Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Ada beberapa tulisan saya sebelumnya yang membincang ihwal tragedi Bubat. Sedianya tulisan yang sampeyan baca ini saya akan update-kan pada tulisan sebelumnya, karena pertimbangan tulisan ini terbilang panjang maka kemudian saya putuskan untuk saya posting menggunakan judul sendiri. Anggap saja ini adalah versi yang lain dari tragedi Bubat tersebut, karena kenyataannya tragedi Bubat ini beragam versi yang lengkap menggunakan kontoversialnya.
Aika sampeyan tertarik untuk membaca tulisan sebelumnya berikut ini adalah tulisan tersebut, Perang Bubat : Romantisme & Kekuasaan & Dyah Pitaloka : Korban Ambisiusnya Gajah Mada.
Tak berlebihan kiranya, andai saja tragedi atau lebih tepatnya perang Bubat yang terjadi hampir 700 silam ini cukup menarik untuk dikaji & diperbincangkan. Tulisan ini tidak mengajak sampeyan untuk membuka luka lama & melestarikan dendam yang diwariskan oleh Belanda tersebut.
Tentunya bukan tanpa alasan, apa yang sedang kita bincang ini menyisakan dendam kolektif, antara orang Jawa & Sunda atas terjadinya tragedi Bubat. Bukan hanya itu saja, peritiwa Bubat ini juga melahirkan beragam versi menggunakan latar alasan mengapa peritiwa itu terjadi, tetapi juga memunculkan ragam versi cerita yang berkaitan menggunakan apa yang terjadi setelah peristiwa Bubat.
Tulisan yang sedianya akan saya update-kan pada tulisan sebelumnya ini saya dapatkan dari milis dari satu forum, berikut ini saya akan cuplikkan salah satu cerita yang berkembang secara verbal di lingkungan keluarga yang masih ada korelasi trah menggunakan kerajaan Majapahit.
Dalam Kidung Sundayana disebutkan bahwa raja Sunda, permaisuri, & putrinya (Dyah Pitaloka) bertolak ke Majapahit yang diiringi 200 kapal akbar & kapal mungil yang jumlahnya mencapai 2.000. dalam Kidung Sundayana ini, raja Sunda dikisahkan menaiki jung buatan Cina. Informasi dari Kidung Sundayana atau Kidung Sunda yang diterbitkan C.C. Berg menggunakan judul Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch pada 1928 ini, meski harus dikonfirmasi menggunakan sumber lain kesahihannya, menunjukkan bahwa jumlah rombongan dari kerajaan Sunda beribu-ribu orang.
Pun halnya Majapahit, dalam Kidung Sundayana juga digambarkan saat itu mengadakan persiapan penyambutan tamunya dari kerajaan Sunda yang tak kalah besarnya pula. Digambarkan juga raja Hayam Wuruk beserta dua pamannya, Bhre Kahuripan & Bhre Daha sudah berkumpul di Bale Agung beserta para menteri menggunakan penuh suka cita. Tapi sayangnya, semua yang awalnya suka cita tersebut mendadak masygul ketika melihat raut wajah Gajah Mada yang menyiratkan rasa kecewa. Bahkan, Gajah Mada tidak sungkan menggunakan mencela Hayam Wuruk menggunakan berkata bahwa kurang tepat raja merendahkan diri menyongsong seorang raja bawahan.
Siapa yang tahu apakah orang-orang Sunda itu tidak datang sebagai musuh yang menyamar sebagai sahabat? Gajah Mada mempersilakan Hayam Wuruk agar tinggal di keraton & menunggu. Hayam Wuruk yang saat itu terbilang masih belia, usianya belum genap tujuh belas tahun, menurut saja kepada hasrat Gajah Mada menggunakan memerintahkan semua agar balik ke keraton & membatalkan semua upacara penyambutan. Para menteri terkejut ketika mendengar perintah tak terduga itu, tetapi mereka takut kepada raja & patih sehingga semua diam saja tidak menentangnya.
Setelah memaparkan secara panjang lebar perselisihan yang terjadi antara Patih Sunda bernama Anepaken & pejabat tinggi Sunda menggunakan Gajah Mada yang berujung pada pecahnya perang, yang diikuti bela pati permaisuri, putri raja, & istri para mantri Sunda yang melakukan bunuh diri di atas jenazah suami-suami mereka. Setelah itu, secara panjang lebar digambarkan bagaimana penyesalan Hayam Wuruk atas peristiwa itu, yang membuatnya ingin mengikuti jejak mempelainya ke alam baka, yang dilanjutkan upacara mendoakan arwah para korban.
