Dunia Keris -Sebuah desa kedapatan poly warganya yang mengidap bisu tuli. Mereka dipercaya sebagai tumbal dari ketentraman desa itu. Namun, si bisu pun hidup secara normal. Luar biasa!
Memasuki kampung pada ketinggian 800 mdpl ini, kita seakan merambah sebuah kawasan aneh pada muka bumi. Hal ini setidaknya sangat terasa ketika kita coba berinteraksi dengan orang-orang yang berada pada sana. Mengapa? Karena kemana-mana mata diarahkan, kita hanya akan terbentur pada orang-orang yang berkomunikasi dengan isyarat, dan, begitulah cara mereka berkomunikasi.
Ya, begitulah suasana pada Desa Bengkala, Singaraja, Bali. Tempat yang saya ceritakan ini memang ialah sebuah dusun yang ada poly warganya gagu. Suasana keseharian pada kampung yang penduduknya kebanyakan bertani ini sepintas wajar saja. Mereka berladang cengkeh, mereka bergotong royong dan belanja pada warung. Semuanya normal saja persis mirip kampung pegunungan yang lain. Yang etrasa menjadi lain ialah mereka akan menggunakan bahasa isyarat.
Bahasa isyarat yang dipakai warga Desa Bengkala ini berlainan dengan bahasa isyarat yang ada pada TV, disini semua orang sudah tahu akan pertanda-pertanda khas, misalnya si bisu sedang lapar, marah atau kelelahan mereka punya sandinya sendiri.
Asal usul orang Kolok ini berawal dari tahun 1940 an, dimana pada desanya muncul seseorang kolok. Warga setempat sendiri percaya, orang kolok tersebut merupakan titisan makhluk halus dan diperkirakan pada Desa Bengkala ini jumlah orang Kolok mencapai 40 jiwa dari 2275 jiwa pada desa tersebut.
Orang Kolok sendiri umumnya berprofesi sebagai petani, kuli bangunan dan penari. Perkimpoian antara orang Kolok sendiri kerap terjadi pada desa ini, dimana keturunannya akan mengalami cacat, bisu dan tuli.
Sebagaimana mata pencaharian warga Bengkala pada umumnya, mata pencaharian Orang Kolok antara lain sebagai petani, kuli bangunan dan penjaga keamanan, dan karena keterbatasannya, Orang Kolok dari kecil hingga dewasa tidak mengenyam pendidikan formal.
Dalam komunikasi sehari-hari, Orang Kolok menggunakan bahasa isyarat, dan menurut keterangan Kepala Desa Bengkala, I Made Astika, seluruh warga Bengkala menguasai bahasa isyarat, terlepas apakah mereka bisu tuli atau tidak, uniknya, mereka yang bukan Orang Kolok, meskipun fasih berbicara, lebih suka menggunakan bahasa isyarat.
Berbeda dengan bahasa isyarat standar internasional dalam komunikasi bagi penderita tuna rungu dan tuna wicara, bahasa isyarat Orang Kolok jauh lebih sederhana dan mampu dipelajari dalam waktu yang relatif singkat.
Sebagai model, bahasa isyarat Orang Kolok untuk makan ialah mengarahkan jemari tangan ke arah perut dan memegang perut seandainya lapar, selain itu, menggerakkan ujung telunjuk sebagai arti laki-laki dan menautkan ujung telunjuk dengan ujung jari tengah membentuk bulat untuk perempuan, atau, mengaitkan telunjuk kanan dengan telunjuk kiri sebagai simbol perkimpoian (atau persetubuhan).
biasanya dipentaskan, namun pada tari janger ini ditarikan oleh orang orang penderita kolok dan hanya diiringi oleh alat musik kendang sebagai pengatur irama. Disebutkan bahwa tarian ini terlahir ketika masyarakat setempat telah merasa bosan dengan hiburan hiburan rakyat yang biasa dipentaskan mirip misalnya joged maupun hiburan rakyat lainnya, sebagai akibatnya muncul wangsit untuk membuat suatu hiburan yang lain daripada yang lain dan terbentuklah sanggar tari janger kolok ini yang ternyata relatif pada kenal hingga ke manca negara.
Ada satu hal yang mungkin bisa dipetik dari para penderita kolok ini, bukan dari keunikan desanya, namun kita bisa belajar dari kreativitas yang bisa terlahir dari orang orang yang mempunyai keterbatasan fisik namun mampu menghasilkan karya yang tidak kalah hebat dengan orang orang normal.