Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Dalam postingan saya kemarin, Istilah Wali serta Sunan Adalah Warisan Tiongkok serta orang pertama yang mengkritik saya merupakan istri saya sendiri. Ya, dalam goresan pena yang saya rangkum dari berbagai asal tersebut memang wajib saya akui melawan patron yang selama ini kita pahami secara umum mengenai dari-usul Walisongo. Terlepas dari itu seluruh, goresan pena tersebut hanyalah pembanding dari apa yang kita pahami selama ini.
Baik, goresan pena kali inipun nir jauh dari goresan pena kemarin. Bisa dikatakan menjadi pelengkap dari goresan pena sebelumnya yang tautannya saya sertakan dalam awal pembuka goresan pena ini. Aika dalam goresan pena sebelumnya saya merogoh satu acum dari kata-kata atau padan kata mengenai Wali serta Sunan dari bahasa mandarin. Pada kesempatan ini saya ajak kerabat perkerisan sekalian buat menjelajah etimologis (cabang ilmu linguistik yang mengusut dari usul suatu kata) kata Sunan serta Walisongo.
Kita wajib akui, 2 kata yang saya sebutkan dalam atas bagi warga umum menjadi 2 kata atau lebih tepatnya kata yang kait-terkait. Sederhananya, 2 kata ini berkaitan satu sama lain. Berkaitan bareng 2 kata ini,nir sedikit yang beranggapan walisongo itu isinya para sunan, serta seorang sunan pastilah anggota walisongo. Opo iyo, begitu adanya?
Secara umum, kata Sunan merupakan sebuah gelar. Aika kisanak, bertanya-tanya coba ketikan kata sunan dalam KBBI online, dalam sana kita akan dapati 2 makna. Contohe kayak gini :Sebutan raja buat keraton Surakarta (Jawa). Penyebutan buat para wali : — kalijaga
Kata sunan dalam KBBI online ini punya satu lema turunan dalam bawahnya, yaitu kasunanan, artinya : n daerah sunan.
Baik, ayo kita berkecimpung buat menjelajah dari sisi etimologis kita. Namun sebelumnya, harap dimaklumi apabila terdapat kekurangannya alasannya adalah saya bukan ahli bahasa. Begini kisanak, dalam bahasa Indonesia terkini yang kita tuturkan saat ini, terdapat prosedur yang dianggap kontraksi. Lho iya, persis kayak kata perempuan yang melahirkan itu. Dalam jagad (baca khazanah) kata linguistik, kontraksi makna paling sederhananya kurang lebihnya merupakan suatu proses atau hasil pemendekan suatu kebahasaan. Beberapa contohnya seperti berikut adalah; nir menjadi tidak, dahulu menjadi dulu, serta sahaya menjadi saya.
Syahdan, kontraksi ini juga dikenal dalam bahasa-bahasa rumpun Austronesia lainnya, termasuk dalam bahasa Jawa serta Sunda. Misalnya, dalam bahasa Jawa, contohnya kata rah dari kata darah. Sementara dalam bahasa Sunda, saya menemukan model kata mengbal atau menbal buat menyebut permainan sepakbola.
Sama halnya bareng kata Sunan merupakan kontraksi dari kata susuhunan, kata dasarnya merupakan suhun apabila kita tinjau dari segi etimologis. Kata suhun ini masih bisa kita jumpai dalam bahasa Sunda serta Jawa terkini, artinya sama-sama dari 2 bahasa daerah tersebut, yakni dijunjung dalam atas kepala. Dalam konteks kemasyarakatan, susuhunan memiliki makna yang kurang lebih sama bareng junjungan.
Sebagaimana kita memahami, dalam akal paling sederhana menjunjung itu artinya juga menempatkan sesuatu dalam atas kepala kita. Dalam konteks ini, gelar Sunan merupakan gelar yang disandang oleh seseorang yang dipercaya vital dalam tengah warga. Istilah kekiniannya biasa dianggap Primus Interpares, bukan Primus yang seniman serta anggota dewan itu lho yaa.