Langkanya catatan historis dari peristiwa Bubat yang memalukan yang mirip sengaja ditutup-tutupi itu, pada gilirannya menimbulkan banyak tanda tanya yang berujung pada munculnya berbagai spekulasi yang melahirkan berbagai varian cerita bersifat historiografi ataupun verbal mirip cerita bahwa Gajah Mada berasal dari Galuh, cinta terpendam Gajah Mada terhadap Dyah Pitaloka, & bahkan kisah saling cinta antara Gajah Mada & Dyah Pitaloka.
Lepas dari pembenaran cerita-cerita semacam itu, dalam aspek kesejarahan langkanya catatan-catatan historis ihwal peristiwa tragis di Bubat, telah menimbulkan sejumlah pertanyaan yang tidak mudah dijawab mirip berapakah sesungguhnya jumlah rombongan dari kerajaan Sunda yang gugur dalam peristiwa tersebut? Adakah pejabat atau prajurit Sunda yang mengiringi raja Sunda masih hidup setelah peristiwa tersebut? Di-dharma-kan di manakah jenazah raja Sunda beserta permaisuri & putri serta pengiringnya?
Sekalipun Kidung Sunda menggambarkan kehadiran rombongan Raja Sunda menggunakan hitungan kapal-kapal akbar sejumlah 200 ditambah kapal-kapal mungil sampai 2.000 buah, tidak ada penjelasan terperinci ihwal berapa jumlah pasti rombongan raja Sunda yang terbunuh dalam peristiwa Bubat. Kidung Sunda hanya mencatat adanya 300 prajurit pengawal yang mengiringi patih Anepaken ditambah sejumlah pejabat penting kerajaan Sunda saat berselisih menggunakan Gajah Mada.
Selain itu, Kidung Sunda mencatat bahwa dari sejumlah prajurit pengawal raja yang sudah bertekad untuk gugur bersama sang raja, ternyata masih ada yang hidup, yang digambarkan sebagai mantri Sunda bernama Pitar yang pura-pura mati di antara jenazah para korban & membiarkan dirinya ditangkap pasukan Majapahit. Setelah dibebaskan pasukan Majapahit, Pitar dikisahkan melapor kepada permaisuri raja Sunda & putrinya ihwal peristiwa tragis yang dialami sang raja beserta semua pengikutnya, yang membuat permaisuri, selir, putri, & istri para mantri Sunda sepakat untuk melakukan bela pati, menggunakan bunuh diri di atas jenazah suami-suami mereka.
Dari cerita mantri Sunda bernama Pitar, dapat disimpulkan bahwa setelah peristiwa tragis dialami raja Sunda di Bubat, pasukan Majapahit di bawah Hayam Wuruk datang ke medan tempur Bubat. Pasukan inilah yang menemukan Pitar & kemudian menangkap, tetapi kemudian membebaskannya. Itu menunjukkan bahwa tidak semua pasukan Majapahit di bawah komando Gajah Mada. Bahkan, pada akhir cerita Kidung Sunda digambarkan bagaimana semua orang Majapahit di bawah Bhre Kahuripan & Bhre Daha, paman Hayam Wuruk, menyalahkan Gajah Mada, kemudian memerintahkan untuk membunuh patih tersebut.
Kidung Sunda tidak sedikit pun memberitakan letak pasti para korban Bubat di-dharma-kan. Kidung Sunda hanya menuturkan bahwa jenazah putri raja Sunda ditemukan di pesanggrahan & bukan di Bubat. Sementara dalam cerita tutur yang berkembang dikisahkan bahwa putri Sunda di-dharma-kan di lingkungan keraton Majapahit di suatu tempat yang dinamai Citra Wulan (Rembulan yang mengagumkan. Sekarang tersisa pada nama toponimis Trowulan).
Di kompleks situs Trowulan terdapat satu reruntuhan candi yang dikenal penduduk menggunakan nama Candi Kenconowungu, yaitu nama seorang ratu wanita Majapahit dalam dongeng yang biasanya dipentaskan dalam cerita Damarwulan. Apakah yang dikenal Candi Kenconowungu itu sebenarnya pen-dharma-an putri Sunda? Perlu dilakukan penelitian lebih dalam.
