Assalamu alaikum, Apa kabar kerabat perkerisan seluruh? semoga kita seluruh selalu sehat & lapang rejeki. Aamiiin
Fenomena yang sering kita temui dalam sebuah tempat tinggal tangga, baik kita sendiri atau orang lain yang ada disekitar kita adalah cerai! nah, dalam kesempatan kali ini ayo kita mengulang pulang pemahaman orang tua-tua leluhur kita dahulu, perihal wanita yang senang kawin cerai. ayo…..
Ketika tuntutan emansipasi wanita menyeruak ke permukaan, sejak itu juga sesungguhnya menjadi pararelitas kekuasaan. Keinginan wanita untuk sederajat dengan laki-laki, lebih adalah tuntutan kepentingan ideologis & bersifat tidak subtansial. Mengapa? Sebab, secara kodrati harkat antara wanita & laki-laki memang tidak selaras. Masing-masing mempunyai fungsi & kiprah yang berlainan. Tetapi menjadi manusia, laki-laki & wanita memiliki martabat yang sama. Maka, sungguh tampa aneh bila wanita menginginkan kesederajatan, apalagi persamaan dalam kekuasaan & fungsi. Sebaliknya, tampak semakin aneh lagi, jikalau laki-laki selalu berkeinginan menguasai wanita.
Kepentingan ideolegis tersebut sangat transparan dalam kebudayaan Jawa yang memandang wanita menjadi konco wingking. Wanita hanya dipercaya menjadi orang yang bertanggung jawab atas segala urusan dapur. Atau wanita dimaknai menjadi wani ditata. Berani diatur! Siapa yang mengatur? Jawabnya, tentu saja laki-laki.
Duh, betapa nestapanya nasib perempuan dalam hal ini. apalagi jikalau lebih jauh menengok ke belakang dalam ihkwal kejadiannya. Konon,wanita itu tercipta berasal tulang rusuk sebelah kiri laki-laki. Bahkan dalam kisah penciptaan Adam & Hawa, perempuan ditugaskan untuk menemani & menghibur Adam yang kesepian di nirwana.
Dalam hal perkawinan pun. Wanita misalnya tidak memiliki kiprah yang menetukan dalam perceraain. Adakah cerita perempuan menceraikan suaminya? Kalaupun ada, tentu sangat langka & tentu saja melalui proses yang rumit. Yang absolut ada, adalah suami yang menceraikan wanita yang menjadi istrinya.
Tetapi terlepas berasal seluruh itu, dalam kenyataannya sering dijumpai wanita yang hobi kawin cerai. Cerai dalam hal ini, bisa lantaran takdir (ditinggal meninggal oleh sang suami) atau benar-benar diceraikan sang suami lantaran sebab-sebab tertentu.
Dalam kultur Jawa, ada wanita yang disebut Bahulaweyan. Wanita-wanita demikian, potensial sekali ditinggal meninggal suaminya. Kematian sang suami pun, lebih ditimbulkan cacat yang dimiliki sang wanita Bahulaweyan ini sendiri. Akibatnya, setiap ditinggal meninggal suaminya & kawin lagi, maka suami pengganti tidak lebih berasal awal kematian lelaki itu sendiri.
Dalam Ephos Ramayana disebut-sebut perihal Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu. Bumi mendadak terguncang hebat, waktu Dewi Sukesi ingin mengetahui tabir di balik ajaran itu. Kahyangan menjadi dunia para dewa, misalnya diayun gempa dahsyat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Duh, betapa wingit, menakutkan, keramat, & sakralnya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu.
Keinginan Dewi Sukesi, bak sembilu tajam yang menyayat hati Prabu Sumali. Dengan bersimpuh, sang prabu pun memohon agar putrinya mengurungkan niatnya untuk berakibat ajaran tersebut menjadi prasyarat pernikahannya. Tetapi puteri Alengka itu tetap bersikukuh dengan pendiriannya: Aku tidak akan pernah menikah, sampai ada orang yang bisa mengupas Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu!
Dalam karya Sindhunata yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin, dikisahkan suasana Negeri Alengka dengan penggamnaran sangat mencekam. Awan gelap bergumpal-gumpal menyelimuti negeri leluhur Rahwana. Giris! Kahyangan menjadi singgasana para dewa misalnya hendak runtuh. Dewa-Dewi menangis.
Kisahnya pun bergulir menuju muaranya. Alkisah, lahirlah 4 anak output perkawinan Wisrawa-Dewi Sukesih. Mereka adalah Rahwana, Kumbokarno, Sarpakenaka & Gunawan Wibisana. Mereka berempat, menjadi simbol dasar sifat manusia. Keangkaramurkaan disimbolkan Rahwana, Penyesalan Kumbokarno, nafsu seks Sarpakenaka, & kebijaksanaan dan cinta adalah Gunawan Wibisana.
Ephos Ramayana pun bagai pelajaran hidup. Beberapa candi di Jawa mendokumentasikannya dalam bentuk relief dalam dinding-dinding candi. Dunia bayang-bayang dalam pewayangan itupun dicetaknya sedemikian rupa, sampai tergelar di alam nyata. Orang pun kemudian mencoba mengekspresikan sosok-sosok sejumlah tokoh, berikut peranannya dalam kisah legenda, sesuai perawakan bentuk atau postur tubuh masing-masing tokoh itu.
Sarpakenaka adalah raksesi. Sarpa berarti ular, kenaka berati kuku. Dalam kisahnya, beliau bersuamikan seorang panglima perang Keajaan Alengka yang terhormat & sakti mandaguna: Karadusana. Tetapi segala kelebihan Karadusana itu tidak mampu mengalahkan penguasaan Sarpakenaka terhadap dirinya.
