Dunia Keris – Selamat tiba kembali kerabat perkerisan. Terima kasih masih setia mengunjungi web ini. Kembali pada kesempatan ini saya ajak kerabat perkerisan buat menjelajah ke masa lampau buat menegok sejarah.Meskipun toh yang kita dapati hanya secuil dari kepingan sejarah itu sendiri. Karena sejarah merupakan sesuatu yang samar, bahkan sampai saat ini baru sebagian mini yang telah diketahui. Sejarah tersebut tersamar oleh legenda-legenda, cerita-cerita, ataupun dongeng yang berkembang pada masyarakat. Cerita-cerita tutur yang pada akhirnya membentuk suatu pengertian atau pemahaman, tanpa diketahui benar atau galat. Akibatnya, legenda atau cerita tersebut mendarah daging ketika orangtua menceritakan pada anak-anaknya, ataupun pengajar kepada siswanya.
Cerita-cerita tutur yang banyak berkembang pada masyarakat kebanyakan sudah berbelok, artinya sudah jauh dari kisah sesungguhnya, dengan campur tangan beberapa pihak. Contoh yang paling mencolok merupakan kisah tentang Syekh Siti Jenar & Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Dua kisah tersebut sangat dikenal oleh sebagian masyarakat Jawa. Yang pertama dikatakan sebagai wali yang mempunyai paham menyimpang yang dikenal dengan sebutanManunggaling Kawula Gusti, sedang yang ke 2 merupakan tokoh yang dikenal karena perseteruannya dengan Panembahan Senopati, Raja Mataram.
Pada kesempatan kali ini saya ingin ajak kerabat perkerisan menyelami legenda galat satu tokoh pada atas, yakni Ki Ageng Mangir, yang berselisih dengan Panembahan Senopati, serta kuburannya yang terpisah, separuh pada dalam separuh pada luar kompleks makam. Kerabat perkerisan yang berdomisili pada Yogyakarta saya yakin sudah tahu cerita legenda ini. Sebelumnya buat dimaklumi misalnya ada cerita yang tidak sesuai. Mohon diralat pada kolom komentar dibawah. Update terbaru & lebih lengkap bisa sampeyan simak pada Hegemoni Mataram atas Mangir : Pergulatan Kekuasaan & Siasat Apus Krama
Baik, kita anggap saja kita tidak asing dengan nama Ki Ageng Mangir atau sejarahnya sampai makamnya melintang pada komplek makam. Satu yang mungkin belum diketahui oleh sebagian kita merupakan, bahwa Desa Mangir merupakan daerah perdikan, yang bebas dari campur tangan pihak yang berkuasa.
Sebagai daerah perdikan, tentu saja terdapat penolakan ketika tiba-tiba utusan dari suatu pihak yang berkuasa meminta buat patuh & tunduk. Sebagai pemimpin, Ki Ageng Wanabaya III mempunyai pendirian yang teguh. Ia juga mematuhi leluhurnya yang telah mewariskan daerah itu kepadanya. Hal itulah yang berakibat timbulnya pengertian membangkang, sampai akhirnya Panembahan Senopati memperoleh cara buat menaklukkannya, yaitu dengan menikahkan putrinya dengan Ki Ageng Wanabaya III.
Jika dirunut lebih jauh lagi, Panembahan Senopati & Ki Ageng Mangir masih bersaudara. Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berputra 117, diantaranya Raden Bondan Kejawan, yang berputra Ki Ageng Getaspendawa, yang menurunkan Ki Ageng Sela sampai Ki Ageng Pemanahan kemudian Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Sementara Ki Ageng Mangir I yang menurunkan Ki Ageng Wanabaya III, merupakan keturunan Brawijaya ke-43.
Diceritakan juga bahwa Ki Ageng Wanabaya III merupakan tokoh yang sakti, maka tidak akan semudah itu Panembahan Senopati membunuhnya dengan cara membenturkan kepalanya ke tempat duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan juga muncul dari masyarakat Desa Mangir.
