Anak baduy dalam
Benar juga muncul yang membicarakan saat berada di Baduy Dalam, malam hari akan terasa lebih lama dibandingkan kita diluar, padahal baru sekitar jam 8 malam, tapi rasanya sudah seperti jam 12 malam saja. Ingin rasanya cepat bertemu dengan pagi, terlebih tidak poly yang bisa dilakukan kepada malam di sini apalagi tidak muncul listrik. Benar-betul serasa hidup di abad pertengahan.
Saat berada dalam famili orang Baduy Dalam ini muncul yang menarik buat saya ceritakan sekaligus melengkapi tulisan saya sebelumnya di perkerisan ini. Ketika itu saat kami sedang asyiknya menikmati segelas kopi hitam sehabis makan malam, sempat saya iri melihat Mang Idong & famili sedang asyik menyantap nasi plus mie instan dengan lauk ikan asin yang kami bawa dengan lahapnya. Mereka makan dengan dalam satu famili terdiri bapak, ibu, anak dalam sebuah pelepah pisang. Mungkin bagi kita menu makan seperti ini biasa saja, tapi makan secara dengan-sama apalagi dalam satu wadah saya rasa itu suatu hal yang luar biasa. Makan seperti itu mampu menghangatkan suasana famili juga membuatnya semakin dekat & akrab.
Dari Cleo saya mampu keterangan jika kita sedang di Baduy Dalam, percuma saja membawa sabun, odol, shampoo atau apappun itu buat yang yang berjenis deterjen. Mereka (orang baduy dalam) memang sangat menghargai juga menjaga tanah & sungai supaya tetap alami & bersih, sampai-sampai bahan deterjen pun sangat tidak boleh buat mengotori kampung mereka. Saya ingat ketika melihat isu muncul beberapa daerah di Banten beberapa bulan yang lalu krisis air tanah, bukan hanya semakin mengering tapi juga sudah bercampur dengan limbah deterjen dari tempat tinggal tangga maupun pabrik. Itulah bahayanya deterjen bila sisa pemakaiannya langsung dibuang kesungai atau tanah.
anak-anak baduy dalam
Saya rasa dalam hal ini orang Baduy memang lebih cerdas dari kita dalam memanfaatkan alam sebaik mungkin, buktinya buat mandi saja mereka memanfaatkan btg pohon honje (saya tidak tahu pohon honje ini seperti apa) sebagai sabunnya, juga serabut kelapa sebagai sikat giginya semacam siwak. Untuk Urusan membilas sandang, mereka memang tidak menggunakan pemutih, sabun apalagi pewangi sandang. Cukup dengan di gosokan dengan batu-batu di sungai, sandang mereka langsung bersih bak seperti di iklan pencuci sandang. Satu lagi, pernah mendengar abu gosok? Nah kalau mencuci alat-alat tempat tinggal tangga seperti sendok, piring maupun gelas mereka pakai abu gosok. suatu hal sangat jarang dilakukan sang orang modern saat ini menggunakan abu gosok, bahkan tukang abu gosok pun seperti sudah menghilang dari bumi. Walau memang ribet, tapi menggunakan abu gosok diyakini tidak akan mengganggu lingkungan karena berasal dari sisa pembakaran tanaman juga.
Kembali menyambung tulisan sebelumnya, pagi-pagi sekali saya bangun & ingin melihat dari dekat pembatas dari bambu yang menandai daerah terlarang buat tamu/pengunjung. Rupa-rupanya pak Jaro Daina sudah menunggu di teras tempat tinggal dinasnya & tidak berapa lama kemudian si Cleo menyusul.
Ada satu cerita menarik ketika membahas perihal pernikahan. Ternyata orang Baduy buat urusan yang satu ini tidak bisa memilih alias dijodohkan & wajib mendapatkan. Orang Baduy memang poly yang menikah muda atau istilahnya pernikahan dini. Lanjut ke cerita awal, lalu dia (Jaro Daina) bercerita bahwa menikah di Baduy Dalam tidak melalui proses pacaran tetapi dijodohkan langsung dengan orang tua. Dan pastinya dijodohkan dengan orang baduy dalam juga. Bisa dari satu kampung atau pun dua kampung Baduy dalam lainnya.
Kalau tidak suka sama jodohnya bagaimana, Pak? tanyaku.
