Dunia Keris – Hidup ialah perjalanan, bukan tujuan. Begitulah kalimat sebuah ungkapan. Tulisan yg sampeyan baca ini ialah sambungan berdasarkan goresan pena sebelumnya menggunakan tajug pokok yg sama, Catatan Jelajah Semeru.
Jalur yg kami lalui begitu berpasir & berdebu, acapkali beterbangan lantaran diinjak kaki-kaki dalam pendaki. Selain itu juga, jalur begitu menanjak, sesekali curam menciptakan kami cukup ngos-ngosan melangkah. Setelah satu jam berjalan sampailah kami di kawasan Arcapadha menggunakan ketinggian 2.900 mdpl, atau dalam bahasa Jawa biasa dianggap Arcopodo.
Dinamakan Arcopodo lantaran dulu ada 2 buah arca, Ganesha & Dewa Wisnu. Namun arca-arca itu kini sudah hilang. Terdapat beberapa tanah landai di Arcopodo yg cukup ideal buat mendirikan tenda. Namun syarat tanah Arcopodo tak begitu stabil & sering longsor. Juga banyak pasir & debu berterbangan yg mengganggu pernafasan.
Di sini terdapat beberapa plakat nisan buat mengenang para pendaki terdahulu, baik yg meninggal dunia juga hilang belum ditemukan. Di kawasan ini sebenarnya sanggup dipergunakan sebagai loka camp, namun tanahnya rawan longsor & terlalu berdebu. Setelah lima menit istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Kegelapan malam tersibak sinar-sinar sorot headlamp & senter berdasarkan pendaki.
Langkah kaki terseok, 2 langkah naik, satu langkah merosot. Bahkan hanya sekali melangkah, sanggup merosot jauh ke bawah. Lereng pasir Mahameru sahih-sahih menguras fisik & mental. Ada sebuah pohon Cemara yg berdiri sendiri di antara pasir & batu kerikil, namanya Cemoro Tunggal.
Hanya semangat & asa yg menciptakan kaki masih sanggup melangkah ketika itu. Runtuhnya bebatuan yg diinjak & dipegang sungguh menciptakan fisik drop. Embusan angin kencang menerpa tubuh, menerbangkan pasir ke udara. Dinginnya merasuk lewat indera pendengaran, membekukan pipi & bibir. Sesaat menggoyangkan semangat buat terus menggapai zenit. 500 meter Puncak Mahameru. Hmm, papan petunjuk itu sudah terlewati satu jam silam. Namun zenit cita rasanya tak kunjung mendekat.
Karena kelelahan kami putuskan buat istirahat. Di timur terlihat pegunungan Argopuro & Gunung Raung. Di barat berdiri megah Gunung Arjuno & Welirang. Di barat tampak samudera pasir & pegunungan Bromo. Perlahan tapi absolut pemandangan menakjubkan itu tertutup awan. Kabut pun tiba-tiba naik menyapu lereng pasir Semeru. Tak tampak apa-apa lagi kini. Hanya kabut, pasir, & kerikil. Saatnya bergegas menuju zenit. Hari menjelang siang ketika menginjakkan kaki di zenit Mahameru.
Segenap rasa syukur ialah yg pertama kali teringat ketika sanggup berpijak di ketinggian 3.676 mdpl, zenit tertinggi Pulau Jawa ini. Puncak yg diyakini warga Hindu sebagai singgasana para tuhan. Kawah Jonggring Saloko yg umumnya meletupkan asap sekitar 20 menit sekali tampak damai. Akhir-akhir berikut adalah memang seperti tertidur. Penduduk Ranupani menuturkan andai saja Mahameru meletup rata-rata hanya sekali sehari dalam satu bulan terakhir. Dua bendera merah putih yg sudah robek berkibar gagah. Menggugah rasa patriotisme & kebanggaan sebagai anak negeri.
Berdekatan menggunakan itu, terdapat batu peringatan Sok Hok Gie & Idhan Lubis yg meninggal di loka ini output menghirup gas beracun hampir 1/2 abad silam. Ya, kami pun wajib cepat-cepat turun. Karena laju angin yg membawa wedus gembel (awan panas) & gas beracun berdasarkan kawah Jonggring Saloko selepas siang hari akan menunjuk ke zenit & jalur pendakian. Perjalanan turun berdasarkan zenit menuju Cemoro Tunggal hingga batas vegetasi menempuh jeda yg sangat cepat. Kami berlari-lari menuruni lereng pasir yg terjal seperti bermain ski.
Jalur pasir yg tadinya begitu berat ini berubah menjadi menjadi sangat menyenangkan ketika turun. Tentunya wajib hati-hati dalam menunjuk jalur andai saja tak ingin tersesat atau terlempar ke jurang. Tidak lebih 60 menit, kami sudah melewati batas vegetasi. Kondisi fisik yg menurun menciptakan kaki menjadi lemah ketika berpijak turun. Kurang berdasarkan 2 jam kemudian, sampailah di Pos Kalimati. Usai istirahat & bersantap siang di dalam pondok, perjalanan dilanjutkan.
Trekking berdasarkan Kalimati menuju Ranu Kombolo menjadi sangat membahagiakan hati lantaran terus menerus disuguhkan pemandangan alam yg sukar ditandingi keindahannya. Bunga-bunga Edelweiss tampak baru mekar menguning, elok sekali. Tiba di Ranu Kumbolo, hari sudah berkiprah sore. Pudah ditebak, danau ini tetap dalam selimut kabutnya. Matahari lamban laun lenyap, bulan pun tak kunjung tiba.
Cuaca malam itu jauh lebih gelap berdasarkan malam sebelumnya. Perjalanan terus menyusuri perbukitan berdasarkan Ranu Kumbolo menuju Ranupani. Akhirnya mendekati pukul delapan malam, kami pun tiba pulang di desa Ranupani. Petualangan ini memang wajib berakhir, namun kenangannya akan tetap terlukis dalam jiwa yg tak berkesudahan. Seabadi zenit para tuhan. Sekian..