Dunia Keris Malam sudah menua, terbukti jam sudah memilih pukul 23 malam lewat beberapa menit. Hampir 20 menit melewati batas akhir Kecamatan Plaosan, Magetan, Jawa Timur. Jalanan khas pegunungan yang naik turun dan berbelok-belok, meski lebih poly naiknya. Mobil nir sanggup dipacu meski hanya buat sekedar cepat-cepat keluar sumber rute yang sebenarnya aku sangat akrabi ini. Banyak kelokan yang mengambat laju yang ditambahi beserta kabut yang mulai turun. Kombinasi yang sempurna.
Melewati percabangan yang satunya menunjuk ke telaga Sarangan, jalanan semakin berkabut. Tak satupun ditemukan rumah dijalur ini, kecuali nanti di Cemoro Sewu, satu dari pintu masuk pendakian Lawu. Jalur ini, kalau siang dan menjelang malam terbilang ramai, alasannya adalah ruas jalannya termasuk cantik. Tapi nir buat malam selatut ini. Khusus malam ini, jalan ini milikku. Setelah 20-an menit menguasai jalan, aku sebagai ragu, menguasai tanpa pernah ketemu beserta pihak yang dikuasai artinya hampa.
Kehampaan itu berbalik menyerang dan menguasai diri aku sendiri. Mulai ada was-was. Saya melihat panel penunjuk isi tangki bahan bakar. Meski melihat tanpa kacamata, indikator di panel cukup membuat aku lebih deg-degan lagi. Siang sebelum berangkat aku memang nir mampir ke stasiun pengisian bahan bakar.
Perhitunganku persedian bensin dalam tanki mencukupi buat perjalanan pergi dan pulang Jogja-Magetan, juga alasannya adalah faktor mengejar waktu supaya aku nir terlambat datang ke rumah seorang kolega. Menyesal, itu pasti. Kehabisan bahan bakar di tempat yang sesepi ini akan sebagai sesuatu yang mencemaskan dan segalanya sebagai nir simpel di atasi mirip yang pernah aku alami di tempat lain.
Keinginan dalam hati buat segera keluar sumber tempat ini turut andil seakan mesin mobilku menyedot bensin lebih poly sumber biasanya. Dan, kalaupun kekuatiran itu terjadi, mana ada orang jualan bensin di lereng gunung ini? kalau pun toh ada, mungkin di Cemoro Kandang, dan itu masih beberapa kilometer didepan. Itupun kalau ada.
Head lamp sengaja aku nyalakan lebih lebih poly didominasi. Tetapi tak pernah ada pihak pengendara lain yang merasa terganggu kesilauan. Hampir tepat malam mirip ini telah membuahkan aku mirip ini. Sendiri. Lampu mobil menyorot mendongak angkuh menguasai kegelapan, menantang siapa saja yang ada di depanku. Kabut masih mewarnai perjalannku. Disisi kiri, jurang curam yang hanya dibatasi sang selembar besi plat. Pada situasi kabut mirip ini, segalanya sanggup terjadi.
Berkendara di jalan berkabut setebal itu dalam waktu tertentu membuahkan aku merasa berjalan dalam cemas dalam labirin kelabu yang nir putus-putusnya. Tanpa bintang atau bulan. Mungkin ketika itu sedang mendung sempurna. Sempat aku berpikir dan menikmati komposisi ke 2 rona itu. Kelabu yang lebih dekat beserta putih dipadu hitam black jet. Menarik.
Melewati lereng-lereng tebing di sisi kanan, selanjutnya sekali waktu terlihat di atas kepalaku sulur-sulur dan ranting-ranting pohon akbar nampak berwarna abu-abu beserta latar belakang hitam pekat. Ranting-ranting itu justru nampak lebih dagi beserta sistem pencahayaan mirip itu. Latar belakang hitam dan obyek gambar yang nampak menyembul keluar, mirip effek embos, mungkin ini yang membuahkan inspirasi dasar lukisan Raden Saleh yang lebih berwarna gelap dan hitam sehingga namanya tak pernah mati di rakyat seni lukis global.
Pesan yang aku ingat sumber kolega, meski beserta nada bercanda, buat hati-hati melewati jembatan yang sekaligus perbatasan antara Magetan dan Karanganyar yang sekaligus tapal batas Jawa Timur dan Jawa Tengah. Konon, tempat ini artinya satu dari titik seram jalur ini. Bismillah.
Karena tak ada satupun warung yang menjual bensin di Cemoro Kandang, aku hanya berjalan pelan dan lantas. Bablas. Dan, buat sementara lagi, aku akan melewati titik seram itu. Saya sudah menemukan tanda-tandanya, tugu tapal atas itu didepan tertimpa sorot lampu jauh mobilku. Si seram sudah dekat! Otakku bekerja cepat buat merespon peringatan. Labirin kelabu, ranting-ranting super besar diatas ketua dan kemungkinan kehabisan bahan bakar di tengah jalan, seluruh telah aku usir menjauh. Fokusku kini cuma satu, jembatan. Titik.
