Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Sedianya goresan pena ini artinya menjadi pelengkap goresan pena sebelumnya yang berjudul Carok : Antara Pertaruhan Kehormatan & Balas Dedam, karena nir mengecewakan panjang jadi saya posting terpisah seperti yang sedang sampeyan baca ini.
Pembunuhan memakai memakai senjata tajam yang dalam hal ini clurit & terjadi di Madura, awam gampang menyimpulkan perilaku penuh kekerasan itu menjadi carok, sebuah stereotipe bagi tradisi berdarah Madura. Tapi para antropolog, sosiolog, & sejarawan yang meneliti kebudayaan Madura, khususnya klausul carok, nir menemukan arti harfiah dari kata "carok".
Tapi kita bisa memungkiri, carok & celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Hal ini terdapat di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok adalah simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole & Panembahan Semolo di Madura, nir mengenal budaya tadi. Budaya yang terdapat waktu itu artinya membunuh orang secara kesatria memakai memakai pedang atau keris. Senjata celurit mulai terdapat dalam zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tidak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun buat mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera adalah simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya memakai carok?
Secara etimologis, para ahli sulit menemukan leluhur kata itu karena nir adanya literatur atau bahkan leluri yang dipercaya sahih buat menjelaskannya. Toh, terdapat spekulasi seputar sumber-usul kata carok ini. Ada satu pendapat yang menyatakan bahwa kata carok itu bermula dari kata ujaran rok yang sangat kental berbau kekerasan. Hal ini merujuk dari dalam legenda Ken Arok. Kata arok dalam bahasa Kawi sangat berkait erat memakai kekerasan. Tradisi kekerasan dalam cerita sejarah Ken Arok yang sarat memakai kekerasan inilah yang kemudian menjadi satu pendapat dari sumber usul kata carok tadi.
Penguat hipostesa diatas artinya adanya tradisi duel yang bebas dari tuntutan hukum, sumber dilakukan satu lawan satu secara kesatria, dalam jaman Majaphit. Tradisi ini bisa kita baca dalam buku Utara Manawa karangan Mpu Wilkapa. Namun secara generik, seperti diepakati beserta bahwa carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua famili akbar.
Maka nir mengherankan jikalau kemudian terdapat satu asumsi jikalau carok artinya pelembagaan kekerasan dalam rakyat Madura.
Bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, & Pamekasan. Pemicu dari carok ini bisa berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun. Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura ketika dipimpin Prabu Cakraningrat & abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, kata carok belum dikenal. Bahkan dalam masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M nir terdapat kata carok.
Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula dalam zaman penjajahan Belanda, yaitu dalam abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap & dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan dalam penindas. Senjatanya artinya celurit seperti yang di pakai Sakerah. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan. Namun, dalam masa itu mereka nir menyadari, kalau dihasut sang Belanda. Mereka diadu memakai golongan famili Blater (jagoan) dua bersaudara, Markasan & Manbakri, yang antek-antek Belanda. Senjata Pak Sakera artinya celurit. Karenanya, setiap perkelahian bersenjatakan celurit, buat gampangnya dinamai carok.
Karena pancingan Belanda itulah, & tampaknya ingin menujukkan keberadaan kejagoaannya, golongan blater acapkali melakukan carok dalam masa itu. Pada ketika carok mereka nir memakai senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan rakyat Madura zaman dahulu, akan tetapi memakai celurit menjadi senjata andalannya. Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater memakai tujuan merusak gambaran Pak Sakera menjadi pemilik legal senjata tadi. Karena Pak Sakerah artinya seorang pemberontak dari kalangan santri & seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.
Celurit dipergunakan Sakera menjadi simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan menjadi senjata para jagoan & penjahat. Upaya Belanda tadi rupanya berhasil merasuki sebagian rakyat Madura & menjadi falsafah hidupnya. Bahwa kalau terdapat masalah, perselingkuhan, perebutan tanah, & sebagainya selalu memakai kebijakan memakai jalan carok. Alasannya artinya demi menjunjung harga diri.
Istilahnya lazimnya dalam terminologi rakyat Madura, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mangkat berkalang tanah daripada menanggung memalukan.Tidak heran jikalau terjadi masalah perselingkuhan & perebutan tanah di Madura maupun dalam keturunan orang Madura di daerah lainnya selalu diselesaikan memakai jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang dipergunakan selalu celurit. Begitu juga ketika melakukan aksi kejahatan, juga memakai celurit.
