Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Tulisan yg sedang panjenengan baca ini ialah bagian atau kelanjutan goresan pena sebelumnya yg berjudul Sejarah Lengkap Perjalanan 28 Tahun Admiral Agung Cheng Ho. Membincang ihwal Laksamana Cheng Ho dalam perjalanan muhiibahnya ke Nusantara ini tentu nir lengkap kalau kita nir menelisik tinggalannya. Salah satu dalam antaranya ialah Klenteng Gedung Batu.
Klenteng keramat ini diklaim Gedung Batu. Bangunan yg menempati areal seluas 2,5 hektare ini berdiri megah dalam kaki Bukit Simongan, Semarang. Di dataran rendah hilir Kali Garang inilah, dari keyakinan banyak orang, armada Laksamana Cheng Ho pernah singgah, lebih kurang 600 tahun silam. Cheng Ho mampir ke tempat ini sebab Wang Jinghong, juru mudi kapalnya, mendadak sakit keras ketika berlayar dalam Laut Jawa.
Setelah mendarat, awak kapal Cheng Ho menemukan sebuah gua dalam pinggir kali. Untuk sementara gua itu dijadikan tangsi, sembari membentuk pondok kecil dalam luar gua sebagai tempat peristirahatan & pengobatan Wang. Sepuluh hari kemudian, kesehatan Wang membaik. Cheng Ho melanjutkan pelayaran ke barat. Ia meninggalkan sebuah kapal berikut 10 awaknya dalam Simongan -maksudnya supaya Wang bisa menyusul sehabis sembuh.
Rupanya, Wong Jinghong yg dalam dialek Fujian diklaim Ong King Hong betah tinggal dalam situ. Lelaki berasal Cina Selatan, yg beragama Islam, ini enggan menyusul komandannya. Ia malah ikut berbagi kehidupan dalam kawasan itu dengan memanfaatkan kapalnya buat urusan ekonomi perdagangan dalam sepanjang pantai. Bekas juru mudi ini pula mengajar penduduk setempat & imigran Cina bercocok tanam, & berbagi kepercayaan Islam.
Untuk menghormati jasa laksamananya, Wang mendirikan patung Cheng Ho dalam dalam gua itu. Kini patung Cheng Ho itu dijadikan toapekong. "Arwah" nya menjadi sesembahan kalangan warga Cina. Karena itu, Kelenteng Gedung Batu pula diklaim Kelenteng Sam Poo Kong nama lain Cheng Ho. Wang meninggal dalam usia 85 tahun, dimakamkan secara Islam dalam kompleks Kelenteng Sam Poo Kong.
Orang Jawa menyebut Wang dengan julukan Kiai Juru Mudi Dampoawang. Istilah Dampoawang ini diambil berasal bahasa Kawi, tampuhawang, atau puhawang, yg berarti nakhoda kapal. Makam Kiai Juru Mudi kini dikeramatkan warga Cina, pula penduduk pribumi. Di kuburan ini, orang Jawa & Cina berdatangan meminta "berkah".
Tentang tinggalan Dampoawang dalam Tuban bisa kerabat perkerisan baca dalam Tapak Jejak Dampoawang dalam Tuban
Aroma asap hio & dupa kemenyan Jawa bercampur menjadi satu dalam kuburan ini. Seorang juru kunci makam membaca surat Al-Ikhlas & Al-Fatihah, sementara seseorang peziarah menaburkan kembang setaman dalam makan Kiai Juru Mudi. Mitos ihwal Dampoawang hingga kini hayati dalam kalangan warga pesisir utara Jawa.
Pada 1990, contohnya, nama Dampoawang diadopsi Persatuan Sepak Bola Rembang (PSIR), Jawa Tengah, ketika berlaga dalam Kompetisi Divisi Utama PSSI. Tim kesebelasan ini menamakan dirinya Laskar Dampoawang. Padahal, keberadaan Wang Jing Hong, alias Dampoawang, dalam Jawa nir disokong sejumlah bukti sejarah yg kuat.
Wang diklaim sakit & ditinggalkan Cheng Ho dalam Semarang itu. Padahal, kenyataannya, dia masih mengikuti pelayaran Cheng Ho yg terakhir. Bahkan, ketika Cheng Ho meninggal dalam pelayaran dalam Calcutta, India, dalam 1433, Wang yg membawa pulang jenazah Cheng Ho ke negeri Cina. Baru sehabis Cheng Ho meninggal, Kaisar Ming mengutus Wang berlayar ke Sumatera.
Nah, dalam kesempatan itulah, kemungkinan Wang kembali ke Simongan. Lantas dia menetap dalam tempat dia dirawat sebab sakit ketika mengikuti pelayaran Cheng Ho. Jadi, kalau sahih Wang menetap dalam Semarang, itu hanya mungkin terjadi sehabis pelayaran Cheng Ho yg terakhir. Namun, begitulah, "makam" Wang dalam Kelenteng Sam Poo Kong, Semarang, itu dikeramatkan orang semenjak dulu kala.
