Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Tulisan ini artinya kelanjuran dari edisi Perang Jawa yg sudah saya posting sebelumnya. Perang Diponegoro, yg dianggap Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 – 1830 ) sudah menelan korban tewas di pihak tentara Hindia Belanda sebanyak 15000 orang (8000 orang tentara Eropah & 7000 orang pribumi), sedangkan di pihak pengikut Diponegoro sedikitnya 200.000 orang tewas. Perang ini tidak hanya perang melawan Belanda namun juga perang (sesama) saudara antara orang kraton yg berpihak ke Diponegoro & yg anti Diponegoro (antek Belanda).
Beberapa faktor yg menyebabkan meletusnya perang Diponegoro artinya sebagai berikut;
Kekuasaan terselubung penjajah di Kesultan Jogyakarta.
Campur tangan penjajah (Belanda & Inggris) dalam pemerintahan Kesultanan Jogyakarta tersirat dalam kebijakan & peraturan Kesultanan yg menguntungkan penjajah. Bahkan sah tidaknya kedudukan seorang sultan wajib mendapat persetujuan dari penjajah, & orang-orang yg tidak mau bekerjasama dengan penjajah disingkirkan. Akibatnya beberapa pangeran yg dipecundangi penjajah merasa sakit hati & salah satunya Pangeran Diponegoro ?
Ketika HB III mangkat pada tahun 1814 putra mahkotanya (Pangeran Jarot HB IV) masih berusia 10 tahun, & buat ad interim pemerintahan dijalankan oleh wali kesultanan yg dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (saudara termuda kandung HB III) & Pangeran Diponegoro (putra tertua HB III dari selir). Konon Diponegoro pernah ditawari oleh ayahnya (HB III) buat menggantikannya bila beliau mangkat, namun ditolak oleh Diponegoro. Penolakan ini kemungkinan disebabkan Diponegoro menyadari bahwa dirinya sebagai anak dari selir raja tentu nantinya akan menghadapi penolakan & perlawanan hebat dari permaisuri raja & putra mahkotanya, ad interim pihak Belanda sempurna tidak akan mengakuinya lantaran Diponegoro menolak bekerjasama dengan mereka.
Meskipun demikian Ratu Ageng sebagai permaisuri dari mendiang HB III merasa khawatir kalau-kalau para wali sultan merebut kursi sultan dari putranya yg masih mini itu (maklum perebutan kekuasaan sudah seringkali terjadi dalam kraton). Ratu Ageng melakukan persekongkolan dengan Belanda. Persekongkolan ini membuahkan hasil Belanda mengangkat & mengakui Pangeran Jarot sebagai Sultan HB IV, & mengabaikan fungsi wali sultan yg terdapat. Peristiwa ini menambah kebencian Pangeran Diponegoro Cs kepada Belanda.
Kedua faktor tadi di atas inilah yg melatar belakangi Pangeran Diponegoro memberontak kepada Belanda. Meskipun demikian Diponegoro belum secara terbuka menyatakan perlawanannya kepada Belanda, lantaran disamping jumlah pangeran-pangeran yg berpihak kepadanya tidak banyak juga terdapat saling curiga diantara mereka disebabkan terjadi krisis kepemimpinan, & keadaan ini bisa digunakan oleh Belanda mengadu domba & memukul perlawanan tadi.
Menyadari hal ini Diponegoro wajib membuat suatu perlawanan yg bentuknya bukan perlawanan para pangeran saja tetapi artinya perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan ini disadari oleh Diponegoro buat menghindari tuduhan Belanda bahwa perlawanan ini semata lantaran keinginan Diponegoro buat merebut kekuasaan (kelak Belanda tetap saja menuduh demikian). Untuk itu Diponegoro wajib menemukan & berkoalisi dngan suatu kekuatan yg bisa menggerakkan akar rumput (grassroot) agar perjuangannya bersifat meluas & lama.