Sambil penasaran apakah ada perbedaan kadar keangkeran di tempat yang akan aku lalui itu waktu jam ditangan pertanda perbedaan, contohnya jam 7 beserta jam yang kini aku alami ini, menjelang pukul 12 malam? Tugu yang berdiri diantara dua jembatan kecil itu memecah konsentrasiku! Memiliki jiwa tukang gambar memang simpel terpesona. Kini aku merasa mirip mahkluk bumi yang sedang mengendarai kendaraan di planet lain beserta gunung-gunung dan kawah kecil di kanan kiri.
Glodaaaaakk..! ada suara yang sepertinya ban mobilku bertemu beserta batu yang mengkin tergelincir sumber atas sebelumnya. Sepenuhnya aku yakin, pasti bukan alasannya adalah suara itu orang di lebih kurang sini mengatakan bahwa jembatan ini seram. Secara visual memang sedikit menakutkan namun nir untukku.
Saya hanya takut kalau perhitungan jarak tempuh berbanding beserta konsumsi bensinku nir tepat. Saya mencoba mencari tahu arti ketakutan di atas jembatan seram itu. Rasanya mirip sebagai seorang yang berkekuatan super waktu aku sanggup menguasai keadaan di mana dalam situasi dan tempat yang sama orang-orang justru nir ingin menemuainya.
Cara yang sama aku terapkan waktu aku masih kecil waktu melewati tempat-tempat yang diklaim wingit, caranya justru aku berhenti di tempat itu dan melihat ke segala penjuru arah buat mengukur keadaan dan memastikan bahwa nir ada yang sahih-sahih ditakutkan. Itu cara jitu buat memenangkannya. Silahkan dicoba. Kolegaku sama sekali tak menyebutkan keangkeran di jembatan ini dikarenakan faktor apa. Hanya bilang hati-hati, seram. Dan sepertinya aku nir menemukan apa-apa yang perlu diwaspadai. Saya sudah berkali-kali mendapatkan kemenangan. Pastinya, juga buat kali ini.
Berbelok kanan keluar sumber titik pusat penekanan kewaspadaan. Seekor ular kuning dan belang-belang sebanyak lengan laki-laki dewasa nampak menyebrang jalan. Piton..! Betul itu ular piton yang cukup akbar dan cukup mengejutkanku. Benarkan ular itu menyeberang jalan? Mobil aku hentikan beserta mesin dan lampu head lamp permanen menyala pula. Sekedar buat jaga-jaga!
Gerak reflekku kurang terkoordinasi beserta baik. Otak dan gerakan tangan nampaknya nir sesuai. Maksud hati mengeluarkan kamera secepatnya buat sanggup secepat pula memotret ular itu. Tetapi alasannya adalah saling groginya, ke 2 tanganku hanya menepuk-nepuk ke 2 pahaku beserta ritme yang cepat. Tapi apa sahih ular itu akan menyeberang jalan? Kenapa ular itu justru terdiam dan tak segera berkiprah menyingkir sumber hadapanku? Ular itu nampak kaku dan lurus, mirip habis memangsa sebatang rotan.
Tetapi ular itu bukan meninggal, ular itu hidup. Saya jadi punya waktu buat mengkoordinasikan gerakan sadarku buat mengambil kamera. Saya turun dan membiarkan pintu mobil permanen terbuka. Saya arakhan penekanan kamera kepada ular itu dan aku berhasil membuat fotonya. Ular itu nampak kesulitan berjalan, sepertinya begitu.
Apakah aspal jalan dan timbunan pasir tipis di sisi jalan telah membuatnya kesulitan berjalan alasannya adalah licin? Tentu nir. Bukan karenanya. Tetapi mengapa ular itu nampaknya demikian dan membiarkan aku mengamati sumber jarak dekat, dekat sekali. Ular itu nampak jinak dan tak berbahaya.
Alarm dalam otakku menyampaikan signal yang positif. Bahkan aku menganggapnya lucu. Giliran ketua ular itu yang sebagai obyek bidikan kameraku. Bener, ketua ular itu nampak bundar telur dan bener-bener lucu beserta sepasang mata hitam mengkilat, hidung mirip tanda baca dua titik beserta sebaris mulut terkatup meski bukan terlihat sedang tersenyum, sepertinya ular itu memang nir sedang merasa terancam.