Sementara masih dalam kompleks situs Trowulan tidak jauh dari Candi Kenconowungu, terdapat tempat bernama Sentanarajya (Keluarga Kerajaan. Sekarang tersisa pada nama toponimis Sentanareja) di mana ditemukan situs Sumur Upas (sumur beracun). Apakah di Sentanareja ini raja Sunda beserta permaisuri & selir di-dharma-kan? Perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
Akibat psikologis dari peristiwa Bubat yang mirip sengaja ditutupi itu, sampai sekarang menyebabkan masyarakat Sunda secara umum memiliki asumsi bahwa dalam peristiwa Bubat itu raja Sunda beserta seluruh rombongannya gugur tak bersisa. Timbulnya asumsi semacam itu dapat dipahami karena semenjak pecahnya peristiwa memilukan tersebut korelasi Majapahit menggunakan Sunda dapat dikatakan terputus.
Apa yang terjadi di Majapahit tidak banyak diketahui pihak Sunda, demikian sebaliknya. Namun di balik semua asumsi ihwal habis tanpa sisanya rombongan Sunda dalam peristiwa Bubat, perlu dilakukan penelitian untuk memperjelas apakah asumsi tersebut memiliki dasar yang bisa dibenarkan secara historis.
Lepas dari benar & tidaknya asumsi-asumsi seputar habisnya rombongan raja Sunda dalam peristiwa Bubat, di tengah masyarakat Jawa berkembang cerita-cerita verbal & catatan historiografi yang disertai silsilah genealogi keluarga-keluarga bangsawan keturunan Majapahit yang mengaitkan genealogi sejumlah keluarga feodal Jawa menggunakan orang-orang Sunda yang terlibat dalam peristiwa Bubat.
Cerita-cerita itu berkembang secara turun-temurun di dalam keluarga-keluarga yang memiliki korelasi menggunakan raja-raja Majapahit akhir, terutama keturunan Sri Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451) yang masyhur dikenal menggunakan nama Prabu Brawijaya V.
Dalam naskah Tedhak Poesponegaran (catatan silsilah genealogis keturunan Kyai Tumenggung Poespanegara, Bupati Gresik pertama, 1688-1696) diperoleh penjelasan bahwa Kiai Tumenggung Poespanegara adalah keturunan kesepuluh Maharaja Majapahit Sri Prabu Kertawijaya.
Dijelaskan dalam naskah tersebut bahwa Sri Prabu Kertawijaya adalah putra Prabu Brawijaya IV Sri Prabu Wikramawardhana dari seorang selir putri Sunda bernama Citraresmi. Dari perkawinan itu lahir Ratu Puteri Suhita & adiknya Dyah Kertawijaya yang kelak menjadi Sri Prabu Kertawijaya. Tidak ada penjelasan ihwal siapa putri Sunda bernama Citraresmi itu kecuali cerita verbal keluarga bahwa putri yang menjadi leluhur keturunan Sri Prabu Kertawijaya itu adalah putri seorang Sunda bernama Sutraja. Senapati Sutraja yang dikisahkan gugur dalam peristiwa Bubat, rupanya meninggalkan seorang istri yang mengandung yang dijadikan abdi oleh Bhre Paguhan Singhawardhana, ayahanda dari Prabu Wikramawardhana.
Meski tidak ada catatan resmi ihwal selir Prabu Wikramawardhana bernama Citraresmi yang melahirkan Ratu Stri Suhita & Sri Kertawijaya, yang pasti nama Citraresmi, Suhita, & Kertawijaya bukanlah nama yang lazim dipakai di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.
Sumber lain yang berhubungan menggunakan orang-orang Sunda yang terkait peristiwa Bubat adalah silsilah genealogi keturunan Aria Damar, Adipati Palembang. Dalam semua historiografi Jawa, disebutkan bahwa Aria Damar adalah putra Sri Prabu Kertawijaya menggunakan seorang perempuan bernama Endang Sasmitapura. Aria Damar dibesarkan oleh ibu & uwaknya, Ki Kumbarawa di pertapaan Wanasalam (nama hutan di selatan Majapahit). Selama menjalankan tugas sebagai panglima perang Majapahit, Aria Damar dikisahkan memiliki empat istri. Dari istri bernama Sagung Ayu Tabanan lahir putra bernama Arya Jasan yang menurunkan raja-raja Tabanan di Bali.
Dari istri bernama Wahita lahir putra bernama Arya Menak Sunaya yang menurunkan raja-raja Madura. Dari istri bernama Nyi Sahilan lahir putra bernama Raden Sahun Pangeran Pandanarang yang menurunkan bupati-bupati Semarang & Sunan Tembayat. Dari istri Cina bernama Retno Subanci lahir putra bernama Raden Kusen yang setelah dewasa menjadi Adipati Terung yang menurunkan bupati-bupati di Jawa Tengah, Jawa Timur, & Jawa Barat.
