Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Bangsa yang akbar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kira-kira demikian bunyi ungkapan bijak. Dalam pelajaran sejarah di sekolah, diajarkan kepada kita tentang kebesaran kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sriwijaya, Majapahit & Mataram adalah kerajaan nusantara yang pernah memiliki wilayah yang sangat luas. Kerajaan Mataram memang tidak seluas Sriwijaya & Majapahit, tapi wilayahnya mencakup sampai pulau Jawa & Madura.
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan Sultan Agung merupakan raja Mataram terbesar yang bercita-cita mempersatukan Nusantara. Pada masanya, kekuasaan Mataram mencapai Palembang di Sumatera & Sukadana di Kalimantan. Sultan Agung pula menjalin interaksi diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan akbar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah & kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung & mengenalkan sistem-sistem pertanian. Sultan Agung menaruh perhatian akbar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung pula diklaim penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Namun sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami kemunduran sampai masa keruntuhannya. Sunan Amangkurat I, penerus Sultan Agung, justru membawa Mataram pada sejarahnya yang paling kelam.
Pada episode yang penting-penting saja yang ingin saya tuliskan untuk kerabat perkerisan sekalian, baik yang merujuk asal wikepedia maupun asal novel epos karya Ardian Kresna Amangkurat: Mendung Memekat di Langit Mataram yang menandai sejarah kelam Sunan Amangkurat I ketika memerintah Mataram.
Amangkurat I merupakan anak tertua asal Sultan Agung & Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), bernama Mas Sayidin /Arya Mataram yang menikah dengan anak bibinya Ratu Pandan Sari (Adik kandung sultan Agung) dengan Pangeran Pekik, yang merupakan Adipati Surabaya.
Saat menerima warisan asal orang tuanya berupa kerajaan Mataram, wilayah kekuasaannya meliputi hampir semua tanah Jawa kecuali Banten, Batavia di Barat & Blambangan di Timur. Namun Blambangan pada akhirnya dapat ditundukkan oleh Mataram.
Peristiwa yang membuat kerajaan Mataram runtuh dikarenakan keinginan Amangkurat I memiliki selir yang masih dibawah umur yang bernama Roro Oyi, karena belum akil baliq, maka dititipkanlah kepada orang tuanya, namun Anak asal Amangkurat I yang kelak menjadi Amangkurat II (Adipati Anom), pula ikut menyenangi Roro Oyi karena senangnya sampai-sampai sakit yang tidak dapat sembuh-sembuh.
Selengkapnya baca Kisah Tragis Dua Wanita Pemicu Runtuhnya Mataram
Kemudian kakeknya Pangeran Pekik & ratu Pandan sari meminta kepada orang tua Roro Oyi, yang kebetulan orang Surabaya. Orang tua Roro Oyi akhirnya menyerahkan anaknya pada Pangeran Pekik & menikahkan dengan Amangkurat II tanpa memberitahu Amangkurat I, yang pada akhirnya Amangkurat I marah sekali & membunuh Pangeran Pekik serta bibinya sendiri Ratu Pandansari bareng pembantu-pembantunya sebanyak 40 orang dengan tangannya sendiri, termasuk menyuruh Amangkurat II membunuh Roro Oyi sendiri.
Karena peristiwa tragis ini, membuat Adipati Anom (Amangkurat II) sakit hati dalam waktu lama, pada suatu ketika teringat akan Kakeknya yang memiliki kerabat yaitu Panembahan Rama di Kajoran yang masih kerabat dengan Pangeran Pekik.Yang menyarankan untuk meminta bantuan Pangeran Trunojoyo putra Adipati Cakraningrat. Pada saat Adipati Anom meminta bantuan Pangeran Trunojoyo inilah yang membuat seolah Pangeran itu mendapat restu asal kerabat Kraton.
Selengkapnya baca Sejarah Lengkap Pemberontakan Trunojoyo
Ketidak sukaan Pangeran Trunojoyo terhadap Amangkurat I disebabkan oleh tindakan yang semena-mena membunuh Ulama-ulama yang tidak sehaluan. Menurut beberapa catatan yang tidak termuat dalam Babad Tanah Jawi, telah terjadi pembantaian lebih asal 6000 orang ulama.
Sebenarnya gelagat Trunojoyo sudah diketahui oleh Amangkurat I, sehingga dikirim armada ke Surabaya sebanyak 3 kali dengan dibantu oleh kompeni, namun semuanya gagal, bahkan pada penyerangan yang terakhir inilah. Saat sisa pasukan Mataram sedang kembali, ternyata Trunojoyo melalui poros Kediri pribadi menuju ke Ibukota. Jadi Mataram diserang melalui 2 arah, baik asal utara maupun asal Timur. Sehingga terjadilah penyerbuan oleh Pangeran Trunojoyo terhadap Plered (ibukota Mataram saat itu), yang membuat Amangkurat I lari asal Plered menuju ke Batavia untuk meminta bantuan kompeni.