Kolusi pejabat istana dengan penjajah sudah melahirkan produk-produk hukum yg sangat merugikan kehidupan masyarakat Jawa. Kutipan segala macam pajak & kewajiban menjual hasil bumi kepada penjajah dengan harga murah sudah menyebabkan masyrakat menjadi makin miskin & melarat. Sebaliknya penjajah menjual mimpi rakyat dalam bentuk perjudian, minuman keras, sabung ayam, pelacuran, serta racun demoralisasi lainnya. Penghancuran karakter (character Assasination) masyarakat Jawa yg umumnya beragama Islam oleh penjajah ini sudah menggugah Kiay Modjo & seluruh keluaganya berjihat melawan penjajah.
Moment yg tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yg setia, sudah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta buat membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro & neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro buat jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik-nya.
Oleh lantaran itu Diponegoro memerintahkan pegawai–pegawainya buat mencabut tonggak-tonggak yg dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras & menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak & menekan sultan buat tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang ini menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa.
Sebagaimana sudah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada lepas 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels sudah mengeluarkan peraturan yg mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta & Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yg dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yg menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yg senantiasa menentang campur tangan Belanda, buat diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga beliau mengirimkan pasukan Belanda buat menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, & Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta & digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.
Sultan Hamengku Buwono III ini artinya ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yg pada saat itu sudah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan beliau secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau dianggap Sultan Sepuh.
Kemarahan Sultan Sepuh & Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro & Mojokerto yg selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yg kejam & rakus berakhir pada lepas 16 Mei 1811, & digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggeris menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Inggeris, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) buat merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil & bahkan sultan sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, lantaran persekongkolannya dengan Belanda.
Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa kolonial Inggeris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui Sultan sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yg berkuasa di daerah Yogyakarta & menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.
Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro & Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggeris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles buat mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), & berhasil. Sultan sepuh ditangkap & dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggeris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggai 28 Juni 1812.
Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yg merdeka dengan Gelar Paku Alam I; & Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan juga tanah & pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).
Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta & bagi para bangsawannya, lantaran kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut & banyak yg hilang.
Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa & Cina, buat memperoleh penghasilan bagi penguasa kolonial Inggeris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan & pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerab:kan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.
Selanjutnya pada lepas 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; beliau digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yg bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini artinya saudara termuda Diponegoro dari lain ibu.
Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah Dewan Perwalian dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada lepas 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggeris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada lepas 6 Desember 1822 wafat; beliau digantikan oleh puteranya yg masih kanak-kanak (lahir lepas 25 Januari 1820), bernama Menol buat menjadi Sultan Hamengku Buwono V Karena Sultan Bamengku Buwono V masih mini, maka dibentuk Dewan Perwalian yg terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) & Diponegoro sendiri.
Dewan perwalian, yg hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda, yg menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama & norma, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar buat memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda & para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi buat menjadi sultan.
Peran penguasa kolonial Belanda & Inggeris yg seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa & pajak-pajak yg tinggi, artinya masalah yg susun susul-menyusul, yg menumbuhkan kebencian & kemarahan Diponegoro & rakyat yg mempunyai harga diri & cinta terhadap kejujuran & keadilan serta benci kepada setiap kezaliman & tirani, baik yg dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Perasaan kesal & marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yg menentukan di dalam kehidupan ekonomi & sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton.
Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi & sosial, yg mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), artinya. bentuk-bentuk kekuasaan Cina yg begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram & dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yg berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yg jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yg dimonopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat & sengsara.
Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu & bekerjasama dengan penguasa kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya tinggal menunggu waktu yg tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi lalang kemarau kerontang yg kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran yg sulit buat dipadamkan.
Moment yg tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yg setia, sudah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta buat membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro & neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro buat jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya.
Oleh lantaran itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya buat mencabut tonggak-tonggak yg dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras & menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak & menekan sultan buat tetap mempertahankan Patih Danureja IV.
Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yg menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yg sudah dendam & marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia buat membela & mempertahankan Diponegoro, apabila rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan. Bersambung
Referensi :
Sebagian artikel rujukan dari sini