Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Musyawarah Wali Songo yang dipimpin Sunan Bonang tiba-tiba memanas. Terjadi perdebatan sengit antara para wali dan Syekh Siti Jenar. Dalam persidangan itu, Syekh Siti Jenar mempertahankan keyakinannya tentang wahdatul wujud, atau "manunggaling kawula Gusti". Keyakinan itu membangkitkan disparitas pandangan yang tajam dengan para wali.
Setelah mendengarkan pendapat para wali lainnya, "Saya diberi kuasa untuk mencabut lehermu dan memenggal kepalamu," kata Sunan Bonang kepada Syekh Siti Jenar. Demikianlah yang termaktub dalam Serat Syekh Siti Jenar, yang terdiri dari 13 pupuh (bagian) dalam bentuk tembang berbahasa Jawa. Naskah sastra klasik itu kini tersimpan di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta, dengan nomor katalog SB 137.
Syekh Siti Jenar, yang masih keturunan bangsawan Cirebon, tunduk kepada keputusan itu. Ia rela lehernya dipancung. Pelaksanaannya dilakukan di halaman Masjid Agung Cirebon, atau Masjid Agung Kasepuhan. "Di masjid inilah digelar sidang Wali Songo untuk mengadili Syekh Siti Jenar.
Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Cirebon, yang juga terkenal dengan sebutan Masjid Sunan Gunung Jati, aslinya bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Kehadiran masjid ini tak dapat dilepaskan dari nama Syarif Hidayatullah, atau Sunan Gunung Jati, seorang ulama dalam barisan Wali Songo, yang bertugas mengembangkan agama Islam di wilayah Jawa Barat, khususnya Cirebon.
Letaknya kini di pusat kota Cirebon, berhampiran dengan Keraton Kasepuhan. Tentang kapan masjid ini berdiri, hingga sekarang masih terdapat beberapa versi. Menurut H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Mesdjid (Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955), Masjid Agung Cirebon artinya masjid tertua di Jawa. Kalau itu benar, berarti keberadaannya mendahului Masjid Agung Demak. Tapi, pihak Kasepuhan Cirebon punya catatan lain. Masjid Sang Cipta Rasa dibangun setahun setelah Masjid Agung Demak.
Azan Pitu
Sang Cipta Rasa dibangun atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati, dibantu Wali Songo dan beberapa pakar yang dikirim Raden Patah, Sultan Demak. Sunan Kalijaga diberi penghormatan untuk mendirikan soko guru (tiang utama) yang dirancang dari serpihan kayu, kemudian disusun dan diikat hingga sebagai sebuah tiang -terkenal sebagai soko tatal.
Di antara "masjid wali" lainnya -Demak, Kudus, dan Ampel di Surabaya- Masjid Agung Cirebon masih paling utuh. Soko gurunya dari kayu jati masih tegak menyangga bangunan, walaupun kini dikelilingi lempengan besi untuk menjamin kekokohannya. Berbeda dengan Masjid Agung Demak, "tiang tatal" di Masjid Agung Cirebon masih dapat dilihat dan dijamah.
Kubahnya berbentuk "limasan" -khas arsitektur Jawa. Tapi, yang paling unik dari masjid ini artinya tradisi "azan pitu", yakni azan menjelang salat Jumat yang dikumandangkan bersama-sama oleh tujuh muazin. Khotbah Jumat pun disampaikan dalam bahasa Arab, hingga sekarang. Salat Jumat juga diikuti jamaah wanita, yang dipisahkan dari jamaah pria dengan selembar tabir.
Sama dengan masjid-masjid peninggalan wali yang lain, Masjid Gunung Jati juga banyak dikunjungi penziarah dari dalam dan luar negeri. Tetapi, tidak selaras dengan masjid wali yang lain, Masjid Agung Cirebon tidak dilengkapi kompleks makam. Makam Sunan Gunung Jati terletak di Desa Astana, di luar wilayah kota Cirebon, arah ke Indramayu.