Kembali pada cerita legenda, ketika mulai jaman keruntuhan Majapahit, para keturunan Prabu Brawijaya V ada yang memilih mengembara kearah barat menempati daerah-daerah subur yang dahulu pernah ditempati Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Babad Tanah Jawi, konon Raden Megatsari (Ki Ageng Mangir I) tertarik dengan banyaknya pohon kelapa yang telah tumbuh sebagai hutan kelapa pada tepian Sungai Progo. Daerah tersebut juga terdapat banyak satwa. Orang-orang ikut menempati Desa Mangir & hidup sejahtera dengan bertani & membuat gula kelapa.
Setelah ki Ageng Mangir 1 wafat, dusun Mangir dipimpin oleh ki Ageng Mangir II atau Raden Wonoboyo. Ki Ageng Mangir telah sebagai satu-satunya pemimpin, pengayom, pengajar & tempat bertanya bagi masyarakat desa Mangir. Bahkan pengaruh ki Ageng Mangir telah meluas sampai ke desa-desa sekitarnya.
Sebuah catatan primer tak mungkin dihapus dari keberadaan ki Ageng Mangir II ialah telah adanya kecenderungan budaya antara dusun Mangir & kerajaan Demak Bintoro, yaitu kehidupan baru yang bersifat gotong-royong & kepercayaan baru bersifat tauhid, sekalipun keduanya saling berjauhan & tidak saling berhubungan. Hal ini dibuktikan pula dengan sifat kepemimpinan Ki Ageng yang lebih bersifat demokratis, mandiri serta tidak dikendalikan oleh kekuasaan & pengaruh dari luar komunitas (desa) setempat.
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Pajang ke Mataram (1589 M) bumi Mangir berada dalam suasana yang aman tentram & damai, Ki Ageng Mangir Wonoboyo II telah wafat dalam usia sepuh & digantikan oleh putranya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III atau Ki Ageng Mangir IV. Konon Ki Ageng Mangir IV masih muda belum beristri & sangat memperhatikan olah seni & budaya serta merasa bangga memiliki tombak pusaka Kiai Barukuping atau seringkali disebut Kiai Baruklinting. Konon Sang Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram sesudah dijunung menggantikan Sultan Pajang tidak mau menempati Istana Pajang melainkan lebih bahagia menggunakan gelar Panembahan, lengkapnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram.
Panembahan merupakan seorang pemimpin, pengajar & panutan masyarakat. Ia membimbing masyarakat dengan kebudayaan yang luhur penuh pengabdian, yaitu Memayu Hayuning Buwana. Dikisahkan dalam memperhatikan wilayah kekuasannya pada Mataram, Sang Panembahan Senopati telah mendengar bahwa pada Bumi Mangir yang tidak jauh dari istana Mataram, Ki Ageng Mangir Wonobo tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram.
Alasan yang sebagai dasar pembangkangan :
Alasan keyakinan keagamaan yaitu beliau tidak mau menyembah sesama manusia atau makhluk ciptaan Tuhan, mirip katanya dalam tembang sebagai berikut : Pan Allah kang andarbeni bumi, aku suwita ing Allahutangala, ora ngawula senopati, jer pada titahing Pangeran (Bukankan Allah yang memiliki bumi, aku menghamba kepada Allah taala bukan kepada Senopati, karena sama-sama makhluk Tuhan)
Ki Ageng Mangir ingin mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya karena nenek moyangnya telah membuka tanah dengan susah payah tanpa bantuan orang lain mengapa wajib diserahkan kepada orang lain?
Ki Ageng Mangir merasa lebih dahulu berkuasa pada Mangir, merasa berada pada pihak yang benar & merasa kuat menghadapi Senopati.