Dalam silsilah genealogi keturunan Aria Damar diperoleh penjelasan ihwal kakek Aria Damar dari pihak ibu, yang bernama Kaki Palupa. Siapakah Kaki Palupa? Dalam cerita verbal dituturkan bahwa Kaki Palupa adalah seorang kepala prajurit Sunda yang selamat dari peristiwa pembunuhan Bubat karena memiliki ilmu bhairawa.
Kaki Palupa dikisahkan tinggal di hutan Wanasalam & mendirikan pertapaan di sana. Dari pernikahan Kaki Palupa menggunakan Nyi Palupuy, lahir Ki Kumbarawa & Endang Sasmitapura. Lepas dari benar & tidaknya kisah tersebut menggunakan fakta sejarah, yang pasti nama Palupa, Palupuy, Kumbarawa, & Endang Sasmitapura bukanlah nama yang lazim dipakai di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat ditarik sejumlah simpulan dari cerita yang berkaitan menggunakan peristiwa Bubat yang berhubungan menggunakan pelacakan jejak sejarah atas peristiwa tragis tersebut.
Pertama, dalam peristiwa Bubat tidak semua pengiring raja Sunda yang digelari nama anumerta Sri Maharaja Linggabhuwana Sang Mokteng Bubat tersebut, gugur. Sebagian mereka tinggal bersama keluarga raja Majapahit & keluarga-keluarga keturunan Sunda yang tinggal di Majapahit semenjak masa Sri Kertarajasa atau Raden Wijaya atau juga Jaka Sesuruh yang berasal dari kerajaan Sunda merintis berdirinya Kerajaan Majapahit.
Kedua, menggunakan naik tahtanya Prabu Sri Suhita (Maharani Majapahit 1427 1447) yang diteruskan Sri Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451), tahta Majapahit yang ditegakkan orang Sunda bernama Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh, balik diduduki oleh raja-raja keturunan Sunda.
Fakta historis terkait sisa peninggalan Prabu Stri Suhita yang terabadikan dalam wujud kompleks Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu & peninggalan Sri Prabu Kertawijaya dalam wujud kompleks Candi Cetho, menunjukkan ciri aneh yang sangat berbeda menggunakan candi-candi peninggalan Majapahit lain, baik dalam hal susunan, struktur, ragam hias, simbol-simbol ikonografis, jenis cerita relief, bahkan pantheon dewa-dewa yang justru menunjukkan kemiripan menggunakan arca Sanghyang Dengdek di Gunung Pulasari Banten, arca Caringin, arca Gunung Raksa, & arca Pulau Panaitan.
Bernet Kempers (1959), Soekmono (1973) & Nigel Bullough (1995) yang tidak cukup mengetahui bahwa Suhita & Kertawijaya berdarah Sunda, menyikapi keanehan yang terdapat pada Candi Sukuh & Candi Cetho menggunakan simpulan bahwa pada era kedua maharaja kakak beradik itu, terdapat tanda-tanda kebangkitan balik anasir animisme lama berupa pemujaan arwah leluhur.
Ketiga, di antara puluhan silsilah genealogi yang dimiliki keluarga-keluarga bangsawan Jawa yang mengaku keturunan Majapahit, semuanya bertemu pada tokoh historis Sri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V, yang dalam sejumlah versi digambarkan memiliki 24 orang istri & 117 orang putra & putri.
Itu dapat disimpulkan, ibarat pepatah mati satu tumbuh seribu, gugurnya Maharaja Sunda beserta rombongan dalam peristiwa Bubat, tidaklah melenyapkan sama sekali pengaruh Sunda di Majapahit, melainkan malah memunculkan maharaja-maharaja Majapahit berdarah Sunda mirip Prabu Stri Suhita, Sri Prabu Kertawijaya beserta putra-putra & cucu-cucunya mirip Bhre Wengker Hyang Purwawisesa (1456-1466), Bhre Pandan Salas (1466-1468), Sri Prabu Singha Wikramawarddhana (1468-1474), Sri Prabu Natha Girindrawarddhana (1478-1486).
Bahkan, saat tahta Majapahit jatuh ke tangan Bhre Wijaya yang timbul dari garis keturunan Bhre Pamotan Sang Sinagara, kekuasaan Majapahit diakhiri oleh serangan yang dilakukan oleh putra & cucu Sri Prabu Kertawijaya yang berkuasa di Demak: Raden Patah & Sultan Trenggana. Nuwun.
Dirangkum dari berbagai sumber