Ya hanya di pendam saja dalam hati . Luar biasa sekali mereka akan bakti sama orang tua. Inilah esensinya kata Cleo. Dan saya selalu ketawa saat Cleo ini sedari bepergian ke dalam sampai pulang pun selalu mengucapkan esensi.
dengan Mang Idong sekeluarga
Orang Baduy sebenarnya sangat terbuka dengan pendatang (bukan orang bule, tionghoa). Kesan angker tidak sama sekali terpancar, yang muncul malah keramahan & murah senyum & kesajaan mereka. Buktinya mereka bersedia rumahnya dijadikan tempat menginap sementara, juga rela mengolah makanan bagi para tamunya. Namun jangan lupa buat membawa logistik tentunya berupa beras & lauknya, jangan sampai mereka yang menyediakan logistik buat kita.
Begitu sampai di Baduy dalam saya sempat berpikir bahwa enak juga ya kalau tinggal di Baduy dalam lebih lama, karena tidak akan bertemu dengan stress, polusi & lainnya. Ternyata Ijin tinggal di Baduy dalam hanya boleh dua malam saja. Kata Pak Jaro Daina dulu pernah muncul yang tinggal sampai sebulan, tentu bukan maksud buat jalan-jalan semata, mereka artinya para peneliti dari universitas di daerah bandung. Terus mereka menginap di tempat tinggal orang situ selama sebulan? Tentu tidak, kepada akhirnya masyarakat suku baduy dalam pun bergotong royong buat membuatkan sebuah tempat tinggal khusus bagi para peneliti tersebut. Masyarakat Baduy memang dikenal sangat bergotong royong satu sama lain. Terutama jika ingin membangun tempat tinggal, maka mereka rela buat menyediakan tenaganya tanpa di bayar sepeserpun uang.
Mungkin bagi sebagian orang termasuk saya sendiri, tidak menggunakan alas kaki kemanapun adalah hal yang tidak biasa & kesannya aneh saja. Sangat berbeda dengan orang Baduy Dalam, mereka harus, kudu, wajib buat tidak menggunakan alas kaki alias nyeker kemanapun, sekalipun itu di mal. Itu adalah ketentuan dari leluhur. Walau begitu, ketika masuk tempat tinggal, mereka akan selalu mencuci kaki dengan air dalam sebuah wadah bambu semacam kentongan yang sudah di siapkan di depan tempat tinggal, kemudian mengalas kaki kepada kain kecil berwarna biru kehitaman.
bepergian
Saya masih ingat sekali saat Cleo sangat terkesan akan bak sampah di pemukiman Baduy ini, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Hampir bisa dipastikan terdapat bak sampah yang terbuat dari anyaman bambu yang dibuat sedemikian rupa muncul di setiap tempat tinggal & ujung dua sisi jembatan.
Sebenarnya masih poly hal yang bisa menjadi bahan tulisan dari obrolan dengan Jaro Daina atau semacam perdana menteri ini. Terutama perihal sanksi istiadat yang sangat menarik perhatian kami berdua. Ada hal yang menarik lainnya di Baduy Dalam ini, seperti yang kita tahu kepada umumnya ronda dalam kehidupan keseharian kita dilakukan kepada malam hari. Namun di sini ronda artinya kepada siang hari yang dilakukan secara bergilir. Karena kepada pagi sampai sore kampung Baduy Dalam ini penduduknya seluruh ke huma.
Selesai berbincang dengan Jaro Daina kami kembali ke tempat tinggal Mang Idong & rupa-rupanya sarapan sudah siap. Sekedar membasuh muka & cuci tangan langsung sarapan & langsung persiapan kembali lewat Cijahe. Dan di pagi hari yang sejuk karena sisa gerimis semalam, kami berjalan perlahan meninggalkan Cibeo. Kami meninggalkan perumahan warga Baduy Cibeo dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Kami melangkah perlahan-lahan, tanah sedikit becek karena hujan semalam. Menapaki tanah basah & sedikit licin, kami berjalan perlahan dengan semangat tinggi.
Kami terus berjalan & melewati beberapa lumbung padi sekitar 200 meter dari kampung. Menurut Mang Idong yang mengantarkan kami, lumbung sengaja ditempatkan di luar kampung, supaya jika terjadi kebakaran di kampung, maka lumbung padi tidak habis terbakar dengan. Sebuah tindakan preventif yang cukup cerdas.
Jam 08.30 kami sampai di sebuah jembatan, batas antara Baduy dalam & Baduy luar. Berarti kami boleh mulai memotret & merogoh gambar disini. Saya buru-buru menyiapkan kamera & mulai memotret d sambil berjalan perlahan melewati jembatan. Setelah melalui jembatan, saya minta tolong Mang Idong buat merogoh gambar saya & Cleo sebagai kenang-kenangan kepada waktu keluar dari daerah Baduy Dalam.