Alasan-alasan pembangkangan Ki Ageng Mangir yang masih muda itu juga telah diketahui oleh Panembahan Senopati & para penasihatnya yaitu Ki Juru Mertani & lain-lain. Konon Sang Panembahan Senopati mencari cara terbaik buat menundukkan Mangir. Diluar pengalamannya yang pernah dilakukannya ketika sebagai prajurit muda pada Pajang, Sang Panembahan Senopati bersama ayahanda Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi & Ki Juru Mertani pernah menyelesaikan peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh Sang Harya Penangsang, Adipati Jipang Panolan. Tetapi tidak buat Mangir, begitu sang Panembahan Senopati mengatakan dalam hatinya. Mangir akan diperlakukan dengan cara tersendiri, yang lebih berbudaya & manusiawi.
Diceritakan Putri Pembayun, putri kesayangan Panembahan Senopati telah bersedia sebagai duta menyelesaikan & menundukkan Ki Ageng Mangir Wonoboyo (Ki Ageng Mangir IV) Para kerabat Mataram telah mengetahui bahwa Ki Ageng Mangir Wonoboyo & para kakeknya merupakan kerabat Majapahit. Kisah demikian telah beredar semenjak Ki Ageng Pemanahan & Sunan Kalijogo masih hidup. Kekerabatan itu sebagai putus karena jeda yang sangat jauh & dipisahkan oleh gunung & hutan serta terputusnya kepentingan & keyakinan hidup masing-masing. Oleh karena itu, sikap yang sebagai galat paham yaitu sebagai pembalela wajib diselesaikan dengan damai.
Konon rombongan yang kesenian yang berangkat menuju Mangir terdiri dari para Punggawa terkemuka Negeri Mataram. Adipati Martalaya sebagai Dalang Sandiguna siap memimpin misi misteri itu dibantu Ki Jayasupanta sebagai penabuh Ki Sandisasmita & Ki Suradipa sebagai penggendang tak perlu berganti nama. Sedangkan Retna Pembayun yang sebagai waranggana sekaligus anak Ki Dalang dikawal oleh seorang bupati wanita yang bernama Nyai Adirasa. Dikisahkan bahwa rombongan itu membawa peralatan gamelan, wayang & para wiyaga (penabuh gamelan) yang cukup banyak. Dan perjalanannya telah sampai pada Kademangan Mangir.
Kebetulan kala itu pada kademangan Mangir memang sedang merayakan Merti Dusun yaitu menyambut pepanenan output pertanian yang diadakan setiap tahun, tidak menyangka ada rombongan kesenian dari luar desa.Tentu saja Ki Ageng mampu menerima kedatangan mereka dengan bahagia hati.
Tontonan itupun segera digelar sehingga seluruh kademangan Mangir sebagai hingar bingar. Ki Ageng Mangir Wonoboyo IV yang masih perjaka terpikat akan kecantikan Sang Waranggana yang duduk dibelakang Ki Dalang Sandiguna.
Selesai mendalang, mereka dijamu pada dalam rumah Ki Ageng. Rumah itu memang sepi karena memang KI Ageng belum berkeluarga. Belum ada wanita yang mampu menundukkan hatinya. Tetapi ketika melihat Sang Waranggana yang konon Putri Ki Dalang Sandiguna, hatinya berbicara lain & tampaknya mulai tumbuh benih-benih cinta. Ki Ageng Mangir terkena panah asmara & ingin melamar Sang Ayu buat sebagai istrinya.
Konon keduanya telah direstui buat sebagai suami istri. Retno Pembayun dengan sepenuh hati telah rela buat sebagai Nyai Ageng Mangir Wonoboyo. Dengan pernikahan itu sesungguhnya bumi Mangir dikatakan telah sebagai bagian dari Istana Mataram.
Tetapi kiranya tak semudah itu buat menundukkan sebuah keyakinan. Ki Ageng Mangir Wonoboyo tidak menerka bahwa istrinya itu merupakan Sekar Kedaton Kerajaan Mataream. Ia tidak pernah tunduk kepada Panembahan Senopati kenapa bisa sebagai menantu penguasa Mataram itu? Konon Ki Ageng masih bertanya-tanya dengan penuh keraguan, namun toh pupus dengan keyakinan bahwa semuanya itu telah sebagai suratan takdir Yang Maha Kuasa.
