa yang terdapat kepada nusantara tampak simpang siur & tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, & nyawa. Ini sekaligus indikasi bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang nir sederhana & semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat mistik, bukan obyek material. Cara pandang & penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif.
Dengan alasan tersebut akan aku paparkan lebih terperinci pemetaan wacana jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui poly sekali pengalaman obyek metafisika, & intuisi, agar lebih netral & gampang dipahami sang siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan estimasi tersebut dibutuhkan perspektif yang sederhana namun gampang dipahami. Dalam hal ini aku akan paparkan melalui perspektif kejawen, beserta cara penulisan yang sederhana & membumi.
Setiap bayi lahir memiliki taraf kesucian yang bisa diumpamakan sebagai kertas putih higienis. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yang masih higienis belum terkontaminasi sang polusi keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-pergikepada antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat kepada jasad (corpus) & kutub ruhaniyah yang berpusat kepada roh (spirit).
Unsur roh bersifat suci & nir tersentuh sang kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai utusan Tuhan dalam diri manusia yang bisa membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh bisa berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) nir lain artinya apa yang dikenal sebagai sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat buat hawa, jiwa atau nafs.
Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang dikenal sebagai nafsu positif meminjam kata Arab sebagai an-nafs al-muthmainah. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk kepada cita-cita jasad dikenal sebagai sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri 3 macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), & nafsu sufiyah (mengejar kenikmatan psikis; misalnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji).
Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan namun kedua sisi nir bisa dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal kepada sisi atas, sebaliknya seandainya kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka kepada bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam ketika yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya sinkron pengaku-akuan bohong.
Pada setiap bayi lahir, Tuhan sudah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan memilih apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber kepada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat kepada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan & memiliki konsekuensi (dosa/karma/denda) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa pula dirasakan sewaktu masih hidup kepada global.
Maka peranan semua agama yang terdapat kepada muka bumi artinya pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah. Sumber dari ilmu & rumus Tuhan (qodratullah) bisa kita temukan dalam perpustakaan atau gudang ilmu yang terdekat beserta diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).
Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang buat mendapat bocoran soal akan rahasia ilmu Tuhan melalui pintu hati (qalb) yang kepada sinari sang cahyo sejati (nurullah). Yang lazim dikenal sebagai sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, selebaran, sasmita mistik, inspirasi, wisik & sebagainya. Dalam posting ini kami nir membahas contoh & macam petunjuk Tuhan tersebut.
Penundukan roh terhadap hawa nafsu negatif artinya penundukkan terhadap segala yang berafiliasi beserta material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur Tuhan terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk kepada kareping rahsa / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), & meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif).
Segenap upaya yang mendukung proses penundukan unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa dikenal sebagai sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya nir dikendalikan sang cita-cita jasad. Maka kepada dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin adalah syarat utama yang wajib dilakukan seseorang menggapai strata spiritualitas sejati.
Seperti ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam kata Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki & sulit, alasannya adalah seseorang yang menjalani laku prihatin wajib membebaskan diri dari perbudakan syahwat & hawa nafsu yang negatif. Di mana beliau sebagai asal kenikmatan keduniawian.
Maka apa yang dikenal sebagai sebagai Jihad yang sesungguhnya artinya perang tanding kepada medan perang dalam kalbu antara tentara Muslim nafsu positif melawan tentara Amerika nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad seandainya seseorang sudah berhasil meledakkan bom kepada pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. Bahan peledaknya bernama laku prihatin & olah batin (wara & amr maruf nahi munkar).
Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target menciptakan hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut sudah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya dikenal sebagai sebagai swadharma. Roh yang berada kepada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh dikenal sebagai sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu & berhasil merebut (amr) kebaikan (maruf).
Jika hawa nir berdaya alasannya adalah kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai sang milisi kekuatan batin yang sang Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat kepada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) buat membangkang dari cita-cita ego agar agar membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia bisa dikendalikan sinkron beserta kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang permanen berada kepada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang, (buat meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.
Sangat terasa bahwa Tuhan betul-betul lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali bisa menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, alasannya adalah Tuhan sudah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan kepada dalam rahsa sejati (sirullah) & roh sejati (ruhullah). Sudah adalah rumus (Tuhan), seandainya seseorang bisa meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk kreasi Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar agar hawanya berkiblat kepada unsur bumi.
Sepanjang hidup manusia selalu berada kepada dalam arena peperangan Baratayudha/Brontoyudho (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung kepada medan perang yang bernama Padang Kurusetra (Kalbu). Peperangan yang paling berat & adalah sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang kepada jalan kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima diraih nir gampang. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif sudah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen mengajarkan poly sekali macam cara buat memenangkan peperangan besar tersebut.
Nah, kepada antaranya beserta laku prihatin buat meraih kemenangan melalui empat tahapan yang wajib dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada bunyi keliru instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong & Bonang yang menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.
Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun buat melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi buat membangkitkan kesadaran batin, & mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap & menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung beserta daya rasa- sejati yang menjadi asal cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta beserta rahsa akan membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan tewas raga kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang damai, khusuk, bagai kepada alam awang-uwung namun jiwa permanen terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita bisa menangkap sinyal mistik dari sukma sejati.
Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, kemudian berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih & pinilih) buat mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa kemudian ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, buat diolah sang jasad yang suci menjadi manifestasi konduite utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif & hidupnya selalu bermanfaat buat orang poly.
Nang; artinya menang; orang yang terpilih & pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng buat diri sendiri. Ini adalah buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya & meraih kehidupan sejati, kehidupan yang bisa memberi manfaat (rahmat) buat seluruh makhluk & alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, & selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Neng artinya syariatnya, Ning artinya tarekatnya, Nung artinya hakekatnya, Nang artinya makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut artinya kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu). Sekian dulu semoga terdapat manfaatnya. Nuwun.
Tatar Galuh, Pamarican, Ciamis, 23/06/2017