Seorang Sunan biasanya merupakan pemimpin dari suatu komunitas (baik tata cara, politik, maupun agama). Gelar itu bisa beralih atau diwariskan. Para Raja Jawa terkini (Mataram serta Pascamataram) pun terdapat yang bergelar Sunan. Misalnya, Sunan Amangkurat (raja Mataram), serta Sunan Pakubuwono (raja Surakarta).
Pada narasi dalam atas, sampeyan bisa jadi terpikir bahwa sunan-sunan lain pun bisa demikian. Atau dalam kata lain terdapat lebih dari satu orang yang menyandang gelar Sunan Kalijaga, contohnya? Jawabannya bisa. Tapi tentu jawabannya bukan Sunan Kalijaga yang seorang advokat para seniman itu. Lha wong nama aslinya Muhammad Nur Sunan, kurang memahami bagaimana muasalnya menjadi Sunan Kalijaga.
Contoh dari jawaban dalam atas bisa kita dapati dari keberadaan padepokan Giri Kedaton. Dalam sejarahnya Giri Kedaton merupakan sebuah otoritas keagamaan Islam yang menjadi acum seluruh kerajaan serta pesantren Nusantara selama tidak kurang dari 2 ratus tahun atau 2 abad (abad 14-15). Giri Kedaton ini didirikan serta pimpin oleh Syekh Ainul Yaqin yang kemudian kita lebih mengenalnya Sunan Giri yang artinya orang yang dalam-suhun dalam Giri (Kedaton).
Nah, saat Syekh Ainul Yaqin ini wafat, kedudukannya menjadi pemimpin Giri Kedhaton digantikan oleh putranya, yakni Raden Dalem. Kemudian dalam sejarah dianggap Sunan Giri II. Selanjutnya, dari Sunan Giri II beralih dari generasi ke genearasi hingga Giri Kedaton akhirnya hancur dari lintasan sejarah alasannya adalah berbagai intrin Belanda. Nah, para Sunan yang serupa Sunan Giri ini (otoritas agama dalam beberapa loka) diyakini tergabung dalam sebuah grup yang dianggap menjadi Walisongo.
Baik, kini kita membincang Walisongo. Umumnya, kita lebih sering memahami bahwa Walisongo berarti sembilan wali, serta orangnya hanya sembilan orang itu saja. Lain nir. Dalam pelajaran sejarah yang kita pelajari saat SD hingga strata dalam atasnya, Walisongo hanya kita pahami atau didefinisikan menjadi grup sembilan wali yang terdiri atas ;
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
Syekh Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel),
Syekh Ainul Yakin (Sunan Giri),
Maulana Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang),
Qasim Syaifudin (Sunan Dradjad),
Raden Joko Said (Sunan Kalijaga),
Syaikh Jaffar Shaddiq (Sunan Kudus),
Maulana Ishak (Sunan Muria), serta
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Setidaknya inilah yang dipahamkan kepada kita dalam prosedur pendidikan formal tersebut. Faktanya, kata Walisongo itu sebenarnya masih menjadi kontroversi dalam ranah Sejarah (murni) maupun Linguistik Historis. Tidak terdapat dokumen resmi (tertulis) yang bisa dijadikan acum yang relevan mengenai apakah definisi dari Walisongo itu sesungguhnya.
Kita wajib akui Walisongo sejak dulu hingga kini selalu menjadi sentra perbincangan baik secara mitos maupun secara ilmiah, nir henti hentinya dari masa kemudian hingga kini, tema mengenai para ulama ini selalu hangat buat diangkat. Istilah Walisongo serta definisinya menjadi sembilan wali baru muncul serta dikemukakan dalam abad 19 oleh Pujangga Jawa, Ronggowarsito. Sementara para Sunan yang sering dianggap-sebut menjadi Walisongo yang saya sebut dalam atas hanya hidup hingga maksimal Abad 16.