Benih-benih cinta tetap mekar & bersemi pada hari keduanya. Tetapi buat menghadapkan sembah kepada mertuanya pada Mataram? Harga diri & pesan wanti-wanti kakek moyangnya selalu saja mengganggunya. Kemandirian Desa Mangir wajib diteruskan tanpa mengekor kepada kekuasaan lain. Tidak ada ketundukan tanpa kesadaran & keikhlasan. Konon Ki Ageng Mangir benar-benar berada pada simpang jalan.
Nyai Ageng Mangir alias Retno Pembayun, yang ternyata seorang Putri Kedaton tak habis-habisnya merayu sang suami buat segera menghadap ayahanda pada Mataram. Ki Ageng berpikir sungguh-sungguh buat mengambil sikap yang terbaik. Apakah maksud sesungguhnya dari seorang Putri Panembahan Senopati sehingga mau sebagai Nyai Ageng Mangir? Sehingga benih cinta darinya sudah bersemi pada dalam kandungan Sang Putri yang konon semestinya masih bermanja-manja pada Istana Keputren? Demikianlah, suratan takdir sudah terjadi. Ki Ageng Mangir Wonoboyo muda wajib bertanggungjawab menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia telah siap menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia telah siap buat menghadapi mertuanya Sang Panembahan Senopati pada Mataram.
Tetapi kewibawaan Mangir tak boleh sirna. Para pemuda Mangir wajib ikut serta & tombak pusaka Kiai Barukuping wajib dibawa. Ia pun akan menghadap Panembahan Senopati sebagai seorang Ksatria yang memiliki harga diri & martabat yang sama. Bukankah pada Bumi Mangir sudah tidak ada lagi.
Sembah-menyembah & kasta-kasta? Selanjutnya Ki Ageng Mangir menuruti permintaan istrinya buat segera pergi ke istana. Konon para kerabat Kraton Mataram telah mempersiapkan upacara penyambutan yang lazimnya disebut ngunduh mantu dengan tatacara yang meriah. Perjalanan Ki Ageng & Nyai Ageng Mangir menuju Mataram diikuti para kerabat Mangir yang cukup banyak.
Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram ini ada satu versi sejarah jutru merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini mampu dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, karena banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah berasal dari kata BANTUL, yang kini sebagai galat satu kabupaten pada Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN & menTUL.
Dari Mangir perjalanan menuju ke timur & utara sampai pada kraton Mataram (Sekarang Kotagedhe) disaksikan orang banyak pada sepanjang jalan. Ternyata, sampai pada Kraton Mataram semuanya telah diatur, yaitu para pengiring dihentikan & dijamu makan-makanan pada bangsal Pecaosan. Selanjutnya hanya ke 2 mempelai yang boleh masuk ke istana. Pada saat itulah pada Bangsal Pasewakan diberitakan terjadi musibah pada tangan Panembahan Senopati mertuanya sendiri, & sejarah pembangkangan itu lenyap seketika. Konon merupakan Konspirasi terselubung. Tapi ini tidaklah penting, apakah pembangkangan atau bukan. Dalam petikan sejarah tutur ini saya ingin kerabat perkerisan memotret, dilematisnya Ki Ageng Mangir dalam situasi yang sedemikian. Antara cinta & amanah famili yang ada dipundaknya.
Akhir kata, kenapa cerita yang indah tersebut bisa sebagai sebuah cerita pembangkangan terhadap penguasa? Bisa jadi karena campur tangan dari pihak luar yang tidak menginginkan masyarakat Mataram-Mangir guyub, karena guyub merupakan sikap yang sulit dikalahkan, & masyarakat Jawa terkenal galat satunya karena ke-guyuban-nya.
Maturnuwun..