Pradondi Kiblat
Dalam Babad Demak dan Kitab Walisanga karya Sunan Giri II, Masjid Agung Demak didirikan melalui perdebatan sengit di antara para wali. Silang pendapat muncul saat menentukan arah kiblat, atau pradondi kiblat. Sampai menjelang salat Jumat, tak ada kata sepakat. Untuk mengakhiri "perselisihan" itu, Syekh Melaya atau Sunan Kalijaga beraksi.
Konon, putra Tumenggung Wilwatikta dari Tuban itu menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka'bah di Mekkah, dan tangan kirinya memegang makuta Masjid Agung Demak. Lalu diluruskan arahnya dengan merentangkan kedua tangannya, sambil menyampaikan, "Sedulur- sedulur para wali, sudah luruskah ini?" Dengan "cara" itulah kiblat Masjid Agung Demak ditetapkan.
Menurut R. Soekmono, yang menulis buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Masjid Agung Demak bukan sekadar tempat ibadah. Ia sekaligus sebagai pusat pemerintahan. Kehadiran masjid ini memang berkait dengan berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro, setelah Majapahit runtuh. Sayangnya, hingga kini, letak Keraton Demak itu sendiri masih misteri.
Lawang Bledheg
makam raden patah
Masjid Agung Demak dibangun secara gotong royong oleh para wali. Empat soko gurunya sumbangan dari Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Salah satu tiang utama dari Sunan Kalijaga berupa "soko tatal" atau tiang tatal, seperti terdapat di Masjid Agung Cirebon. Tapi, hingga kini pun tak diperoleh data pasti mengenai kapan berdirinya masjid itu.
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun oleh tim yang diketuai Prof. Dr. Harun Nasution, tahun berdirinya masjid itu dilambangkan dengan gambar petir di daun pintu masuk, disebut "Lawang Bledheg". Corak pintu itu dijadikan candra sengkala memet (penanda waktu), yang dibaca dengan naga salira wani -berarti 1388 tahun Caka atau 1466 Masehi.
Rujukan lainnya artinya gambar kura-kura yang terpajang di atas tembok mihrab. Dari gambar itu disimpulkan angka 1401 Caka, alias 1479 Masehi. Masih ada lagi petunjuk dari prasasti bertuliskan huruf Jawa: kepada 1 Zulkaidah 1428 Hijriah, atau 1501 Masehi. Namun, Babad Demak menyebut angka 1399 Caka. Toh, konroversi tarikh ini tak membuat Masjid Agung Demak kekurangan pengunjung.
Masjid Agung Demak berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Letaknya di tengah-tengah kota Demak, di sekitar Alun-alun Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Para penziarah yang berkunjung ke masjid ini sekalian berziarah ke makam Raden Patah dan sejumlah kerabat bangsawan Demak, yang dimakamkan di belakang masjid.
Desa Kadilangu
Sekitar 10 km arah tenggara Masjid Agung Demak, berdiri Masjid Sunan Kalijaga Kadilangu. Letaknya di kompleks makam Sunan Kalijaga di Desa Kadilangu, Demak. Masjid berukuran 10 x 16 meter ini diyakini rakyat Demak sebagai cikal bakal Masjid Agung Demak. Konon, sebelum para wali membangun Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga sudah mendirikan masjid mini itu.
Dilihat dari bentuknya, Masjid Kadilangu memang seperti semacam prototipe Masjid Agung Demak. Tapi, tahun berdirinya juga tak jelas. Hanya, di dalam masjid itu tersimpan prasasti yang menerangkan renovasi pertama oleh Pangeran Wijil, kepada 1564 Masehi. Pangeran Wijil ini pun tak jelas yang mana, karena ada lima orang yang memakai nama Pangeran Wijil, sebagai penerus Sunan Kalijaga di daerah Kadilangu.
Al-Aqsa Sulit Dilacak
Tak kalah legendarisnya dengan Masjid Agung Demak artinya Masjid Kudus, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Nama aslinya Masjid Al-Aqsa. Terletak sekitar 30 km arah timur Demak. Nama masjid dan kota Kudus memang meniru nama kota Yerusalem, yang juga dinamai Baitul Maqdis, atau Al-Quds.