Aanehnya, terdapat lebih dari sembilan orang yang dianggap-sebut menjadi anggota Walisongo. Ini sebenarnya tanda definisi Walisongo menjadi sembilan wali nir terlalu kuat. Faktanya, dalam zaman para Sunan itu hidup nir terdapat kata Walisongo. Satu-satunya kaitan bareng kata Walisongo merupakan sebuah kitab berjudul Serat Walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II. Serat Walisana, bukan Serat Walisongo.
Awalnya, ini lumayan membingungkan saya. Selain sembilan wali pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Jadi Walisongo artinya Wali yang Mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti loka. Jadi Walisongo artinya Wali loka.
Sebagaimana kita ketahui, Islam lahir dalam Abad 7. Sejak kelahirannya, Islam cepat sekali berkembang alasannya adalah banyak faktor. Selain jihad serta dakwah, perdagangan memegang peran vital.
Banyak orang yang meyakini bahwa Islam baru masuk ke Nusantara ini dalam abad 14, bisa jadi saya merupakan satu diantara sekian orang yang tidak sama bareng keyakinan mainstream tersebut. Fakta tanda bahwa jauh sebelum itu sudah banyak komunitas Islam dalam Nusantara. Satu dalam antara sekian bukti yang menguatkan hipotesa ini merupakan adanya makam Fatimah binti Maimun dalam Leran, Gresik. Di makam tersebut titimangsanya tanda abad 12.
Selengkapnya bisa kisanak baca dalam Fatimah binti Maimun, Wanita Terkaya dalam Gresik Tempo Dulu
Kemudian Kronik Cina menyebut bahwa dalam Abad ke 7, sudah terdapat perkampungan Arab dalam Barus, Sumatera Utara. Jadi, penyebaran Islam dalam Pulau Jawa sebenarnya telah terjadi eksklusif sejak Rasulullah masih hidup, bareng dengan alur perdagangan internasional yang telah terdapat jauh sejak masa Sebelum Masehi serta terus berlangsung hingga abad 14.
Namun sepanjang tujuh abad tersebut, perkembangan Islam dalam Jawa tetap stagnan. Secara kuantitas pemeluk Islam kalah bareng jumlah pemeluk agama lama yang telah terdapat sebelumnya, dalam hal ini Hindu serta Budha. Nah, kondisi ini ditinjau oleh para pedagang Islam dari berbagai negeri yang hili-mudik ke Pulau Jawa.
Lebih lanjut, dalam kitab Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam mengislamkan tanah Jawa, karya Prof. Dr. Hasanu Simon, dinukil beberapa kutipan dari kitab Kanzul Ulum yang ditulis Ibnu Bathuthah. Kitab ini masih tersimpan apik dalam museum Istana Topkapi dalam Istambul, Turki.
Berdasarkan catatan Kanzul Ulum tersebut, alasannya adalah prihatin bareng dakwah yang stagnan itu, sekelompok pedagang Muslim dari Gujarat (sebuah loka dalam India selatan) menemui Sultan Muhammad I. Muhammad I atau Mehmet I ini dikenal bareng nama Muhammad Chalabi (Muhammad the Restorer) dalam Barat, beliau merupakan Sultan Ottoman yang naik tahta menggantikan ayahnya, Bayazid. Kelompok pedagang Muslim dari Gujarat itu kemudian menceritakan keadaan Pulau Jawa kepada Sultan Muhammad I. Muhammad I merasa tertantang setelah mendengar penjelasan para pedagang itu. Ia ingin memperluas kekuatan politiknya hingga ke Jawa.
Pada zaman tersebut, Imperium Ottoman sedang mencoba memperkuat eksistensinya serta menjamin posisi menjadi pemimpin dunia Islam (khalifah). Apalagi, Muhammad I juga mendapatkan laporan bahwa keadaan politik dalam Pulau Jawa saat itu sedang nir stabil akibat Perang Paregreg, perebutan posisi Raja Majapahit antara Wikramawardhana serta Suhita.
Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I kemudian mengirim surat kepada para Amir (gubernur) dalam Afrika Utara serta Timur Tengah, isinya meminta supaya mereka, masing-masing, mengirim seorang ulama yang memiliki karomah. Definisi karomah dalam sini merupakan kelebihan yang diberikan Allah kepada orang saleh seperti ulama atau wali. Seringkali orang salah menafsirkan karomah serta hanya memandangnya dalam konteks mistik, seolah kelebihan itu setara bareng karamah nabi. Padahal ilmu (pengetahuan) yang tinggi pun sesungguhnya bisa dipercaya menjadi karomah.
Dari surat-menyurat itu, ternyata hanya sembilan Gubernur yang bisa memenuhi permintaan Muhammad I. Muhammad I kemudian memilih sembilan orang yang paling linuwih dalam antara seluruh kandidat. Akhirnya, Muhammad I menciptakan sebuah tim yang beranggotakan sembilan orang tersebut. Sembilan orang itu dipilih serta disyaratkan memiliki kemampuan dalam berbagai bidang, nir hanya bidang ilmu agama saja, akan akan tetapi juga bidang-bidang lain seperti kemasyarakatan, pertanian, astronomi, serta bangunan.
Maka dalam tahun 1404, tim tersebut diberangkatkan ke Pulau Jawa. Delegasi dakwah Ottoman yang akan ekspansi syiar dalam Pulau Jawa tersebut dalam pandegani (kepala) oleh Maulana Malik Ibrahim, beranggotakan:
Maulana Malik Ibrahim, dari Turki, ahli tatanegara.
Maulana Ishaq, dari Samarkand, Uzbekistan, ahli pengobatan.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
Maulana Muhammad Al Maghrabi, berasal dari Maroko.
Maulana Malik Israil, dari Turki, ahli kemasyarakatan.
Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
Maulana Hasanudin, dari Palestina.
Maulana Aliyudin, dari Palestina.
Syekh Subakir, dari Persia, ahli rukyah.
Setiba dalam Pulau Jawa, kesembilan orang anggota tim itu setuju buat berpencar dari arah mata angin. Delapan orang berpencar dari arah mata angin, sementara satu yang tersisa membisu dalam tengah pulau. Filosofi dakwah dari mata angin ini kemudian terabadikan dalam ungkapan idiomatik Jawa bareng kata keblat papat limo pancer.
Dalam perkembangan selanjutnya, tim ini bersifat fix. Setiap kali satu anggota tim ini meninggal, maka satu anggota lain akan masuk menggantikan, menjadi akibatnya jumlahnya tetap sembilan orang. Masing-masing dari mereka, kemudian menjadi semacam pengasuh buat daerah dakwahnya. Kemungkinan, dari sinilah kata Wali muncul ingat kata Wali Nangroe dalam Aceh, wali berarti wakil, dalam hal ini orang yang mewakili suatu daerah (kewalian).
Dalam catatan Prof. Hasanu Simon, inilah formasi tim sembilan wali ini, selepas generasi pertama yang tiba tahun 1404.
Periode kedua, tahun 1435 1463 M, setelah wafatnya Maulana Malik Ibrahim terdiri atas:
Bong Swi Hoo (Sunan Ampel), berdarah Hui, Cina, namun lahir dalam Campa (Kamboja), menggantikan Maulana Malik Ibrahim
Maulana Ishaq
Maulana Ahmad Jumadil Kubro
Maulana Muhammad Al-Maghrabi
Syekh Jafar Shadiq (Sunan Kudus), dari Palestina, menggantikan Maulana Malik Israil tahun 1435
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dari Palestina, menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar
Maulana Hasanuddin
Maulana Aliyuddin
Syekh Subakir
Tim Wali Periode Ketiga, 1463 1466 M, terdiri atas
Sunan Ampel
Syekh Ainul Yaqin (Sunan Giri), menggantikan Maulana Ishaq (ayahnya)
Maulana Ahmad Jumadil Kubro
Maulana Muhammad Al-Maghrabi
Sunan Kudus
Sunan Gunung Jati
Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), ialah putra Sunan Ampel, lahir dalam Surabaya, menggantikan Maulana Hasanuddin
Qasim Syarifuddin (Sunan Drajat), ialah putra Sunan Ampel, lahir dalam Surabaya, menggantikan Maulana Aliyyuddin
Raden Syahid (Sunan Kalijaga), dari Tuban, menggantikan Syaikh Subakir yang kembali ke Persia. Beliau ialah orang jawa asli pertama yang bergabung dalam tim ini.