Dari kejauhan sebuah antena BTS sudah kelihatan, berarti desa Cijahe sudah dekat, kembali dari dunia yang hilang. Sungguh sebuah kelegaan sendiri, melihat mengambarkan-mengambarkan masyarakat modern yang mampu dilihat dari kejauhan. Cleo menunjuk sebuah kampung Baduy luar jauh di lembah, di sebelah kanan kami. Batubeulah, itu sebuah desa tempat pembuatan bedok atau golok khas Baduy.
Sebenarnya ini hal yang cukup mengherankan, ternyata suku Baduy memproduksi sendiri golok di kampung Batubeulah, Cisadane & Cibageuleut. Mang Idong menjelaskan bahan bakunya dari per bekas, yang dibeli dari luar Baduy. Berarti suku Baduy mempunyai kemampuan teknologi buat membangun alat bekerja yang sangat vital ini. Sayang terlalu jauh buat turun menyambangi ke kampung-kampung itu. Padahal saya ingin melihat proses produksinya & membeli golok khas Baduy sebagai kenang-kenangan.
Kami berhenti sebentar di sebuah pondok dibukit buat istirahat. Dikejauhan tampak sawah berundak-undak seperti di Bali. Dan di sekeliling pondok tanaman padi dengan tinggi 25 cm yang ditanam di kebun, sudah mulai tumbuh menghijau. Setelah dirasa cukup kami segera beranjak turun.
Dan sebentar kemudian kami sampai di sebuah jembatan bambu. Ini jembatan bambu terakhir & menandai kami keluar dari daerah Baduy. Ada sebuah prasasti tertulis: Selamat tiba di daerah hak ulayat Masyarakat Baduy. Desa Kanekes, Kec. Leuwidamar Kab. Lebak.
Lega rasanya ketika kami berjalan melalui tempat tinggal penduduk di Cijahe, muncul warung yang menjual makanan kecil, minuman & souvenir. Ada papan yang bertuliskan Amanat Buyut, yang adalah nasihat istiadat dari leluhur Baduy.
Dapat pelajaran berharga dari Cijahe ini. Ternyata lebih mudah & cepat melalui Cijahe buat masuk ke Baduy Dalam. Hanya saja tetap perlu ijin lebih dahulu dari Jaro di Ciboleger. Jika tidak, warga Baduy tidak bertanggung-jawab ketika anda berada di daerah mereka.
Kami berpisah dengan warga mang Idong disini. Terasa sedih juga melihat Mang Idong menatap & memperhatikan kami bersiap-siap pulang. Saya bilang ke Mang Idong, poly foto yang saya ambil, bagaimana saya mengirimkan kepada dia? Mang Idong hanya tersenyum & berkata: Suatu saat barangkali nanti saya tiba ke tempat tinggal Mas & ambil fotonya.
Meski hanya berbilang jam dengan mereka, terasa muncul pemahaman & kedekatan tersendiri. Mereka orang-orang yang tulus, ramah & friendly. Sebentar lagi kami segera kembali & berkutat dengan kehidupan rutin & mereka pun juga menjalani kehidupan seperti umumnya. Dua buah kultur berbeda yang terus berjalan. Entah sampai kapan mereka mampu menjaga & melestarikan keyakinan mereka, Sunda Wiwitan.
Akhir kata bicara perihal daerah Baduy di kaki Peg. Kendeng, Banten, memang lebih dari sekadar keelokan alam. Orang Baduy nan bersahaja menebarkan keindahan melebihi alamnya. Pribadi itu murah senyum, tulus & terbuka. Berbeda dari dunia biasa, di mana satu & lain sering menaruh curiga. Menikmati alam Baduy serta menjumpai masyarakatnya, seakan mereguk kedamaian dari oase-nya. Orang Baduy berkenan mendapatkan kita bermalam di tempat tinggal panggungnya. Kita cukup patuhi hukum istiadat & rela hidup sederhana ikuti harmoni alam. Menghabiskan semalam di Baduy dalam dengan sang empunya, artinya wisata batin yang paripurna. Entah, sampai kapan kesederhanaan itu mampu bertahan dari dampak modernisasi. Saya berharap bisa kembali.
Bila merindukan alam dengan hijau pepohonan sejauh pandang, jernih air laksana cermin, & jutaan bintang bagai lampu di gelap malam. Bila kita mencurigai muncul keramahan, kesederhanaan & kejujuran & sungguh rindukan kedamaian. Datanglah ke BADUY! kita akan tahu seluruh itu nyata. Sekian dulu jelajah kita ke Baduy & sampai ketemu lagi kepada jelajah lainnya. Maturnuwun..