Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Pernah denger ndak satu pepatah yg membicarakan, dengan keyakinan kita bisa memindahkan gunung?
Seorang kolega dari Mojokerto, Jawa Timur, rekanan kerja pagi-pagi menelepon saya. Sedikit malas buat mengangkatnya, lha wong adzan subuh saja baru saja kelar. Ini bukan kali pertama, makanya saya tidak kaget. Sedikit malas saja, lantaran kebiasaanya hanya mengembangkan gosip. Tapi bukan gosip artis lho ya, biasa perihal politik. Maklum saja kolega saya ini artinya caleg yg gagal.
Dari seberang sana ternyata beliau tidak mengembangkan gosip misalnya yg sudah-sudah, namun memberikan mengajak saya ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kebetulan beliau muncul proyek kubah di sana. Namun akan transit dulu di Makassar barang satu atau dua hari sambil menunggu ekspedisi dari Surabaya. Kesempatan yg tidak saya sia-siakan, saya iyakan saja dan janjian ketemu di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, lantaran beliau berangkat dari Juanda sedang saya dari Adi Sutjipto Yogyakarta.
Nah, pepatah di atas secara tidak langsung berlaku dalam saya. Sedianya saya memang hendak ke Makassar terutama buat mengunjungi benteng Fort Rotterdam namun belum kesampaian, meski muncul teman sekampung yg bertempat tinggal di Makassar tak jarang mengundang saya. Yang sudah-sudah memang dalam satu bepergian memang kita hanya butuh sedikit keberanian, banyak nekadnya dan tentu saja uang yg agak. Cukup disini artinya juga agak. Tidak perlu glamor buat bisa mencicipi nikmatnya jalan-jalan, toh nyatanya wisata ala semi backpacker juga bisa kita nikmati juga.
Dan disinilah saya, Kota Makassar yg saya gadang-gadang selama ini. Kota utama di nusa Celebes yg paling maju baik perekonomian dan perkembangan industrinya. Seperti umumnya setiap orang yg mengunjungi satu tempat yg baru, rasa antusias mengalahkan segalanya. Tidak juga sumuknya kota Makassar mengurangi antusias tersebut.
Beruntung punya teman sekampung yg bersedia menjemput kami ke Bandara yg mencarikan tempat menginap. Barangkali teman saya melihat gaya terbelakang orang yg mengadu nasib di Yogyakarta pertama kali ke Makassar.
Membincang wisata Kota Makassar memang tidak bisa lepas dari ikonnya, Pantai Losari. Seperti yg sudah saya narasikan di atas, saya ke Makassar lebih tertarik akan bentengnya, dari dalam pantainya. Barangkali saya terlahir dan besar di pesisir jadi pantai dan bahari artinya pemandangan keseharian.
Masa kemudian, masa kini dan masa depan. Itulah linimasa ketika mengunjungi objek wisata sejarah. Ia muncul lantaran muncul. Keadaannya artinya lingkaran waktu yg beranjak dan berproses dari dulu hingga kini hingga masa depan. Berkelanjutan.
Siang sedang terik-teriknya, lantaran tidak hari libur suasana agak sepi di benteng yg masih berdiri kokoh di badan jalan kota Makassar ini. Seakan mengeluhkan kisah, merengkuh sejarah budaya kontemporer. Bangunan tegak nan kokoh memunggungi kota seakan membentuk malu menatap zaman yg mulai tergerus zaman globalisasi.
Menyebut ungkap benteng, saya yakin hal pertama yg melintas dibenak kita artinya suatu tempat pertahanan. Bahkan mungkin artinya satu tempat penyekapan orang yg membangkang akan pemerintahan kolonial bangsa penjajah. Atau mungkin juga satu situs sejarah peninggalan bangsa yg pernah menjajah negeri ini, yakni Portugis, Belanda, dan Jepang. Tidak muncul yg salah karenanya kenyataannya.