Kondisi semacam itu akhirnya, orang luar Madura mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, nir tahu sopan santun, & kalau membunuh orang memakai celurit. Padahal sebenarnya nir seluruh rakyat Madura demikian. Masyarakat Madura seperti halnya etnis lain. Memiliki sifat halus & ramah sekali. Jika nir percaya monggo ke Madura. Banyak kolega dekat saya yang berasal dari Madura, & juga nir sekali dua kali saya ke kediamannya. Setidaknya itulah kesan saya.
Sejalanya waktu, ketika penjajah Belanda meninggalkan Indonesia termasuk pulau Madura, budaya carok & memakai celurit buat menghabisi lawannya masih permanen terdapat, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tadi yang akan terjadi kreasi leluhurnya, nir menyadari bila yang akan terjadi rekayasa penjajah Belanda.
Cak Man atau nama lengkapnya Tugiman tentangga Pak Lek saya di Gresik yang mana saya numpang dirumahnya ketika sekolah di Gresik suatu kali pernah cerita sama saya. Cak Man ini artinya pelaku carok, hal ini bisa dibukikan dibanyak luka baik di dada maupun punggungnya. Tidak baen baen, Cak Man ini terlibat carok hingga 7 kali sepanjang hidupnya. Pertama kali dia terlibat carok dalam usia 13 tahun. Masih anak anak. Maka nir mengherankan kemudian di Gresik dia terbilang paling dituakan sang warga Madura yang bermukim di Gresik. Beruntung saya mengenalnya sangat dekat.
Kata Cak Man, tapi sekarang saya nir tahu kabarnya bagaimana. Semoga saja masih berlimpah kesehatan. Terakhir kali saya ketemu dia dalam tahun 1999, katika saya menetapkan kerja di Cilegon, Banten. Meskipun dia pernah terlibat carok masal, sejatinya berdasarkan Cak Man, carok artinya duel satu lawan satu. Seperti film koboi Las Vegas itu, & terdapat konvensi sebelumnya buat melakukan duel. Bahkan disertai ritual-ritual tertentu menjadi persiapan menjelang carok.
Kedua belah pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari famili masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan, pembekalan, pengajian, & lainnya. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan & diikhlaskan buat terbunuh. Jadi berdasarkan dia, carok masal itu nir terdapat, dia menyebutnya tawuran masal. Karena nir berdasarkan dari esensi carok yang sesungguhnya.
Mengulang satu penyataan di awal goresan pena ini mengenai sumber usul kata carok, dalam pandangan saya kata carok lebih kental ditentukan budaya Jawa masa kerajaan Singasari. Di mana waktu itu Ken Arok yang merebut kekuasaan membunuh Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, kemudian dia mengawini istrinya, Ken Dedes. Meskipun sebelumnya mendapat kutukan bahwa keturunannya akan saling membunuh hingga tujuh turunan. Istilah carok sendiri hampir sama memakai kata Ken Arok.
Dan memang nir seluruh orang Madura bangga memakai budaya carok, tapi ini artinya sebuah kenyataan wacana budaya & sejatinya budaya carok sangatlah adiluhung. Meski kemudian disalahpahami. Carok menampakan sikap gentlemen orang Madura dalam membela harga dirinya & memenuhi tanggung jawabnya. Meski ini bukanlah wujud pembenaran dalam sarkasme carok itu sendiri. Adapun pepatah yang menjelaskan, etembeng pote mata lebih bagus pote tolang yang menjadi motivasi buat melakukan carok, seharusnya nir dipahami secara eksklusif, karena setiap orang dimana saja nir hanya orang Madura punya pemahaman yang sama buat membela harga dirinya. Saya rasa filosofi hal ini bisa berlaku secara generik, lintas etnis.
Esensi carok itulah yang wajib diluruskan, meski hal ini tidaklah gampang. Tidak terdapat kata carok massal, karena esensi carok yang sebenarnya artinya duel satu lawan satu yang terdapat konvensi sebelumnya. Bahwa dihentikan terdapat yang mengganggu di ketika duel, siapa yang mangkat wajib mendapat, & anak-anaknya nir wajib membalasnya hingga tujuh turunan. Semoga. Urd/2210