Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Mitos, satu kata yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam budaya kita, terutama dalam konteks budaya Jawa, mitos adalah cerita sakral yang terkait dengan tokoh yang diidolakan atau dipuja. Tokoh ini kebanyakan hanya dapat dijumpai pada dunia khayal, tetapi seakan merujuk pada hal vital. Nah, tentang benar atau tidak terjadinya insiden & buktinya tidak dipentingkan lagi.
Kemudian, mitos ini menjadi kebenaran kolektif yang tidak boleh diganggu atau dipertanyakan lantaran menyangkut hal yang sakral. Karenanya dalam budaya Jawa, mitos bukan sekedar dongeng. Mitos dalam kebudayaan Jawa menjadi surat keterangan semua tindakan & sikap dalam kehidupan manusia Jawa. Tindakan yang yang aku maksud di sini adalah dalam hal spiritual religius, bukan tindakan sehari-hari. Mitos mengandung suatu kebenaran mutlak yang tidak boleh diganggu gugat, harus diikuti, baik suka ataupun tidak suka.
Seje deso mowo coro, lain lubuk lain ikannya. Setiap daerah tentu terdapat mitos masing-masing yang terdapat di tengah masyarakatnya. Sebut saja mitos yang sangat melegenda yang berawal dari tragedi Bubat yang berujung dengan mitos dilarangnya orang Jawa menikah dengan orang Sunda. Selengkapnya kisanak bisa baca di Perang Bubat : Romantisme & Kekuasaan & Dyah Pitaloka, Korban Ambisi Gajah Mada.
Tidak banyak yang tahu, mitos serupa pun ternyata terdapat pula di dua kabupaten di Jawa Timur, yakni kabupaten Lamongan & Kediri. Ya, mitosnya orang Lamongan & Kediri dilarang menikah lantaran berawal tragedi masa kemudian yang melibatkan dua kabupaten tersebut. Bagaimana ceritanya, aku rangkumkan untuk kisanak semua. Monggo
Cerita yang beraroma mitos ini di terjadi di masa akhir kerajaan Majapahit. Kala itu, senjakala menyungkupi bumi Majapahit, perang saudara yang tidak berujung membuat Majapahit menjadi kerajaan yang kehilangan wibawa dari negeri-negeri yang sebelumnya menjadi bawahannya. Majapahit seumpama macan yang ompong, tidak terdapat taringnya lagi.
Melihat Majapahit yang sibuk dengan suksesi kepemimpinan yang berujung dengan perang saudara, hal ini dimanfaatkan oleh adipati Kediri. Bagi adipati Kediri, situasi yang sedemikian inilah saatnya mengembalikan kejayaan trah Airlangga untuk mengambil alih kekuasaan, atau lebih tepatnya mengkudeta. Namun demikian, seompongnya Majapahit kala itu bagi Kediri masih terlalu kuat untuk ditalukan seorang diri.
Disamping itu, Kediri pula masih meraba-raba kekuatan kadipaten-kadipaten yang berada di pesisir utara Jawa misalnya Gresik, Tuban, Lamongan, & Surabaya yang telah memeluk Islam mendukung siapa nantinya. Hal ini menjadi vital, lantaran beberapa kadipaten pesisir utara Jawa inilah urat nadi perekonomian & perdagangan nusantara, sehingga kiprah mereka sama pentingnya dengan penaklukan Majapahit itu sendiri.
Oleh lantaran itu maka adipati Kediri berpikir bagaimana caranya untuk bisa menjalin koalisi dengan wilayah-wilayah yang terdapat di pesisir utara Jawa. Sampai suatu waktu ia mendengar kabar dari telek sandinya bahwa bupati Lamongan saat itu, mempunyai dua orang putra kembar yang bernama Panji Laras & Panji Liris. Inilah jalan keluarnya, lantaran diapun mempunyai dua orang putri kembar yang bernama Dewi Andansari & Dewi Andanwangi.
Maka kemudian, adipati Kediri berniat menikahkan kedua putri kembarnya dengan kedua putra kembar bupati Lamongan sekaligus menjadi langkah awal untuk melakukan koalisi, sehingga bila ia bisa melakukan koalisi dengan Lamongan maka Majapahit bisa dikepung dari dua arah yaitu Kediri di Selatan & Lamongan di Utara. Politik ranjang ala adipati Kediri, ia telah membayangkan kemenangan di ujung jalan.
Mengetahui niat dari Adipati Kediri tersebut, Bupati Lamongan merasa bimbang antara mau menerima ataukah menolak permufakatan jahat berbalut pernikahan tersebut. Jila ia menerimanya, ia takut dengan pembalasan Majapahit seandainya rencana kudetanya dengan Kediri terhadap Majapahit itu gagal. Namun bila ia menolak & kemudian Kediri berhasil menggulingkan Majapahit, maka Kediri pastinya pula akan membalas atas penolakannya tersebut. Disamping itu bila sampai terjadi perang saudara lagi, maka ekonomi & perdagangan yang saat itu dikuasai oleh orang-orang pesisir utara Jawa nantinya niscaya akan terganggu.