Siang itu hanya pengelola/petugas yg sibuk merawat bahkan membersihkan beberapa bangunan maupun benda-benda purbakala. Sesekali terdengar teriakan segerombolan bocah SD memecah sunyi di ujung jalan koridor yg dalam siang itu usai mengunjungi Museum La Galigo. Sebelumnya, di awal pintu masuk gerbang terlihat seorang lelaki dengan cekatannya membersihkan lumut menempel di dinding tembok. Baik, sebelum saya lanjutkan ihwal sejarah benteng Rotterdam m terlebih dahulu saya ajak kerabat perkerisan buat mengenal La Galigo. Tidak banyak yg tahu apabila La Galigo ini artinya nama orang. Bagaimana ceritanya, ayo
Benteng La Galigo
Tersebutkan kisah pemuda mencari ayah. Pemuda itu bernama La Galigo, pamit dalam ibunya, Iwe Chu Dai, di daratan Cina. Mengepit seekor ayam jantan, pemuda itu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan dan hingga di Makassar. Di tanah Bugis ini, La Galigo mendengar nama seorang lelaki, Saweri Gading, pemilik ayam jago yg tak terkalahkan. La Galigo menantang ayam Saweri Gading itu. Maklum saja ayam La Galigo ini di tanah lahirnya, Cina, tidak terkalahkan.
Serupa Timnas yg hendak bertanding, suporter (baca: warga) berbondong-bondong lengkap dengan tetabuhan buat menyaksikan perseteruan ayam dari Cina dan Bugis itu. Galibnya sebagai tuan tempat tinggal, mereka tidak hanya ingin tahu apakah ayam jago Saweri Gading masih unggul, lebih dari dalam itu mereka juga ingin tahu siapa gerangan pemuda dan ayam jagonya yg berani nglurug (menantang) menghadapi jagoan di negeri asal badik itu.
Mendebarkan, memang. Namun, sesudah sekian menit ayam saling cakar, saling taji, penonton dirancang spot jantung yg sekali waktu harus menarik napas panjang. Pasalnya, sungguh diluar dugaan, ayam milik Saweri Gading yg jagoan di tatar Bugis ini tiba-tiba ngacir ke pinggir gelanggang. Sementara ayam La Galigo tidak agak puas buat sekedar unggul, masih terus mengejar. Artinya, ayam Saweri Gading kalah sempurna. Tak ayal suportenya pun kecewa, tetabuhan pun tiba-tiba berhenti. Kecewa barang tentu.
Singkat cerita, kekalahan itu membentuk tuan tempat tinggal bertanya-tanya. Ia mengajak pemuda tak dikenal itu ke sebuah warung. Mereka saling membual soal ayam dan diri masing-masing. Nah, bak cerita Sangkuriang di tatar Sunda, terungkaplah bahwa La Galigo rupanya tak lain anak kandung Saweri Gading sendiri. Ayah dan anak itu pun berpelukan. Jangan bayangkan misalnya teletubies, tidak misalnya itu juga. Biasa saja berpelukannya.
Meski ayam mereka tak ikut berangkulan, legenda anak bertemu ayah lewat perseteruan ayam jago di zaman antah berantah itu telah menyemangati pecandu ayam aduan di Makassar hingga kini. Seperti halnya di Minangkabau dikenal sebutan "Ayam Kinantan", warga Sulawesi Selatan pun dijuluki "Ayam Jantan dari Timur". Dan, itu dipercaya sebagai simbol semangat juang orang Bugis yg tak kenal menyerah. Nah, kini balik lagi ke topik, yakni benteng.
Benteng Fort Rotterdam di Makassar ini meski namanya berbau londo (baca Belanda) namun siapa sangka bangunan ini bukan dibangun sang bangsa Belanda. Dari literasi yg saya dapatkan, ternyata benteng yg luasnya tak kurang dari tiga hektare ini kali pertama dibagun sang Imarigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumaparisi Kallona, raja Gowa ke X dalam abad XV atau lebih tepatnya dalam tahun 1545. Raja ini juga populer dengan nama Tunipallangga Ulaweng. Sebagian lain mengungkapkan bahwa Imarigau Daeng Bonto Karaeng LTK ini artinya raja Gowa ke IX.