Al-Aqsa Kudus dibangun oleh Ja'far Shadiq, atau Sunan Kudus. Berdasarkan inskripsi berbahasa Arab, yang terdapat di atas dinding mihrab, masjid ini berdiri kepada 956 Hijriah, atau 1549 Masehi. Meski tergolong muda dibandingkan dengan masjid wali lainnya, keaslian bentuk bangunannya justru paling sulit dilacak.
Keunikan Masjid Kudus artinya menara setinggi 13,25 meter, di sisi masjid. Selain itu, di dalam masjid, agak di tengah, terdapat gerbang dalam bentuk gapura purba bercengkok Hindu, yang disebut "Kori Agung". Baik menara maupun pintu itu mencerminkan gugusan budaya Islam dan Hindu. Memang, Sunan Kudus dikenal bijak dalam menjaga kerukunan hidup antarpemeluk agama saat itu.
Wasiat Sunan Kudus, untuk tidak menyembelih sapi demi menjaga perasaan umat Hindu, misalnya, hingga kini masih dipegang rakyat Kudus. Di kota yang juga terkenal dengan industri rokok kretek ini tidak diperdagangkan daging sapi, atau makanan yang mengandung daging sapi.
Menara, yang berada di kanan depan masjid, berdasarkan Dr. G.F. Oijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947), dapat jadi menara yang tertua di Jawa. Repotnya, belum jelas kapan waktu pembuatan menara itu. Prof. Dr. Soetjipto Wirjosoeparto merujuk candra sengkala kepada bagian atap menara, "gapura rusak ewahing jagad", ke 1609 tahun Jawa, atau 1685 Masehi.
Masjid Menara Kudus juga sebagai objek wisata ziarah. Di belakangnya dimakamkan Sunan Kudus dan beberapa kerabatnya. Sebelum mendirikan Al-Aqsa, Sunan Kudus ternyata membangun langgar mini, yang sekarang dikenal orang dengan nama Masjid Madureksa Kudus. Lokasinya terselip di antara bangunan penduduk dan toko, tak jauh dari Masjid Kudus.
Mbah Bolong
SATU lagi warisan wali yang hingga sekarang masih menarik perhatian orang artinya Masjid Agung Sunan Ampel. Letaknya terjepit oleh perkampungan penduduk padat di Kelurahan Ampel, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. Sejarah masjid ini tak lepas dari peran Mohammad Ali Rahmatullah, asal Campa (Thailand Selatan), tokoh yang kemudian termasyhur sebagai Sunan Ampel.
Bangunan masjid ini berukuran 46,80 x 44,20 meter, dapat menampung sekitar 1.500 jamaah. Di dalamnya ada empat soko guru kayu jati yang masih asli. Tentang kapan berdirinya, juga tak ada data pasti. Ada yang menyebut tahun 1521, artinya dibangun setelah Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon. Tapi, catatan lain menunjukkan tahun 1421, artinya jauh mendahului Demak, Cirebon, apalagi Kudus.
Corak arsitekturnya memang gugusan antara Islam dan Hindu. Sebab, konon, setiba di Pulau Jawa, Sunan Ampel menikah dengan Dewi Candrawati, putri Brawijaya V, Raja Majapahit, yang bertahta di Trowulan, Mojokerto.
Cuma, memang banyak cerita turun-temurun tentang proses pembuatan mihrab masjid ini. Mihrab dalam masjid ini dirancang oleh seorang murid Sunan Ampel yang bernama Sonhaji. Ketika itu, Sonhaji ditanya kawan- kawannya, "Apa benar letak pengimamannya?" Sonhaji menjawab dengan membuat lubang di dinding belakang mihrab, menyilakan kawan seperguruannya mengintip dari lubang itu. Betapa terkejutnya mereka: di seberang lobang terlihat Ka'bah dan Masjidil Haram di Mekkah. Karena itulah, Sonhaji dikenal dengan nama Mbah Bolong. Sekian dulu dan hingga jumpa kepada tulisan selanjutnya. Nuwun..