Pada 1704, Kelenteng Sam Poo Kong musnah diterjang hujan badai. Dua puluh tahun kemudian, warga Cina Semarang memugar kelenteng ini. Setiap 29 Juni yg diyakini sebagai hari pendaratan Cheng Ho dalam Semarang diperingati secara akbar-besaran. Patung Cheng Ho diarak keliling kota. Ritual warga Cina ini sempat terganggu, ketika kawasan Simongan dalam 1800-an dikuasai Johanes, tuan tanah keturunan Yahudi.
Setiap orang yg ingin sembahyang dalam Kelenteng Sam Poo Kong dikenai cukai sangat tinggi, sebagai akibatnya orang kebanyakan tak bisa membayarnya. Untuk mengatasi hal itu, Yayasan Sam Poo Kong mengumpulkan dana sebanyak 2.000 gulden, buat porto buka pintu kelenteng selama satu tahun. Gara-gara ulah Johanes ini, kegiatan penyembahan Sam Poo Kong dipindahkan ke Kelenteng Tay Kek Sie dalam Gang Lombok, kawasan pecinan dalam Semarang Tengah.
Sejak ketika itu, ada ritual baru. Setiap 29 Juni, patung Sam Poo Kong diarak berasal Kelenteng Gang Lombok ke Simongan, sejauh tujuh kilometer. Tujuannya, buat mendapatkan berkah berasal patung aslinya. Tapi, Johanes hanya mengizinkan minuman beralkohol-arakan ini hingga dalam tepi pagar. Hal ini menciptakan kesal Oei Tjie Sien, si raja gula berasal Semarang, ayah kandung konglomerat Oei Tiong Ham.
Pada 1879, Oei Tjin Sien membeli tanah Simongan berasal Johanes, & menyerahkannya kepada Yayasan Sam Poo Kong. Dua tahun kemudian, famili Oei memugar Kelenteng Gedung Batu, & mendirikan tugu peringatan dalam kompleks kelenteng tadi. Di tugu peringatan dipahatkan kisah perjalanan Cheng Ho disertai teks berhuruf Cina.
Terjemahan bahasa Indonesia teks itu dimuat dalam majalah Sampoo Fond Blad, 30 April 1938. Oei Tjien Sien menyebut tanah Simongan sebagai Tanah Suci tempat kediaman arwah Sam Poo Kong. Di tugu peringatan itu, Oei Tjin Sien menuliskan: "Kita orang Tionghoa, teroetama para saoedagar, dateng bersoedjoed sampaiken terima kasih soedah dapet sawab padonga & banjak redjeki berasal Sam Poo Kong. Kita bersembahjang berdjedjelan & rame-rame sembah Tanah Soetji itoe."
Meski Kelenteng Sam Poo Kong sudah kembali ke pangkuan orang Cina, minuman beralkohol-arakan patung Cheng Ho berasal Gang Lombok ke Simongan permanen saja berlangsung setiap tahun. Acara ini baru berhenti sehabis kejadian berdarah 30 September 1965. Pemerintahan Orde Baru melarang ritual ini. Sejak ketika itu, patung Sam Poo Kong yg ditempakan dalam dalam gua itu hanya diarak dalam seputar Kelenteng Gedung Batu.
Di kelenteng yg megah ini, selain ada patung Cheng Ho & makam Kiai Juru Mudi Dampoawang, ada pula sesembahan lainnya, yaitu Kiai Jangkar & Kiai Cundrik Bumi. Tentang Kiai Cundrik, nir ada yg bisa menyebutkan secara gamblang. Benda ini hanya sebuah nama buat senjata sejenis tombak yg dikeramatkan, lantaran dianggap sebagai peninggalan awak kapal Cheng Ho.
Sedangkan Kiai Jangkar nir lebih berasal sebuah sauh tua. Benda ini dibungkus kain putih, disimpan dalam kamar khusus keliru satu pavilyun Kelenteng Sam Poo Kong. Jangkar tua bermata 2 ini dianggap sebagai peninggalan kapal Cheng Ho. Tetapi, jika dicermati bentuknya, susah kalau diklaim jangkar ini merupakan jangkar kapal Cina berasal zaman Dinasti Ming.
Jangkar Cina berasal masa itu semuanya bermata empat. Jangkar bermata 2 itu dalam biasanya peninggalan kapal Kompeni Belanda (VOC). Jangkar ini, kabarnya, ditemukan terendam dalam Kali Garang dalam 1940. Sejak penemuan itu, banyak orang Cina yg melakukan sembahyang dalam depan jangkar ini, konon, dikabulkan permintaannya.
Mereka membayangkan jangkar itu milik Cheng Ho, sebagai akibatnya menganggapnya keramat & bertuah. Memang, cerita ihwal pendaratan Cheng Ho dalam Semarang hingga sekarang masih mengundang sejumlah perdebatan. Ada yg berpendapat, Cheng Ho singgah dalam Semarang dalam 1405. Ada pula yg bilang, armada ini singgah dalam 1413 & 1415.
Walau demikian, silang pendapat ini tak mengurangi rasa hormat kalangan warga keturunan Cina terhadap Cheng Ho. Hingga kini, Kelenteng Sam Poo Kong masih dikunjungi banyak orang. Setahun sekali, dalam setiap 29 Juni, ribuan orang berdesakan dalam Gedung Batu memperingati pendaratan Cheng Ho. Nuwun.
Yogyakarta, 17/12/2016