Percampuran antara perasaan takjub, kaget dan suka karenanya sebagai pemandangan yang ekslusif juga perasaan was-was telah membangun keadaan kegembiraan. Bahkan ketika aku memotret bagian yang diklaim berbahaya sekalipun yaitu ketua, aku merasa ketakutan itu nir di sana. Apakah ular ini belum pernah ketemu beserta manusia sepanjang hidupnya ya? Mungkin. Jadi ular itu mengira bahwa manusia bukanlah pengganggu atau musuhnya.
Saya jadi teringat cerita sumber orang-orang suku Dayak Tidung di Malinau, Kalimantan Utara kini, hutan di sana masih lebat, poly hewan yang jinak khususnya sejenis rusa atau rakyat sana menyebutnya payau yang jinak dan tak takut kepada manusia. Mereka artinya rusa yang baru pertama kali ketemu beserta manusia jadi mereka belum memiliki kenangan nir baik akan tingkah laris nir baik manusia terhadap mereka.
Yang jelas, ular itu nir sanggup mengubah jembatan ini sebagai seram. Dan ular itu begitu nyata!
Saat-ketika berikutnya, aku bermetamorfosis mirip orang-orang yang selanjutnya membangun kenangan nir baik mirip dalam payau Kalimantan itu. Saya ingin menangkap ular itu. Benar! Kepolosan ular itu telah memercikkan api kejahatan dalam hatiku. Kenapa nir, ular ini jinak? Seumur-umur baru kali ini aku sebagai begitu nir takut hewan melata ini. Perasaan kebalikan sumber hari-hari biasanya itu datang tiba-tiba. Tetapi bagaimana cara menangkapnya?
Belajar sumber TV bukanlah jalan terbaik buat selamat sumber kejinakannya sekalipun. Saya nir memiliki pertahanan tambahan yang sanggup melindungiku, sebuah jaket contohnya. Kalaupun aku membawa jaket bukan buat aku kenakan namun justru akan aku tanggal yang selanjutnya aku gunakan buat menutup ketua ular itu sehingga aku sebagai leluasa mengkap lehernya.
Dengan menutup kepalanya beserta jaket itu berarti telah mengalihkan perhatian ular itu sehingga ular sebagai sibuk ingin keluar sumber sesuatu yang menutupi pandangan dan segala sensor alamiahnya sehingga aku sanggup mengambil keuntungan sumber kesibukan ular itu beserta langsung menangkap tepat di lehernya. Ular itu baru akan sadar waktu lehernya sudah berada dalam genggaman sekuat tenagaku. Begitu skenarionya.
Tetapi aku nir mempunyai apapun ditanganku. Akhirnya ular itu berjalan, perlahan sekali, dan aku cukup menyentuh bagian yang aku anggap sumber bagian berbahayanya yakni ekornya. Itupun ketika kepalanya sudah tersembuyi dalam semak sementara ekornya masih di tengah jalan. Terasa kasar tektur kulitnya namun licin. Perasaanku sebagai aneh kalau aku menyebutnya alasannya adalah aku kesulitan menemukan celoteh-celoteh yang tepat buat menggambarkannya waktu ujung jariku mencicipi kulit ekornya. Pokonya nyes begitulah, paling simpel menggambarkannya. Sepanjang lebih kurang dua hasta aku merasai sebelum habis dan mencapai ujung ekornya. Baru kali ini aku memegang seekor ular meski cuma ekor tapi ini ular beneran. Liar lagi.
Ternyata, jahat juga pemikiranku ini kalau saja aku hingga menangkapnya. Menangkap dan memiliki sesuatu yang bukan aku sendiri mengembang-biakkannya. Saya jadi teringat celoteh-celoteh yang tertulis papan peringatan di Gunung Api Purba di Gunung Kidul, Jangan mengaku mengasihi alam kalau nir sanggup merawatnya.
Untung saja kejadian itu nir terjadi, sehingga ular itu leluasa berjalan beserta caranya sendiri, mau pelan mau cepat sesuka ular itu. Juga, aku terhindar sumber segala resiko yang akan terjadi keberanian berbingkai kesembronoan yang ada spontan dan tak memiliki pengetahuan dasar menjinakkan ular. Apa celoteh istri dirumah nanti waktu aku pulang ke rumah beserta tangan memar yang akan terjadi bergumul beserta ular?
Angker bukan alasannya adalah hantu bukan pula alasannya adalah ular yang jinaknya luar biasa itu. Keangkeran itu justru terletak dalam diri manusia yang terbalut dalam kesombongan dan bersembunyi dalam nafsu ke-aku-annya. Berani menghormati alam dan aneka ragam hayatinya itu keberanian yang sesungguhnya. Rela permanen sebagai yang kalah ketika lainnya lengah dan simpel dipatahkan. Keangkeran itu cuma terletak bagimana hal itu dicermati. Satu yang jelas, keangkeran jembatan itu telah mengalahkan keangkeran dalam diri aku sendiri. Sekian.