Ketidak pedulian Sarpakenaka menjadi isteri, dinarasikan dalam Ephos Ramayana. Betapa sang raseksi (raksasa wanita) ini jatuh cinta dalam pandangan pertama, waktu bertemu Ramawijaya di hutan Dandaka. Dendamnya mendadak sirna, begitu menyaksikan ketampanan Ramawijaya yang sudah menghancurkan bala tentaranya waktu merampok di pertapaan Yogisrama.
Dendam Sarpakenaka terhadap Ramawijaya mendadak berkembang menjadi cemburu waktu melihat Dewi Shinta. Hasratnya untuk merengkuh hati & cinta Ramawijaya makin akbar & mendalam saja. Dengan ajian mancala putra mancala putri, diapun merubah wujudnya menjadi seorang dewi yang indah jelita. Kecantikannya yang bak bidadari itu dipakai untuk memperdaya Ramawijaya agar meninggalkan Dewi Shinta.
Tetapi, kesetiaan & cinta kasih Ramawijaya terhadap Dewi Shinta tidak mampu diruntuhkan dengan cara apapun. Ramawijaya yang iba melihat dewi jelmaan raseksi itu kemudian mendekatkan Sarpakenaka yang sudah berubah wujud kepada adiknya, Laksmana.
Dasar haus seks, maka waktu Sarpakenaka diminta agar mendekati Laksmana, beliau pun segera menemui adik Ramawijya itu. Tetapi, rupanya Laksmana adalah seorang yang waskita. Ajakan Sarpakenaka pun ditolak mentah-mentah. Penolakan Laksmana, dirasakan lebih menyakitkan berasal penolakan Ramawijaya. Maka, bukan main marahnya Sarpakenaka, waktu secepat kilat Laksmana menghunus senjatanya & pribadi memangkas hidung Sarpakenaka sampai homogen dengan kedua pipinya.
Sarpakenaka pun menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Dia meraung-raung oleh rasa sakit yang tidak tertahankan. Dia pun mengancam akan melampiaskan dendamnya dalam Laksmana. Bersamaan dengan itu, wujudnya pulang berkembang menjadi raseksi dalam keadaan kesakitan, beliau mengambil langkah seribu untuk mengadukan perbuatan Laksmana kepada Rahwana & suaminya. Karadusana.
Sosok Sarpakenaka sendiri dalam dunia pewayangan sering dinarasikan dalang menjadi seorang wanita yang berkulit hitam manis. Rambutnya lemas, & panjang terurai. Matanya sedikit sayu, & jikalau menatap laki-laki bagai dian yang hampir kehabisan minyak & diterpa angin sepoi-sepoi. Perawakannya pun digambarkan tinggi & kurus. Raut wajahnya tirus. Kakinya panjang.
Wanita yang gemar berselingkuh atau kawin cerai, etrdapat ciri fisik yang bisa dijadikan tengara. Beberapa ciri tersebut, dalam primbon jawa diantaranya menjadi berikut.
Pada tengah-tengah jidatnya sedikit nonong, telingan berbalik menghadap kedepan, matanya selalu terlihat misalnya habis tidur. Orang Jawa bilang, kliyip-kliyip. Mungkin, misalnya lampu yang terterpa angin. Type wanita misalnya ini, biasanya senang berselingkuh. Kawin cerai sampai tiga kali.
Raut wajahnya sedikit memerah, tepian mata atas & bawah berwarna hitam, hidung bagian atasnya ada garis-garis kecil. Wanita misalnya ini tidak mempunyai rasa cinta terhadap suami. Tetapi senang sekali berselingkuh dengan laki-laki lain yang usianya lebih tua berasal sang suami.
Aika tertawa tertunduk kepalanya, bicaranya ketus, jikalau mau berbicara lidahnya keluar dijilatkan ke mulut. Wanita type misalnya ini, bangga sekali jikalau sepanjang hidupnya gonta-ganti laki-laki. Ia sama sekali tidak punya rasa malu, untuk urusan kawin cerai.
Kulit raut paras tampak sedikit kehijau-hijauan, berasal ujung hidung & jidat terdapat urat kebiru-biruan, mata ciut gelap senang berkedip. Wanita jenis ini gampang sekali jatuh cinta, bahkan kalau sudah jatuh cinta tanpa perasaan & siap-siap mencelakakan suaminya.
Mata akbar & lebar, bak mat ikan emas. Hati-hati dengan wanita type ini, dengan perselingkuhannya yang tidak pernah puas dengan berbagai jenis laki-laki, menjadi akibatnya akan berdampak kematian lebih dahulu bagi sang suami tercinta.
Kedua pipinya tembem gembil, suaranya misalnya lelaki. Wanita ini sekalipun biasa menjalani perselingkuhan dengan laki-laki lain yang lebih belia, beliau gemar melakukan kawin cerai.
Jidatnya nonong sekali, namun hanya dalam bagian tengahnya, lancip daun telinganya & mungil berbalik menghadap kedepan. wanita dengan ciri demikian senang sekali menikmati perselingkuhan & terus saja berkeinginan kawin cerai demi mendapatkan kepuasan batinnya.
Ciri-ciri diatas adalah sebuah penggambaran sosok-sosok dalam katuranngan wanita yang gemar berselingkuh. Tanpa mengajak pembaca untuk mempercayai mitos di balik ciri fisik yang digambarkan Primbon Jawa tersebut, tetapi lebih kepada sedikit mengenal khazanah kepercayaan yang ada ditengah kehidupan bermasyarakat. Khusunya orang Jawa. Ojok sampek lali Jawanematur nuwun