Memikirkan hal tersebut maka ia menjadi resah & memutuskan untuk menguji kesungguhan dari adipati Kediri. Karenanya dalam rencana pernikahan politis ranjang tersebut bupati Lamongan mengajukan tiga syarat yaitu. Pertama, Dewi Andansari & Dewi Andanwangi harus mau memeluk Islam. Kedua, pihak keluarga mempelai wanita lah yang harus datang melamar kepada pihak keluarga mempelai pria. Ketiga, nantinya pihak mempelai perempuan harus datang dengan membawa anugerah berupa gentong air & alas tikar yang kedua-duanya harus terbuat dari batu.
Mendengar syarat-syarat tersebut, ternyata adipati Kediri masih bersedia untuk memenuhinya & menyuruh kedua putrinya untuk datang melamar ke Lamongan, sehingga mau tidak mau bupati Lamongan akhirnya bersedia untuk melaksanakan pernikahan tersebut. Tiba pada harinya, Dewi Andansari & Dewi Andanwangi diiringi dengan rombongan akbar orang-orang Kediri datang ke Lamongan.
Panji Laras & Panji Liris di temani Ki Patih Mbah Sabilan diperintahkan oleh ayahnya untuk menjemput kedua putri Kediri tersebut di batas Kota Lamongan. Pada saat itu Lamongan sedang mengalami bencana banjir, sehingga mau tidak mau Dewi Andansari & Dewi Andanwangi mengangkat kainnya sampai ke paha supaya kainnya tersebut tidak basah. Celakanya, lantaran hal itu Panji Laras & Panji Liris bisa melihat bahwa ternyata kaki Dewi Andansari & Dewi Andanwangi ternyata berbulu lebat misalnya bulu kuda. Sehingga Panji Laras & Panji Liris menolak untuk menikahi Dewi Andansari & Dewi Andanwangi serta meminta supaya rencana pernikahan tersebut dibatalkan saja.
Mendengar hal tersebut keruan saja membuat Dewi Andansari & Dewi Andanwangi merasa terhina & malu sehingga mereka melakukan bunuh diri saat itu pula dihadapan Panji Laras & Panji Liris. Melihat junjungan mereka dihina & dipermalukan sehingga sampai bunuh diri, orang-orang Kediri itu akhirnya menjadi sangat marah & ingin membunuh Panji Laras & Panji Liris, sehingga perang pun tidak bisa terhindarkan lagi. Melihat nyawa Panji Laras & Panji Liris dalam bahaya, maka Ki Patih Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk melindungi mereka, sehingga akhirnya Ki Patih Mbah Sabilan harus tewas dalam tugasnya melindungi nyawa Panji Laras & Panji Liris.
Setelah patihnya tewas, orang-orang Lamongan pun semakin terdesak & akhirnya Panji Laras & Panji Liris pun ikut tewas tanpa diketahui jenazahnya. Tidak puas hanya menewaskan Ki Patih Mbah Sabilan serta Panji Laras & Panji Liris, orang-orang Kediri itu pun semakin merangsek maju bahkan sampai ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten tersebut, bupati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Bupati Lamongan sempat berujar supaya nanti anak cucunya tidak boleh menikah dengan orang Kediri.
Sebenarnya kisah Panji Laras & Panji Liris ini terdapat dua versi, terdapat yang mengatakan bahwa Dewi Andansari & Dewi Andanwangi berasal dari Kertosono Nganjuk terdapat yang meyakini berasal dari Kediri.
Ada pula versi yang mengatakan bahwa Dewi Andansari & Dewi Andanwangi mengangkat kainnya saat ia turun dari perahu. Saat ini bukti-bukti insiden tersebut berupa gentong air & alas tikar yang terbuat dari batu masih terdapat di halaman depan Masjid Agung Lamongan. Jenazah Ki Patih Mbah Sabilan di makamkan di Kelurahan Temenggungan, sedangkan tempat ia tewas sekarang dinamakan Kinameng yang di ambil dari kata tameng yang berarti pelindung.
Di Lamongan terdapat jalan yang dinamakan Jalan Laras Liris serta Jalan Andanwangi serta Jalan Andansari. Adanya kisah ini menjadikan sebuah tata cara di Lamongan bahwa dalam sebuah pernikahan maka pihak si wanita yang harus melamar pada pihak pria. Karena kisah ini, di Lamongan terdapat anggapan bahwa orang Lamongan (terutama yang pria) dilarang untuk menikah dengan orang Kediri. Nuwun.