Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Bagi sampeyan yang kebetulan orang Jawa, saya yakin tidak asing bersama falsafah satu ini, mangan ora mangan kumpul atau lebih lengkapnya mangan ora mangan sing vital kumpul. Falsafah lama tadi kalau kepada Indonesia-kan berarti makan tidak makan yang pentik berkumpul. Selama ini, kita beranggapan bahwa falsafah Jawa satu ini adalah peninggalan nenek moyang kita.
Apa sahih demikian? Bisa jadi bukan. Jangan-jangan malah peninggalan kolonial Belanda!
Baik, mari kita telusuri sumber-usul falsafah ini. Asal-usul falsafah mangan orang mangan sing vital ngumpul ini bermula menurut Perjanjian Giyanti, sebuah kesepakatan antara VOC, kongsi atau perusahaan dagang Hindia Timur yang dibentuk Pemerintah Belanda bersama pihak Kerajaan/Kasunanan Mataram yang diwakili sang Sunan Pakubuwono III yang menjadi awalnya.
Pembahasan perjanjian ini sebenarnya sudah dimulai sejak September 1755, walaupun baru ditandatangani kepada 13 Februari 1755. Inti perjanjian itu adalah Mataram dibagi menjadi dua bagian. Bagian kepada sebelah timur Kali Opak dikuasai sang pewaris tahta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III & tetap berkedudukan kepada Surakarta (Solo). Sedangkan bagian kepada sebelah barat yang sebenarnya adalah kawasan Mataram yang orisinal, diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus beliau diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwana I, berkedudukan kepada Yogyakarta. Di dalam perjanjian itu pula masih terdapat klausul, bahwa jikalau diharapkan, pihak VOC bisa menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu.
Pertanyaannya, bagaimana mengukur wilayah masing-masing bagian itu? Bukankah kala itu belum terdapat berukuran standar seperti kini ini. Ya, saat itu belum dengan berukuran desimal seperti meter atau pun berukuran lain seperti kaki (feet), tetapi yang dipergunakan adalah karya (karyo). Sebagaimana namanya, karya bekerjasama bersama energi berkarya atau energi kerja. Satu karya dihitung sama bersama 4 energi kerja. Mereka yang dikenal menjadi energi kerja adalah minimal anak-anak yang sudah akil balik. Jadi berukuran kedua kawasan itu diukur menurut banyaknya karya yang tinggal kepada masing-masing bagian.
Dari sinilah lalu timbul istilah mangan ora mangan sing vital kumpul. Jadi orang diminta agar jangan pulang menurut desanya, agar jumlah karya kepada tempat itu tidak berkurang, yang bisa menimbulkan kurangnya berukuran luas kawasan tadi. Oleh karena itu, secara tidak tertentu istilah mangan orang mangan sing vital kumpul bisa dikatakan adalah konsep kolonial. Pihak kolonial, dalam hal ini VOC, secara tidak tertentu memaksa masyarakat buat makan tidak makan yang vital berkumpul. Tujuannya agar jumlah karya kepada situ tidak berkurang. Nuwun.