Tim Wali Periode Keempat, 1466 1513 M, terdiri atas:
Sunan Ampel
Sunan Giri
Raden Fattah, Putra Raja Brawijaya V dari Majapahit, menggantikan Maulana Ahmad Jumadil qubra. Di kemudian hari, beliau didorong para wali yang lain buat merogoh alih kepemimpinan Majapahit dari ayahnya, hingga melahirkan Kerajaan Islam pertama dalam Jawa: Demak.
Fathullah Khan, dari Gujarat, menggantikan Maulana Muhammad Al-Maghrabi. Beliau merupakan menantu Sunan Gunung Jati, dalam kemudian hari menjadi sangat populer dalam kalangan orang Portugis yang menyebut namanya Falatehan. Beliau juga dikenal bareng nama Fatahillah.
Sunan Kudus
Sunan Gunung Jati
Sunan Bonang
Sunan Drajat
Sunan Kalijaga
Tim Wali Periode Kelima, 1513 1533 M, terdiri atas
Syaikh Siti Jenar, dari Persia, Iran, menggantikan Sunan Ampel. Di kemudian hari, orang ini menjadi sangat populer alasannya adalah filsafatnya mengenai makrifat serta hakikat. Sekaligus pemicu intrik besar pertama dalam antara para wali.
Raden Faqih (Sunan Ampel II) menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri
Raden Fattah
Fathullah Khan (Falatehan)
Sunan Kudus
Sunan Gunung Jati
Sunan Bonang
Sunan Drajat
Umar Syahid (Sunan Muria), dari Muria, menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga.
Tim Wali Periode Keenam, 1479 M, terdiri atas
Syaikh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu), dari Sedayu, menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar yang dihukum mangkat alasannya adalah filsafatnya yang nyleneh.
Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Ampel II.
Sultan Trenggana, menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah.
Fathullah Khan (Falatehan).
Sayyid Amir Hasan, menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati.
Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), dari Lamongan, menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang.
Musa bin Qasim (Sunan Pakuan), dari Surabaya, menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Drajat.
Sunan Muria.
Mengacu kepada kronologi ini, maka pendapat yang kuat kemungkinan ialah pendapat yang menyatakan bahwa Walisongo atau Walisana kemungkinan berasal dari kata Wali Tsana, artinya wali yang mulia. Soal defleksi pelafalan dari Wali Tsana ke Walisongo ini bisa dijelaskan bareng fenomena lain yang serupa.
Di dalam bahasa Jawa, terdapat beberapa kata yang dalam mulanya merupakan pionjaman dari bahasa Arab. Berikut ini contohnya;Sekaten, dari Syahadatain.Kalimosodo, dari kalimah syahadah Walisongo ini tergolong sukses dalam tugasnya.
Mereka menciptakan semacam big bang dalam menarik minat penduduk Jawa buat masuk Islam. Lompatan besar dalam jumlah penganut Islam. Pada enam periode Walisongo inilah penduduk Jawa beralih total, hingga secara umum dikuasai memeluk agama Islam. Para anggota Walisongo merupakan para intelektual yang menjadi pembaharu warga dalam zamannya. Mereka mengenalkan pelbagai bentuk peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan serta kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.
Semua ini bisa terwujud alasannya adalah kedudukan para Wali ini yang dimuliakan warga sekitarnya, dalam-suhun menjadi para susuhunan (sunan-sunan) yang dicintai. Nah, demikianlah kisanak jelajah etimologis kita menyoal Sunan serta Walisongo. Selanjutnya, monggo berpikir sendiri-sendiri mumpung masih perdeo. Nuwun.