Semula benteng yg di dirikan sang raja Gowa X memakai bahan baku utama tanah liat kemudian disempurnakan sang Sultan Alaudin raja Gowa XIV dengan mengganti memakai batu padas yg bersumber dari Pegunungan Karst yg muncul di tempat Maros. Fort Rotterdam adalah nama yg diberikan sang Laksamana Cornelis Speelman buat menggantikan nama benteng Ujungpandang sebelumnya. Alasannya sih, buat mengenang tempat kelahirannya.
Mengubah nama benteng ini membentuk dahi saya berkenyit. Segampang itukah alasan Speelman mengubah nama benteng Ujung Pandang?
Bika kompleks benteng itu ditinjau dari atas bentuknya mirip kura-kura yg hendak merangkak ke bahari. Barangkali lantaran itulah kemudian benteng ini juga kerap dianggap Benteng Pannyua. Atau tersembunyi alasan lain yg sifatnya politis dan ingin memperlihatkan "taring" kekuasaan di pusat perdagangan Indonesia Timur? Walah, semakin bertanya-tanya saja.
Tenyata, dahulunya benteng ini adalah markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Bisa jadi lantaran bentuknya ini jua sebagai semacam filosofi bahwa penyu mampu hidup di darat dan di bahari. Begitupan juga filosofi kerajaan Gowa yg berjaya di daratan maupun di samudera. Meski kemudian kerajaan Gowa harus takluk sang Hindia Belanda yg mangantarkan Sultan Hasanuddin meneken Perjanjian Bungayya dalam 18 November 1667.
Laksamana Cornelis Speelman juga menandatangani perjanjian ini mewakili Hindia Belanda. Walaupun dianggap perjanjian perdamaian, isi sebenarnya artinya deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) dan ratifikasi monopoli sang VOC buat perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar yg dulunya dikuasai kerajaan Gowa. Satu di antara isi perjanjian ini mewajibkan kerajaan Gowa buat menyerahkan Benteng Rotterdam kepada Belanda.
Selang beberapa waktu sesudah perjanjian Bungaya itu, Speelman yg lahir di Rotterdam dalam tiga Maret 1628, kemudian menetap di benteng ini. Beberapa bangunan bekas kerajaan Gowa yg muncul di dalam benteng ini, kala itu, dihancurkan Speelman. Ia kemudian menggantinya dengan bangunan berasitektur Belanda. Bangunan ini kemudian bertahan hingga kini.
Speelman artinya Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yg ke-14 dari 37 gubemur jenderal yg pernah ditugaskan Kerajaan Belanda mengelola kongsi dagang VOC (Verenigne Oosl Indische Compagnies) di Hindia Belanda. Speelman memerintah Hindia-Belanda antara tahun 1681-1684. Oleh Speelman dan para pelanjutnya, benteng ini kemudian dipergunakan Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Di benteng ini jua Pangeran Diponegoro pernah diasingkan dan dipenjara sebelum meninggal dan dimakamkan di Makassar.
Akhir ungkap dipenghujung tulisan ini, kesan saya terhadap benteng Ujung Pandang ini secara umum, unsur keotentikan benteng masih kelihatan. Namun, mata saya sedikit terganggu dengan eksistensi air conditioner (AC) yg inheren di hampir seluruh dinding bangunan. Saya juga sangat tidak putusan bulat dengan eksistensi museum La Galigo di benteng itu. Entahlah, dari saya tidak tepat saja. Begitu jua ruang seni dan beberapa elemen lainnya yg tidak nyambung dengan sejarah benteng. Sekian dulu dan hingga jumpa dalam tulisan selanjutnya. Nuwun.
Bumi Para Nata, Ngayogyokarto Hadiningrat 11117