Sifat-sifat otoriter Amangkurat I telah terlihat setelah ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan asal Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia memerintahkan untuk membuat bata demi membangun keraton baru yang lebih megah. Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat asal kayu, kali ini Amangkurat I membangun Keraton yang terbuat asal batu bata & dilingkupi parit akbar.
Pemindahan ibukota dengan bentuk keratonnya yang dilingkupi parit akbar ini di kemudian hari ternyata secara tepat menggambarkan kepribadian Amangkurat I yang terasing asal rakyatnya. Hal ini pula menandakan ketakutannya yang akut akan keamanan dirinya, yang sebenarnya merupakan buah asal pemerintahannya yang otoriter & kekejamannya yang tak terperikan.
Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dipenuhi dengan drama politik yang mencekam. Siasat & intrik politik, pengkhianatan, pembunuhan & pemberontakan terjadi silih berganti. Pada masanya, banyak pembunuhan dilakukan untuk membungkam siapa saja yang menentang pemerintahannya. Sebaliknya, banyak pula pemberontakan yang dilakukan oleh penguasa lokal yang sebelumnya setia di bawah pemerintahan Sultan Agung.
Korban pertama pembunuhan yang dilakukan di awal pemerintahannya adalah Tumenggung Wiraguna, yang sebenarnya merupakan abdi dalem senior di masa Sultan Agung. Pada awal pemerintahannya, Amangkurat I mengirim Tumenggung Wiraguna untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di daerah yang jauh asal famili & para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Tidak hanya itu, Amangkurat pula memerintahkan untuk membunuh semua yang terlibat mendukung Tumenggung Wiraguna. Perintah tersebut menjadikan terbunuhnya banyak wanita & anak-anak yang tak bersalah, termasuk famili Tumenggung.
Adik Amangkurat I, Pangeran Alit merasa turut terancam karena sebenarnya ia termasuk ke dalam gerombolan Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati ulama-ulama untuk meminta perlindungan. Di saat yang sama ia mengumpulkan mitra-kawannya untuk melancarkan serangan terhadap sang Kakak. Dalam sebuah pertempuran yang tak seimbang, pasukan Amangkurat dengan gampang menghabisi pasukan pendukung Pangeran Alit, sampai menyisakan Pangeran Alit seorang diri.
Referensi untuk di baca pula Sisi Kelam Ratu Amangkurat : Perselingkuhan & Intrik Wangsa Mataram
Amangkurat I akhirnya membiarkan para mantrinya untuk membunuh Pangeran Alit atas alasan pembelaan diri. Dengan itu bersihlah tangan sang Amangkurat asal darah adiknya sendiri. Kejadian selanjutnya Amangkurat I kembali melakukan pembunuhan. Kali ini terhadap mertuanya sendiri, Pangeran Pekik bareng anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap dirinya. Pangeran Pekik asal Surabaya dibantai bareng dengan sebagian akbar anggota keluarganya pada misalnya yang sudah saya ketengahkan di atas. Paman raja pun, yang merupakan saudara laki-laki Sultan Agung, Pangeran Purbaya, hampir saja dibunuh. Beruntung mak suri kerajaan turun tangan untuk menyelamatkannya.
Di antara pemberontakan-pemberontakan yang muncul karena penentangannya terhadap kekuasaan Amangkurat I, Trunojoyo asal Madura tandingannya.menentang kekuasaan. Kekuatan Trunojoyo bertambah bertenaga seiring meningkatnya ketidakpuasan para pejabat & rakyat Mataram terhadap Amangkura I. Singkatnya, pasukan Trunojoyo berhasil mengalahkan kekuatan Mataram-kompeni & memasuki keraton Plered.
Namun sebelumnya, Amangkurat I bareng beberapa anggota famili & putranya telah melarikan diri asal Keraton, & bermaksud menuju Batavia untuk berlindung ke Belanda. Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak tahu bukti diri mantan junjungannya tersebut. Ia pun harus rela menyerahkan emas & uang yang dibawanya.
Dalam pelariannya, Amangkurat I jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun bantuan gratisputranya, Mas Rahmat. Meski demikian, ia tetap menentukan Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang & itu pun hanya sebentar. Akhirnya Amangkurat I meninggal di desa Wanayasa, Banyumas. Raja yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan kemudian dibawa ke Tegalwangi & dikebumikan di sana. Nuwun.
https://duniakeris.com/
https://duniakeris.com/shop/
https://duniakeris.com/category/dapur/
https://duniakeris.com/category/pamor